Friday, June 14, 2013

MENELUSURI KOPLAK SAMPAI KE KOPLAKAN (2): KOPLAKAN DARI MASA KE MASA

Koplakan ternyata bukan berasal dari kata KOPLAK ditambah akhiran AN. KOPLAKAN samasekali tidak terkait dengan tempat tinggal orang-orang koplak. Beda samasekali dengan kata Pastoran, Pecinan dll. Yang berarti tempat bermukimnya para Pastur, dan orang Cina.
 
Pembantu rumah tangga eyang saya dulu, saat mau pulang lebaran ke desanya, ia naik becak langganan dan bilang kepada pak becak: “Teng koplakan bis, Pak”. Pikiran saya waktu itu, koplakan = standplaat (terminal) bis. Ternyata saya salah.
 
Tulisan ini adalah lanjutan, MENELUSURI KOPLAK SAMPAI KE KOPLAKAN (1): KOPLAK DARI MASA KE MASA, dimana antara lain dapat dibaca uraian seorang teman tentang  kemungkinan asal-usul nama Dusun Koplak: Barangkali dulu banyak warga Dusun itu yang berprofesi sebagai kusir Dokar, atau kemungkinan ada terminal Dokar disitu.
 
Dusun yang di Kab Sleman, DIY, namanya Dusun KOPLAK tanpa akhiran AN. Tetapi di Kota Kecamatan Pare, Kab. Kediri, ada yang namanya  Kampung KOPLAKAN. Menurut penulisnya (dapat dibaca di http://antoniussukoco.blogspot.com/2010/09/lelampahan-bopo-sri-gutomo.html) Koplakan puniko nami kampung panggenanipun tetiyang ingkang gadah kapal (kuda = jaran) kangge dokar angkutan.
 
Lokasi kampung Koplakan yang di Pare ini, berseberangan dengan pasar lama. Usia kampung tersebut tentu sudah cukup lama, kira-kira sebaya dengan usia dokar sebagai angkutan. Dokar sekarang sudah tidak ada atau tinggal sedikit, tetapi nama kampungnya masih eksist.
 
Sebagai perbandingan, di Desa Pelem, Kecamatan Pare, Kab Kediri, juga ada Kampung Inggris sejalan dengan munculnya puluhan tempat kursus bahasa Inggris di situ kira-kira tahun 1970an.
 
Lalu apa pengertian KOPLAKAN yang benar? Terminal Dokar atau Terminal Bis? Tulisan di bawah kiranya dapat dijadikan rujukan.
 
 
 
POERWADARMINTA
 
Menurut Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, koplakan adalah “palerenan (tempat peristirahatan) lan panginepan (grobag, bakul, lsp). Grobag dalam hal ini bisa diartikan kereta yang ditarik binatang (kuda atau sapi), berikut tempat menginap (untuk pengemudi dan juga para penjual yang mungkin kemalaman).
 
Dapat disimpulkan bahwa ada kehidupan di area Koplakan. Setidaknya ada orang dan binatang berkumpul disitu, ada tempat penginapan atau sekedar untuk leyeh-leyeh, dan pasti ada orang jualan makanan dan minuman.
 
 
JOGJA TV
 
Pengertian yang diadopsi Jogja TV sebagai institusi abad 21 tidak jauh beda dengan Poerwadarminta pada abad 20, sebagai berikut:
 
Koplakan berasal dari bahasa Jawa yang artinya terminal untuk transportasi tradisional seperti andhong, gerobak, dan becak. Hal ini menunjukkan bahwa Koplakan pada jaman dulu merupakan tempat public yang difungsikan untuk ajang pertemuan dan transaksi masyarakat yang berada di dekat pasar. (http://www.jogjatv.tv/program-acara/koplakan-tradisional)
 
Pengertian Koplakan yang digaris-bawahi Jogja TV adalah terminal transportasi tradisional, sekaligus tempat publik bertransaksi. Adapun lokasi koplakan adalah di dekat pasar.
 
 
 
LOKASI DI DEKAT PASAR
 
Sebagai terminal transportasi dan tempat transaksi, wajar kalau lokasi Koplakan berada di dekat pasar. Di bawah adalah cuplikan dua tulisan yang dapat dijadikan acuan:

Kemudian datang acara yang saya tunggu-tunggu yaitu diajak ibu untuk makan nasi gule di koplakan dokar di sebelah barat pasar yang menurut saya rasanya sungguh ”ruaar biasa”, “mak nyuuus”, orang sekarang bilang. Sampai sekarang kalau ke Kutoarjo saya tanya tukang parkir di pasar, apakah masih ada “gule koplakan”, tentu saja dijawab, “niku jaman mojopahit, pun mboten enten” (http://bloggerpurworejo.com/2009/05/rumah-dan-kenangan-masa-kecil-di-desa/)

Lokasi Koplakan memang strategis, karena berada di pusat kota Blora. Yang berdekatan dengan pasar dan alun-alun. Sehingga memudahkan bagi para pemudik atau pembeli yang berasal dari luar kota (http://diskominfo-blora.blogspot.com/2009_09_01_archive.html)
 
 
CIKAL BAKAL PUSAT PERTUMBUHAN
 
Sekitar 1990an saya pernah mengikuti Dr Soenarso, MPH yang kala itu menjabat Kadinkes Prov Jatim dalam perjalanan (kalau tidak salah) ke Ngawi. Beliau menanyakan: “Pak Iwan tahu berapa jarak kota-kota di Jawa?” Saya berpikir dulu sebelum menjawab sekitar 30 kilometer. Beliau melanjutkan pertanyaannya: “Mengapa demikian?”. Yang ini terus terang saya katakan tidak tahu.
 
