GETUN
Dari
aspek waktu “getun” atau “keduwung” adalah menyesali kejadian yang
sudah berlalu. Kita sering mendengar: “Seandainya saya dulu ..... tentu
sekarang tidak demikian nasib saya”, yang merupakan ungkapan umum perasaan
orang “getun”.
Tetapi
hal itu sudah terjadi, “nasi sudah menjadi bubur”, mau apa lagi. Orang yang
curhat ke”getun”annya kepada kita,
mungkin hanya kita beri ucapan simpati, “sing
uwis ya uwis, sing durung bae diati-ati”. Yang sudah berlalu biarlah
berlalu, yang belum terjadi marilah kita berhati-hati.
CUWA
“Cuwa” atau “kuciwa”, (kecewa) terjadi karena “karep” kita tidak kesampaian (baca: Karep selalu mulur dan mungkret). Dari aspek waktu “cuwa” berjalan dari “past time” sampai
“present time”. Dari “cuwa” bisa
menjadi “getun” kalau hasil analisis
kita mengatakan bahwa maksud yang tidak sampai itu karena salah langkah pada masa
yang telah berlalu. Buah dari “getun”
dan “cuwa” adalah kesedihan.
“Cuwa” masih lebih baik daripada “getun”. Karena berlaku dari “past”
sampai “present time” maka kita masih
bisa mengalihkan “karep” yang tidak
terlaksana ke “karep” lain dengan
harapan bisa berhasil. Sedangkan “getun”
karena yang disesali adalah kejadian masa lalu maka tak ada pilihan lain
kecuali menguburnya dalam-dalam.
SUMELANG
“Sumelang” adalah perasaan was-was. Dari aspek
waktu maka perasaan “sumelang”
berlaku untuk hal-hal mendatang yang belum terjadi pada saat sekarang. Misalnya
sumelang kalau tidak lulus ujian, sumelang kalau sakitnya tidak sembuh, dan
masih banyak lagi.
Mengapa
orang punya perasaan “was-sumelang”
antara lain karena sudah “gawan bayi”
dia merupakan orang yang tidak pernah yakin, mungkin juga merasa persiapan
kurang matang, bisa jadi ia sudah terlalu sering “kebentus-ketumbuk” sehingga
jangan-jangan .... yang ini juga gagal. Lalu besok bagaimana?
JANGAN RAGU MENATAP DAN MENJALANI KEHIDUPAN
Buat apa berkeluh kesah karena keluh kesah tidak menyelesaikan masalah. Mengapa ikut-ikut orang yang kehilangan kekuatan dan harapan karena tidak tahan banting?. Mengapa tidak mengikuti jejak orang-orang yang sentausa jiwanya. Biarpun jatuh bangun tetap kembali bangkit dan pada saatnya ia akan tegak dengan gagah. Bagi orang yang kuat jiwanya maka “getun” justru merupakan “tirta amreta”, air kehidupan yang merupakan tonicum untuk melangkah maju.
Kalau
perasaan “getun, cuwa dan sumelang”
bisa diminimalkan sampai mendekati “zero” maka tiga hantu ini tidak akan
terlalu menakut-nakuti kehidupan manusia. Buah dari “karep” kan hanya “bungah dan
susah” dan bukankah “bungah susah gumantung sing nglakoni”. Maka manusia akan menjadi orang yang mampu
mengelola “creative tension”nya, mampu menghadapi tantangan kehidupannya. Dalam bahasa Jawa yang sederhana R Prawira
Wiwara (1932) menulis:
- Urip kapan? Biyen saiki apa besuk
ya wani bae
- Urip ing ngendi? Ana ing negara
Landa, negara Cina, jeron jagad apa ing jaban jagad, ya wani bae.
- Urip kaya apa? Dadi kuli apa dadi
ratu, dadi wong sugih apa dadi wong mlarat, ya wani bae.
Penyesalan
dan kekecewaan tanpa upaya memperbaiki ibarat memompa ban bocor tanpa menambal
lubangnya. (IwMM)
No comments:
Post a Comment