Saya
tulis dalam “Badan dan jiwa yang rewel” bahwa rewelnya badan disebut “Loba Murka”, artinya semua harus serba
“banyak”, sedangkan rewelnya jiwa adalah “Angkara Murka”, maksudnya semua harus
serba “sangat”. Adapun obatnya adalah “nerima
dan eling”.
Tulisan
ini mengawali beberapa episode kisah lama tentang seorang laki-laki kaya di daerahnya,
tetapi hidup tidak tenteram. Ia selalu gelisah, entah apa sebabnya. Mungkin
masih merasa kurang, merasa takut kehilangan harta, merasa banyak saingan, dan
pikiran-pikiran negatif lainnya. Akibatnya makan tidak pernah enak walau
lauknya enak. Tidur tidak pernah nyenyak walaupun ruangannya nyaman.
PENCARI RUMPUT YANG
BAHAGIA
Pada
suatu hari ia ingin menenangkan pikiran dengan berperahu menyusur sungai. Saat
lohor perahunya dibawa ke tepian, untuk beristirahat. Disitu ia bertemu dengan
seorang laki-laki pencari rumput sedang istirahat, makan bekalnya di bawah
kerindangan pohon. Entah pikiran apa yang membawanya, ia mendekat, lalu ikut duduk
di sebelah laki-laki setengah umur itu, yang sedang makan dengan lahap, padahal
lauknya cuma ikan asin, sambal dan kerupuk.
“Enak
Pak, makannya?”
“Ya,
enak. Apalagi habis kerja begini”
“Sampeyan
cari rumput dari pagi?”
“Iya
den, siang begini istirahat sebentar, sholat Lohor dan makan siang, lalu
dilanjutkan lagi. Ashar saya pulang”.
“Rumputnya
dijual? Laku berapa?”
“Saya
pekathik (tukang cari rumput) pak Jayeng, Den. Dibayar seminggu sekali”, Lalu
ia menyebut sejumlah uang yang tidak banyak, yang membuat si orang kaya
geleng-geleng kepala.
“Segitu
apa cukup untuk keluarga?”
“Cukup
den”
“Hidupmu
senang?”
“Senang,
den.”
Laki-laki
kaya itu terhenyak. Hidupnya sudah
berlebih-lebihan tetapi ia merasa belum merasakan yang namanya 'senang". “Kalahlah aku sama dia”. Ia
beristigfar. Rupanya Allah menuntunku kesini untuk ketemu si pencari rumput.. “Besok
pagi sampeyan merumput disini juga Pak?”
“Iya
den. Kenapa?”
“Aku
ingin ikut sampeyan merumput, Pak”. Jawaban yang membuat si pencari rumput
heran. Apanya yang menarik dengan rumput?
MENGHAYATI PEKERJAAN
ORANG KECIL
Besok
paginya si laki-laki kaya menepati janjinya. Ia datang diantar dokar, dan si
pencari rumput telah menunggu di bawah pohon asam tempat pertemuan kemarin.
Mereka berjalan beriringan mencari tempat yang rumputnya lebat.
Ketika
si pencari rumput mau mulai menyabit, si orang kaya mencegah. “Tunjukkan aku
caranya, habis itu biarkan aku yang merumput. Aku ingin tahu rasanya”
Si
tukang rumput kaget. “Tangan njenengan nanti luka, Den. Ini kan pekerjaan
kasar”
Si
orang kaya tidak mengindahkan. Ia buka baju dan lepas kainnya, menyabit dengan
semangat. Kira-kira saat Lohor, si pencari rumput mengajaknya berhenti. “Panjenengan
lebih rosa dari saya, Den. Cepat sekali dapat banyak. Kita istirahat dulu”.
Mereka berwudhu di sebuah belik tidak jauh
dari tempat itu. Setelah sholat lalu makan siang. Si orang kaya membuka
buntalan yang dibawanya. Ia berikan bekal makanannya dan meminta bekal si
pencari rumput.
“Jangan,
den. Yang punya saya makanan tidak enak”
“Tetapi
kemarin kau bilang enak”. Tanpa banyak omong langsung ia tukar bekalnya, dan
memakan punya si pencari rumput. Lahap dan enak. “Ya Allah, baru kali ini aku
merasakan makanan yang enak”
Sebaliknya
si pencari rumput ternganga melihat bekal si orang kaya. “Saya bawa pulang saja
den. Kasihan isteri saya. Kami jarang sekali melihat makanan seperti ini”.
Si
orang kaya tertawa. “Jangan khawatir Pak. Makanlah. Saya sudah siapkan untuk
dibawa pulang. Ia buka buntalannya, ada besek isi makanan dan barang-barang
lain. “Ini semua untuk dibawa pulang”. Kemudian ia merebahkan badan di bawah
pohon, menguap dan tertidur. Melihat tidurnya yang pulas, si pencari rumput
tidak berani meninggalkan jauh-jauh. Untung bahwa si orang kaya yang memang
lebih muda, ahli juga mencari rumput. Didukung tenaganya yang kuat, hanya
kurang sedikit saja rumput yang harus dicari.
LIDING DONGENG
Hampir
tiga jam si orang kaya tertidur di bawah pohon beralaskan rumput. Tetapi ia
merasakan kenyamanan ketika terbangun. Ia melihat si tukang rumput sedang
mengemas karung besar isi rumput tidak jauh darinya. Serta merta ia menghampiri
dan memeluk si pencari rumput. “Pak, dalam dua hari ini aku belajar banyak dari
sampeyan. Pertama aku belajar artinya bahagia. Yang kedua aku bisa merasakan “enak lan kepenake mangan lan turu”.
Si
pencari rumput yang sudah agak tua tampak berkaca-kaca matanya. “Den,
panjenengan itu orang kaya tetapi tidak sombong. Kalau sombong pasti kemarin
tidak menyapa saya. Mungkin panjenengan ini takut miskin, akibatnya jadi ngaya
mencari harta. Nrima ing pandum itu
bukan kata-kata untuk orang miskin den, itu untuk orang kaya juga. Demikian pula.rasa bungah
juga bukan untuk orang kaya saja. Orang miskin juga boleh merasa bungah. Bungah
susah gumantung sing nglakoni (IwMM)
Dilanjutkan
ke BUNGAH LAN SUSAH (2) KAREP SELALU “MULUR” DAN “MUNGKRET”
No comments:
Post a Comment