Friday, June 14, 2013

MENELUSURI KOPLAK SAMPAI KE KOPLAKAN (2): KOPLAKAN DARI MASA KE MASA

Koplakan ternyata bukan berasal dari kata KOPLAK ditambah akhiran AN. KOPLAKAN samasekali tidak terkait dengan tempat tinggal orang-orang koplak. Beda samasekali dengan kata Pastoran, Pecinan dll. Yang berarti tempat bermukimnya para Pastur, dan orang Cina.
 
Pembantu rumah tangga eyang saya dulu, saat mau pulang lebaran ke desanya, ia naik becak langganan dan bilang kepada pak becak: “Teng koplakan bis, Pak”. Pikiran saya waktu itu, koplakan = standplaat (terminal) bis. Ternyata saya salah.
 
Tulisan ini adalah lanjutan, MENELUSURI KOPLAK SAMPAI KE KOPLAKAN (1): KOPLAK DARI MASA KE MASA, dimana antara lain dapat dibaca uraian seorang teman tentang  kemungkinan asal-usul nama Dusun Koplak: Barangkali dulu banyak warga Dusun itu yang berprofesi sebagai kusir Dokar, atau kemungkinan ada terminal Dokar disitu.
 
Dusun yang di Kab Sleman, DIY, namanya Dusun KOPLAK tanpa akhiran AN. Tetapi di Kota Kecamatan Pare, Kab. Kediri, ada yang namanya  Kampung KOPLAKAN. Menurut penulisnya (dapat dibaca di http://antoniussukoco.blogspot.com/2010/09/lelampahan-bopo-sri-gutomo.html) Koplakan puniko nami kampung panggenanipun tetiyang ingkang gadah kapal (kuda = jaran) kangge dokar angkutan.
 
Lokasi kampung Koplakan yang di Pare ini, berseberangan dengan pasar lama. Usia kampung tersebut tentu sudah cukup lama, kira-kira sebaya dengan usia dokar sebagai angkutan. Dokar sekarang sudah tidak ada atau tinggal sedikit, tetapi nama kampungnya masih eksist.
 
Sebagai perbandingan, di Desa Pelem, Kecamatan Pare, Kab Kediri, juga ada Kampung Inggris sejalan dengan munculnya puluhan tempat kursus bahasa Inggris di situ kira-kira tahun 1970an.
 
Lalu apa pengertian KOPLAKAN yang benar? Terminal Dokar atau Terminal Bis? Tulisan di bawah kiranya dapat dijadikan rujukan.
 
 
 
POERWADARMINTA
 
Menurut Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, koplakan adalah “palerenan (tempat peristirahatan) lan panginepan (grobag, bakul, lsp). Grobag dalam hal ini bisa diartikan kereta yang ditarik binatang (kuda atau sapi), berikut tempat menginap (untuk pengemudi dan juga para penjual yang mungkin kemalaman).
 
Dapat disimpulkan bahwa ada kehidupan di area Koplakan. Setidaknya ada orang dan binatang berkumpul disitu, ada tempat penginapan atau sekedar untuk leyeh-leyeh, dan pasti ada orang jualan makanan dan minuman.
 
 
JOGJA TV
 
Pengertian yang diadopsi Jogja TV sebagai institusi abad 21 tidak jauh beda dengan Poerwadarminta pada abad 20, sebagai berikut:
 
Koplakan berasal dari bahasa Jawa yang artinya terminal untuk transportasi tradisional seperti andhong, gerobak, dan becak. Hal ini menunjukkan bahwa Koplakan pada jaman dulu merupakan tempat public yang difungsikan untuk ajang pertemuan dan transaksi masyarakat yang berada di dekat pasar. (http://www.jogjatv.tv/program-acara/koplakan-tradisional)
 
Pengertian Koplakan yang digaris-bawahi Jogja TV adalah terminal transportasi tradisional, sekaligus tempat publik bertransaksi. Adapun lokasi koplakan adalah di dekat pasar.
 