Penjelasan beliau: Jaman Belanda dulu perjalanan menggunakan kereta kuda. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 Km, kuda perlu istirahat. Maka disediakanlah tempat peristirahatan (beliau tidak menyebut koplakan). Disitu kuda diberi makan dan minum, manusia istirahat, ada penginapan, ada orang jual makanan dll. Kita melanjutkan perjalanan bisa dengan kuda yang lama atau ganti kuda. Lama kelamaan tempat tersebut berkembang menjadi kota.
 
Sama dengan apa yang dikatakan Dr. Soenarso, MPH di atas, di bawah adalah kutipan tulisan Soegijanto Padmo dalam http://wisatadanbudaya.blogspot.com/
 
Jangkauan perdagangan di pedalaman masih relative dekat, meskipun angkutan untuk jarak yang relative jauh digunakan gerobak dan cikar dengan daya tempuh sekitar 40 paal sehari. (catatan: 1 Pal Jawa = 1,5 Km). Untuk perjalanan yang mempunyai jarak lebih dari 40 paal memerlukan penginapan di koplakan yang terletak di antara kota¬kota kecil yang tersebar di Surakarta.
 
Berkaitan dengan masuknya ekonomi uang ke pedesaan di Surakarta maka masyarakat pedesaan di sekitar koplakan itu juga sebenarnya adalah pengguna fasilitas yang disediakan di koplakan itu. Dengan kata lain koplakan itu sebenarnya adalah embryo dari pusat pertumbuhan di simpul kegiatan ekonomi perkebunan yang tersebar di seluruh wilayah Surakarta yang kelak berkembang sebagai pusat kegiatan ekonomi dan kemudian menjadi pusat kegiatan administrasi seperti desa, kecamatan, atau bahkan kawedanan.
 
 
DARIMANA ASAL KATA KOPLAKAN
 
Ada diskusi melalui FB antara teman-teman sesama dokter (tua) hasilnya malah eyel-eyelan koplak-koplakan. Yang paling tidak koplak diantara yang koplak adalah teori teman saya yang namanya beberapa kali saya sebut, yaitu: Dr. Soemartono Samadikoen, SpM. Saya cuplik dua komentar beliau sebagai berikut:
 
Yang pernah juga saya tahu mas Iwan Muljono......kadang wadah minuman itu patungan beberapa kuda, wadahnya dari glugu yg dibentuk seperti lesung....nah air dedak yg dimasukkan tentu harus makin banyak.....saat beberapa kuda minum bareng.....irama "koplak-koplak" semangkin nyata........
 
Masih tentang "koplakan"..... minuman kuda biasanya di berikan dedak+air... diwadahi timba..dan kalo kuda minum air tersbut...air dedak yg dikocak-kocak oleh mulut kuda yg minum.....sepertinya bunyi..koplak-koplak.......koplak.com hehehe....mbuh benere ora ngerti.
 
Bagaimanapun masuk akal juga othak-athik dokter spesialis mata yang telinganya tajam ini. Sayang tidak ada lagu kuda minum seperti lagu anak-anak kuda jalan yang tuk tik tak tik tuk itu.
 
Catatan: Tempat minum kuda dalam bahasa Jawa disebut: Comboran. Kuda yang sedang nyombor (minum) bunyinya koplak-koplak.
 
 

 
EPILOG:
 
Jaman dulu Koplakan memang untuk kereta kuda. Jaman sekarang kata koplakan sudah kurang terdengar sekalipun di komunitas yang berbahasa ibu “bahasa Jawa”. Saya yakin anak saya pun tidak tahu arti kata koplakan, walau ia bisa mengatakan: “Bapak ini makin tua makin koplak”.
 
Jaman sekarang kalau masih ada koplakan, hanyalah sekedar terminal, bukan sentra. Penggunaannya pun andai terdengar, banyak salah kaprahnya, mungkin karena kereta kuda sudah jarang kita jumpai sebagai angkutan umum: Koplakan Bis, koplakan Becak, koplakan Ojek.
 
Mungkin yang tidak pernah terdengar adalah kata koplakan Bajaj, karena Bajaj hanya ada di Jakarta. Tetapi setidaknya di Jakarta kita masih bisa mendengar kata: “Koplak, loe” (Iwan MM)

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST