Melanjutkan Sabda Pandita Ratu (2): Kisah Wisrawa dan Dewabrata, dalam
beberapa hari ini “Tempe” mencuat di pemberitaan. Harga kedelai melonjak,
pengusaha tempe terancam gulung tikar. Kira-kira begitu isinya. Bicara soal
tempe, saya ingat kata-kata Bung Karno: Kita bukan bangsa tempe. Kalimat ini
saya kutip dari merdeka.com “Cerita
Soekarno dan bangsa tempe” sebagai berikut:
“Kami menggoyangkan
langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa
yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa
tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita”
Pertanyaannya
adalah apa ada kaitan antara “tempe” dengan kelembekan? Bagaimanapun tempe
adalah sumber protein nabati yang lebih murah daripada protein hewani, dengan khasiat
nyaris sama baiknya. Apakah tempe bersifat inferior? Tidak seluruhnya benar.
Jaman telah membuktikan. Saat ini kita bisa menemukan tempe di Amerika. Asal
tahu tempatnya saja. Tempe bukan lagi komoditas pasar tradisional. Kita bisa
mendapatkan aneka tempe di supermarket. Tempe tidak hanya dimakan sebagai lauk teman nasi "Iwak tempe", istilah Jawa Timuran
nya, tetapi juga sebagai camilan.
Kalau melihat proses pembuatan tempe pada jaman dulu, maka sebelum proses
peragian, tempe dicuci di sungai dan diinjak-injak. Barangkali untuk melepas
kulit tipis biji kedelainya. Analognya: Kita bukan bangsa yang bisa
diinjak-injak seperti tempe: Kita bangsa yang berdaulat, kira-kira begitu.
Ada
yang masih ingat lagu “baris terik tempe?” Dipakai untuk mengiringi baris-berbaris
dan ada semangat melawan penjajah lho. Potongan liriknya sebagai berikut:
“Baris terik tempe
ridong udele bodong; Bodong ditaleni omah kobong dibendheni; Pring
tumpuk-tumpuk bumbung isi merang; Cilik diipuk-ipuk bareng gedhe maju perang;
Perang nyang Betawi durung aman durung bali”
Saya
menangkap lirik ini dari sisi semangatnya: walaupun terik tempe itu pasti
lembek, plus hernia umbilicalis yang menyebabkan udel bodong, berarti dalam
kondisi seadanya. Tanpa perlengkapan yang komplit. Tetapi setelah besar kita
berani maju perang dan kalau belum aman tidak kembali. Perang ke Betawi
tentunya melawan penjajah. Biarpun cuma "terik tempe" tapi punya komitmen.
Sudah
ngalor ngidul nulisnya lalu mana sindiran tempe untuk orang-orang yang ucapannya tidak “Sabda Pandita Ratu?”
Sebentar, ini ada suguhan tempe gembus dengan lombok rawit. Kita makan dulu.
Nanti yang menyuguhkan marah.
Bukankah
ada peribahasa “ESUK DHELE SORE TEMPE”. Pagi-pagi masih berupa “kedelai” ketika
sore sudah berubah jadi “tempe”. Maksudnya orang yang tidak bisa dipegang
karena omongan atau janjinya berubah-ubah. Bukankah ini ungkapan sederhana yang
amat mudah dimengerti untuk memahami orang yang tidak punya komitmen melaksanakan
“Sabda Pandita Ratu?”
Makan tempe kurang nyamleng kalau tidak
ditambah nyeplus “lombok”. Kita juga akrab dengan ungkapan “kapok lombok” yang artinya jera sebentar tetapi tak lama kemudian
diulangi lagi. Sudah diingatkan bahwa kalau ngomong itu mbok ya “Sabda Pandita
Ratu”. Jangan mencla-mencle. Ketika
kemudian kena batunya, kapok sebentar habis itu kambuh lagi. Melalui lombok dan
tempe, marilah kita hayati makna “Sabda Pandita Ratu” (IwMM)
No comments:
Post a Comment