 
 
LOKASI DI DEKAT PASAR
 
Sebagai terminal transportasi dan tempat transaksi, wajar kalau lokasi Koplakan berada di dekat pasar. Di bawah adalah cuplikan dua tulisan yang dapat dijadikan acuan:

Kemudian datang acara yang saya tunggu-tunggu yaitu diajak ibu untuk makan nasi gule di koplakan dokar di sebelah barat pasar yang menurut saya rasanya sungguh ”ruaar biasa”, “mak nyuuus”, orang sekarang bilang. Sampai sekarang kalau ke Kutoarjo saya tanya tukang parkir di pasar, apakah masih ada “gule koplakan”, tentu saja dijawab, “niku jaman mojopahit, pun mboten enten” (http://bloggerpurworejo.com/2009/05/rumah-dan-kenangan-masa-kecil-di-desa/)

Lokasi Koplakan memang strategis, karena berada di pusat kota Blora. Yang berdekatan dengan pasar dan alun-alun. Sehingga memudahkan bagi para pemudik atau pembeli yang berasal dari luar kota (http://diskominfo-blora.blogspot.com/2009_09_01_archive.html)
 
 
CIKAL BAKAL PUSAT PERTUMBUHAN
 
Sekitar 1990an saya pernah mengikuti Dr Soenarso, MPH yang kala itu menjabat Kadinkes Prov Jatim dalam perjalanan (kalau tidak salah) ke Ngawi. Beliau menanyakan: “Pak Iwan tahu berapa jarak kota-kota di Jawa?” Saya berpikir dulu sebelum menjawab sekitar 30 kilometer. Beliau melanjutkan pertanyaannya: “Mengapa demikian?”. Yang ini terus terang saya katakan tidak tahu.
 
Penjelasan beliau: Jaman Belanda dulu perjalanan menggunakan kereta kuda. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 Km, kuda perlu istirahat. Maka disediakanlah tempat peristirahatan (beliau tidak menyebut koplakan). Disitu kuda diberi makan dan minum, manusia istirahat, ada penginapan, ada orang jual makanan dll. Kita melanjutkan perjalanan bisa dengan kuda yang lama atau ganti kuda. Lama kelamaan tempat tersebut berkembang menjadi kota.
 
Sama dengan apa yang dikatakan Dr. Soenarso, MPH di atas, di bawah adalah kutipan tulisan Soegijanto Padmo dalam http://wisatadanbudaya.blogspot.com/
 
Jangkauan perdagangan di pedalaman masih relative dekat, meskipun angkutan untuk jarak yang relative jauh digunakan gerobak dan cikar dengan daya tempuh sekitar 40 paal sehari. (catatan: 1 Pal Jawa = 1,5 Km). Untuk perjalanan yang mempunyai jarak lebih dari 40 paal memerlukan penginapan di koplakan yang terletak di antara kota¬kota kecil yang tersebar di Surakarta.
 
Berkaitan dengan masuknya ekonomi uang ke pedesaan di Surakarta maka masyarakat pedesaan di sekitar koplakan itu juga sebenarnya adalah pengguna fasilitas yang disediakan di koplakan itu. Dengan kata lain koplakan itu sebenarnya adalah embryo dari pusat pertumbuhan di simpul kegiatan ekonomi perkebunan yang tersebar di seluruh wilayah Surakarta yang kelak berkembang sebagai pusat kegiatan ekonomi dan kemudian menjadi pusat kegiatan administrasi seperti desa, kecamatan, atau bahkan kawedanan.
 
 
DARIMANA ASAL KATA KOPLAKAN
 
Ada diskusi melalui FB antara teman-teman sesama dokter (tua) hasilnya malah eyel-eyelan koplak-koplakan. Yang paling tidak koplak diantara yang koplak adalah teori teman saya yang namanya beberapa kali saya sebut, yaitu: Dr. Soemartono Samadikoen, SpM. Saya cuplik dua komentar beliau sebagai berikut:
 
Yang pernah juga saya tahu mas Iwan Muljono......kadang wadah minuman itu patungan beberapa kuda, wadahnya dari glugu yg dibentuk seperti lesung....nah air dedak yg dimasukkan tentu harus makin banyak.....saat beberapa kuda minum bareng.....irama "koplak-koplak" semangkin nyata........
 
Masih tentang "koplakan"..... minuman kuda biasanya di berikan dedak+air... diwadahi timba..dan kalo kuda minum air tersbut...air dedak yg dikocak-kocak oleh mulut kuda yg minum.....sepertinya bunyi..koplak-koplak.......koplak.com hehehe....mbuh benere ora ngerti.
 
Bagaimanapun masuk akal juga othak-athik dokter spesialis mata yang telinganya tajam ini. Sayang tidak ada lagu kuda minum seperti lagu anak-anak kuda jalan yang tuk tik tak tik tuk itu.
 
Catatan: Tempat minum kuda dalam bahasa Jawa disebut: Comboran. Kuda yang sedang nyombor (minum) bunyinya koplak-koplak.
 
 

 
EPILOG:
 
Jaman dulu Koplakan memang untuk kereta kuda. Jaman sekarang kata koplakan sudah kurang terdengar sekalipun di komunitas yang berbahasa ibu “bahasa Jawa”. Saya yakin anak saya pun tidak tahu arti kata koplakan, walau ia bisa mengatakan: “Bapak ini makin tua makin koplak”.
 
Jaman sekarang kalau masih ada koplakan, hanyalah sekedar terminal, bukan sentra. Penggunaannya pun andai terdengar, banyak salah kaprahnya, mungkin karena kereta kuda sudah jarang kita jumpai sebagai angkutan umum: Koplakan Bis, koplakan Becak, koplakan Ojek.
 
Mungkin yang tidak pernah terdengar adalah kata koplakan Bajaj, karena Bajaj hanya ada di Jakarta. Tetapi setidaknya di Jakarta kita masih bisa mendengar kata: “Koplak, loe” (Iwan MM)

Tuesday, June 11, 2013

MENELUSURI KOPLAK SAMPAI KE KOPLAKAN (1): KOPLAK DARI MASA KE MASA

Pernah saya posting dalam FB Nguri-uri Basa Jawa tentang KOPLAK dan KOPLAKAN ini. Kemudian ada teman yang menyadur dalam Bahasa Indonesia dan memuatnya dalam Kompasiana. Rupanya banyak juga teman yang tertarik dengan kedua kata ini. Saya coba menelusuri lebih lanjut melalui tanya sana-sini dan mencari rujukan dari browsing sana-sini juga. Yang jelas kedua kata ini: Koplak dan Koplakan sudah ada sejak jaman dulu.
 
 
KOPLAK DARI ASPEK BAHASA
 
Menurut Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, Koplak berarti:
 
(1) Isi buah yang sudah terlepas dari kulitnya: Contohnya buah keluak pada waktu masih muda daging buah melekat pada kulit buah. Ketika sudah tua, daging buah mengerut dan lepas dari kulit buahnya. Kalau dikocak-kocak maka akan terdengar suara koplak koplak. Buah keluak yang tua bagus untuk bumbu rawon atau pindang, salah satu cara mengetesnya adalah dengan dikocak-kocak, koplak koplak atau tidak.
 
(2) Kocak: Misalnya jirigen berisi air yang tidak penuh, telur busuk, kalau digoncang-goncang juga akan terdengar suara koplak-koplak.
 
(3) Dalam peribahasa Jawa, kita kenal kalimat: Kocak tandhane lukak. (Lukak: kosong; Kocak: Konotasinya dengan bunyi). Kocak tandhane lukak pengertiannya adalah orang banyak ngomong (kocak) padahal sebenarnya bodoh (lukak). Perlu dicatat bahwa yang digunakan adalah kata “kocak” bukannya “koplak”
 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa KOPLAK pengertian harfiahnya adalah sesuatu yang tidak penuh, sedangkan pengertian kiasannya adalah untuk otak manusia yang bodoh tapi banyak omong.
 
 
KOPLAK DALAM BAHASA GAUL JAWA
 
Jaman sekarang orang gila atau gendheng dikatakan koplak. Yang ini sebenarnya menyimpang. Koplak itu gambaran orang bodoh yang banyak ngomong. Orang bodoh diibaratkan kepalanya besar otaknya kecil, sehingga kalau kepala digoyang-goyang terdengar koplak-koplak. Bodoh tidak sama dengan gendheng.
 
Di bawah adalah kutipan dari: http://kamusgaul.com/kamus/koplak, dapat dilihat bahwa pengertian koplak dengan mengambil makna dari peribahasa “kocak tandhane lukak” tidak menyimpang dari arti koplak pada jaman dulu.
 
(1) “KOPLAK”  merupakan bahasa gaul anak Jogja/Jawa Tengah yang punya makna Idiot, gila, tapi lebih pada konotasi lucu.
 
(2) Menyebut seseorang karena perilaku atau bicaranya cenderung ngawur tapi merasa benar, keren dan cerdas, padahal tidak.
 
(3) Contoh Penggunaan kata: Pokoknya dia koplak banget deh, atau yang lebih condong ke sarkastis adalah: dasar koplak loe, kalau ngomong asal njeplak!
 
 
 
Kesimpulannya adalah: Penggunaan kata “koplak” yang banyak kita dengar saat ini tidak melenceng dari makna aslinya (dalam kiasan), yaitu: “Kocak tandhane lukak” dengan pengertian: Kocak = Koplak. Bila kita dikata-katai dengan “koplak kamu!” Jangan keburu marah, karena saling mengkoplak dalam artian canda adalah biasa diantara teman.
 
 
NAMA DUSUN
 
Teman saya Dr. Soemartono Samadikoen, SpM memposting gambar tugu kecil bertulisan “Dusun Koplak” di kelompok FB MamaConga: Mantan Mahasiswa (Kedokteran) Complex Ngasem, Yogyakarta. Pertanyaan beliau kurang lebih: “Kok bisa dinamai “Koplak” ya? Karena di FB ya berhenti disitu. Tetapi kalau kita bahas sambil jagongan, kira-kira lanjutannya adalah: “Apa warga dusun tersebut koplak semua?”
 
Komentar teman-teman juga “ting clebung” pertanda tidak ada yang tahu. Saya yang lahir di Yogya ndilalah juga ora dhong, padahal dusun koplak itu bukan dusun terpencil. Semua orang pasti tahu Jalan Kaliurang. Dusun Koplak berada di Jalan Kaliurang Km 14,5 ke arah Kaliurang, dekat dengan kampus UII (Universitas Islam Indonesia). Dusunnya indah, hijau, banyak tempat layak kunjung dan kuliner layak santap.
 
Yang jelas, Dusun Koplak ada di Kelurahan Umbulharjo, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. (Gambar tugu diambil dari http://www.baltyra.com/)
 
Mengapa namanya Dusun Koplak, mudah-mudahan ada sesepuh disana yang berkenan menjelaskan. Ada teman di komunitas FB Nguri-uri Basa Jawa yang memberi uraian: Mungkin pada jaman dulu banyak warga desanya yang berprofesi kusir Andhong atau Dokar. Atau ada pangkalan Andhong/Dokar disitu.
 
Mengapa bisa dikaitkan dengan Kereta kuda? Dapat dibaca di lanjutan tulisan ini MENELUSURI KOPLAK SAMPAI KE KOPLAKAN (2): KOPLAKAN DARI MASA KE MASA (Iwan MM)

Saturday, June 8, 2013

MENYESAL DI BELAKANG HARI DALAM PARIBASAN JAWA

Menyesal di belakang hari adalah sesuatu yang amat tidak enak. Orang yang tidak kuat iman bisa melakukan tindak bunuh diri. Suatu hal yang dilarang agama. Getun, cuwa dan sumelang adalah romantika kehidupan yang harus dihadapi dengan tabah.
 
 
Di bawah adalah beberapa paribasan Jawa yang terkait dengan penyesalan, kiranya dapat dijadikan rujukan.
 
 
GAGAL
 
Pada umumnya yang disesali manusia adalah keinginan yang tidak kesampaian. Dalam paribasan Jawa dikatakan UCUL SAKA KUDANGAN. (Ucul: lepas; Kudang: menimang bayi atau anak. Cara menimang bisa macam-macam, mulai sekedar dibuai sampai diangkat-angkat ke atas. Dalam hal ini anak yang kita timang terlepas dari pegangan kita).
 
 
 
TERLAMBAT
 
Sesuatu yang terlambat juga amat disesali manusia. Manusia terlambat umumnya karena perilakunya sendiri yang tidak menghargai waktu. Bayangkan kita pas masuk peron tetapi kereta sudah berangkat beberapa menit yang lalu.
 
Dalam hal ini ada peribahasa Jawa yang menjelaskan sesuatu yang amat terlambat: KASEP-LALU WONG METENG SESUWENGAN. (Kasep: Terlambat; Wong meteng: Orang, dalam hal ini wanita, yang hamil; Sesuwengan: Memakai giwang)
 
Penjelasannya agak panjang. Disini yang diibaratkan adalah wanita. Pada masa gadisnya ia tidak pernah bersolek (ora besus), ia mulai bersolek pada saat hamil (digambarkan dengan kata sesuwengan, atau memakai giwang). Padahal dalam budaya Jawa, orang hamil sebaiknya tidak mengenakan perhiasan: Semua perhiasan emas: Gelang, kalung, giwang, cincin, semua dilepas. Jadi kalau orang mengatakan “bareng wis meteng sesuwengan” artinya “terlambat”.
 
Peribahasa di atas kaitannya bukan kelambatan dari aspek waktu tetapi kelambatan bertindak. Misalnya dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) untuk demam berdarah, kita baru melakukan PSN setelah ada korban. mestinya PSN dilakukan seminggu sekali.
 
 
 
TERLANJUR
 
Sesuatu yang sudah terjadi, tidak bisa kembali seperti semula. Dalam peribahasa Indonesia, menanak nasi dijadikan contoh. Kita kenal: Nasi sudah menjadi bubur. Kita tidak mungkin lagi mengubah bubur menjadi nasi. Oleh sebab itu kita harus sejak awal berhati-hati. Kalau memang mau bikin bubur, air harus banyak. Tapi kalau mau bikin nasi, jangan kebanyakan air.
 
Dalam paribasan Jawa kita kenal: BERAS WUTAH ARANG BALI MENYANG TAKERE. Arti harfiahnya: Beras yang sudah tumpah, jarang akan kembali (ke tempatnya) seperti kondisi semula. Jelas sekali bahwa beras yang tumpah akan tersebar kemana-mana. Tidak semua akan dapat ditemukan, dan yang ditemukan pasti tercemar dengan debu maupun kotoran lainnya. Pengertian peribahasa ini, sesuatu yang sudah berubah tidak bisa pulih seperti sediakala.
 
Contoh paling mudah adalah untuk menjelaskan penyakit. Seorang penderita tekanan darah tinggi dianjurkan dokter untuk tidak merokok, tidak makan makanan berlemak, tidak minum kopi, istirahat yang cukup dll. Karena nasihat dokter tidak dituruti, terjadilah stroke. Ketika sembuh dari stroke nya, nyaris seperti normal, tetapi tidak senormal dulu lagi.
 
Demikian pula anjuran menggunakan helm bagi pengendara sepeda motor. Anjuran memasang sabuk pengaman bagi pengendara mobil dan masih banyak lagi anjuran-anjuran yang pada hakekatnya mengingatkan kita semua bahwa “beras wutah arang bali menyang takere".
 
 
 
MENYESAL
 
Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Demikian ungkapan bahasa Indonesia mengatakan. Menyesali semua yang sudah terjadi, tidak ada manfaatnya. Menjadi hati-hati setelah merasakan sendiri akibatnya, yang dalam paribasan Jawa dikatakan: PUPUR SAWISE BENJUT seharusnya disikapi lebih awal dengan tindak hati-hati sesuai peribahasa PUPUR SADURUNGE BENJUT.
 
Orang-orang yang menyesali kejadian yang sudah berlalu ini dalam paribasan Jawa dikatakan sebagai KEDUWUNG NGUNTAL WEDHUNG (Keduwung: menyesal; Nguntal: menelan; Wedhung: Sejenis senjata genggam, ujungnya runcing perutnya agak membulat). Mau apa lagi, wedhung sudah terlanjur masuk perut.
 
 
 
LIDING DONGENG
 
Pada akhirnya orang-orang yang gagal, terlambat, terlanjur dll hanya bisa menyesali nasibnya yang terlanjur nguntal wedhung, sudah terlanjur benjut baru pupur dan ia hanya bisa MILANG TATU: menghitung dan menyesali kemalangannya. (Iwan MM)
 

Wednesday, June 5, 2013

MENGHADAPI JALAN BUNTU DALAM PARIBASAN JAWA: JANGAN BERDIAM DIRI

Terkait dengan tulisan ANTARA KEHENDAK DAN TINDAKAN DALAM PARIBASAN JAWA (3): YANG SERBA SALAH, maka perasaan “MAJU KENA MUNDUR KENA” ini menjadi amat berbahaya kalau kita tidak cepat mengambil keputusan. Bagaimanapun manusia harus bertindak. Manusia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan, dan manusia pada akhirnya harus memilih diantara alternatif-alternatif yang ada.
 
Di bawah adalah beberapa peribahasa yang terkait dengan hal ini, kiranya dapat dijadikan rujukan.
 
 
 
JANGAN PASRAH TANPA IKHTIAR
 
Ada paribasan yang mengatakan: KAJENANGAN KAEBORA. (Jenang: semacam dodol; Kajenangan: dibuat jenang; Ebor: adalah semacam sendok besar dengan gagang panjang, digunakan untuk mengaduk bubur kental sepaya menjadi jenang). Maksud peribahasa ini adalah: Mau diapakan saja terserah, masabodoh. Sikap yang tidak baik, seolah-olah menyerah sebelum melakukan sesuatu. Pengertian “pasrah” bukan seperti ini. Kita harus berusaha semaksimal mungkin. Hasilnya adalah kuasa Allah. Demikian pula pengertian “narima” juga bukan seperti ini: Ada narima yang tidak baik dan narima yang baik. Kita harus ambil narima yang baik, yaitu: narima setelah berupaya.
 
 
JANGAN MENINGGALKAN PEKERJAAN YANG BELUM SELESAI
 
Ada juga orang yang mengerjakan sesuatu, kemudian merasa tidak ada hasilnya lalu “mutung”, pekerjaan yang setengah selesai itu dia tinggalkan. Contoh sederhana adalah orang menggali sumur lalu dapat batu cukup besar. Ia menyerah, galian ditinggalkan dan cari tempat lain. Padahal sebenarnya ada air persis di bawah batu. Dalam paribasan Jawa dikatakan: KEBO MUTUNG ING PASANGAN. Kerbau sudah dipasangi alat pembajak, tetapi mogok berjalan.
 
 
 
MENGAPA TIDAK DICOBA LEBIH DAHULU
 
Banyak orang cepat patah semangat. Rencana mau mendaki gunung, melihat puncaknya yang tinggi menjadi gamang, lalu mengundurkan diri. Padahal belum dicoba. Banyak juga anak lulus SMA merasa “awang-awangen” mendaftar ke Fakultas favorit. Alasan paling umum adalah takut tidak diterima karena saingan banyak. Kalau memang cita-citanya ke situ, mengapa tidak dicoba lebih dahulu? Berarti kan kalah sebelum melangkah? Dalam peribahasa Jawa disebutkan: KALAH CACAK MENANG CACAK. (cacak: coba); Kalau sudah mencoba tetap gagal maka kekalahannya adalah kalah yang gagah.
 
Perlu diperhatikan disini bahwa: Mencoba bukanlah coba-coba. Mencoba tetap harus memakai perhitungan yang: Tata, titi, tatas dan titis dan dilaksanakan dengan semangat: Tatag, teteg, tangguh, tanggon, tanggap dan tutug.
 
 
 
LIDING DONGENG
 
Coba dulu, jangan menyerah begitu saja, karena buntutnya adalah “keduwung buri” (menyesal di belakang hari. “Mengapa dulu saya tidak ......” ini adalah kata-kata yang harus dihindari.
 
Sebagai catatan: Jalan macet tidak sama dengan jalan buntu. jadi jangan dijadikan alasan untuk mengatakan “telat merga macet”. Yang buntu pun harus ditembus apalagi cuma macet, harus diurai” (Iwan MM).
 
 

Sunday, June 2, 2013

ANTARA KEHENDAK DAN TINDAKAN DALAM PARIBASAN JAWA (3): YANG SERBA SALAH

Manusia memang macam-macam perilakunya. Ada yang nekad karena tidak pakai pikiran, ada juga yang awalnya heboh, kemudian tidak ada kelanjutan. Keduanya lebih banyak gagalnya daripada sukses.
 
Bila dua jenis manusia di atas setidak-tidaknya masih menunjukkan “gerak” walau hasilnya tidak ada, maka ada manusia ketiga yang justru kesulitan bergerak. Akibatnya keberhasilan juga sulit diraih. Bahkan lebih sial lagi, bila yang pertama dan kedua kemungkinan tidak mengalami “stress”. Maka yang terakhir ini bisa stress berat.
 
 
 
ORANG YANG SERBA SALAHA. MAJU EWUH MUNDUR KEPALUH
 
Ewuh: Tidak mudah melaksanakannya; Paluh: Lumpur. Pengertian paribasan ini adalah: hal-hal yang kalau dikerjakan banyak susahnya, tetapi kalau dihentikan akan mengalami kerugian.
 
Contoh sederhana adalah orang yang kredit sepeda motor. Ia sudah berhitung dengan cermat: Bisa bayar DP dan bisa menyisihkan uang untuk bayar cicilan. Sialnya “Luwak mangan tales, awak lagi apes”, ia kena PHK padahal cicilan sudah ditengah jalan. Menghentikan cicilan berarti kehilangan motor, mau meneruskan cicilan uangnya tidak ada.
 
 
B. MAJU TATU MUNDUR AJUR
 
Tatu: luka; Ajur: Hancur. Paribasan ini sama artinya dengan butir A di atas, hanya kadarnya lebih berat (bedakan perbandingan antara ewuh dan tatu, serta antara kepaluh dan ajur). Mau maju atau mundur, apapun yang diupayakan akan gagal.
 
Contoh aktual jaman sekarang untuk kedua paribasan di atas adalah yang terkait dengan “Anggaran Perubahan” untuk pengadaan barang (pemerintah). Waktunya banyak yang mepet dengan akhir tahun anggaran, padahal proses pengadaan (tender) tidaklah pendek. Ada cara lain yang lebih pendek yaitu Penunjukan Langsung (PL), tetapi proses PL ini harus memenuhi persyaratan yang tidak gampang. Kalau nekad melanggar aturan, walau penyerapan anggaran saat ini kelihatannya baik, tahun depan bisa berhadapan dengan aparat penegak hukum. Sebaliknya bila pengadaan tidak dilakukan, berarti penyerapan jelek dan salah-salah tahun depan tidak diberi anggaran. Pilih mana?
 
 
C. ANCIK-ANCIK PUCUKING ERI
 
Mau maju hasilnya ewuh atau tatu, mau mundur risikonya kepaluh atau ajur. Hidup menjadi seperti ANCIK-ANCIK PUCUKING RI (berdiri di ujung duri). Sudah terluka dan sakit, setiap saat bisa tergelincir. Sama pengertiannya dengan peribahasa Indonesia: Seperti telur di ujung tanduk.
 
 
LIDING DONGENG
 
Bagaimanapun orang yang dalam kondisi “maju ewuh mundur kepaluh” atau “maju tatu mundur ancur” masih punya pilihan: Maju atau mundur” walau sama-sama tidak enak. Tetapi pada akhirnya manusia harus memilih. Kalau bingung menentukan pilihan, ada baiknya mencari penasihat yang baik.
 
Sri Bathara Kresna adalah penasihat Pandawa. Nasihat paling terkenal adalah yang diberikan kepada Harjuna menjelang perang Bharatayuda (Selanjutnya dikemas dalam Bhagawad Gita). Dalam hal ini Sri Kresna berhasil menghilangkan keraguan Harjuna yang dikenal sebagai lelananging jagad, tetapi ketika harus menghadapi perang besar ia bingung antara perang atau tidak perang, karena yang dihadapi adalah keluarga, leluhur dan guru sendiri.
 
Berbeda dengan orang yang dalam kondisi “ancik-ancik pucuking eri”. Ia tidak bisa maju atau mundur. Ia menderita karena kakinya sakit dan luka akibat tertusuk duri, dan setiap saat bisa tergelincir. Nasihat tidak menyelesaikan masalah, satu-satunya jalan adalah MENGENTASKAN orang ini dari duri yang menjadi tempat ia berpijak
 
Contoh ancik-ancik pucuking eri adalah kondisi orang miskin. Anak kurang gizi umumnya berasal dari keluarga miskin. Adalah seorang  petugas gizi yang dengan semangat memberi nasihat tentang menu gizi seimbang dan empat sehat lima sempurna kepada ibu-ibu yang termasuk kelompok Gakin.  Dalam hati si ibu gakin berguman: “Kok mikir lima sehat, Bisa nempur (beli beras) bae wis syukur”.
 
Nasihat bagaimanapun perlu, tetapi untuk menolong orang-orang miskin yang ancik-ancik pucuking eri ini marilak kita merujuk ke Piwulang Sunan Drajat dan Pengentasan kemiskinan: “Menehana teken marang wong kang wuta. Menehana mangan marang wong kang luwe. Menehana busana wong kang wuda. Menehana ngiyup wong kang kudanan”


Most Recent Post


POPULAR POST