Koplakan ternyata
bukan berasal dari kata KOPLAK ditambah akhiran AN. KOPLAKAN samasekali tidak
terkait dengan tempat tinggal orang-orang koplak. Beda samasekali dengan kata
Pastoran, Pecinan dll. Yang berarti tempat bermukimnya para Pastur, dan orang Cina.
Pembantu rumah tangga
eyang saya dulu, saat mau pulang lebaran ke desanya, ia naik becak langganan
dan bilang kepada pak becak: “Teng
koplakan bis, Pak”. Pikiran saya waktu itu, koplakan = standplaat (terminal)
bis. Ternyata saya salah.
Tulisan ini adalah
lanjutan, MENELUSURI KOPLAK SAMPAI KE KOPLAKAN (1): KOPLAK DARI MASA KE MASA, dimana
antara lain dapat dibaca uraian seorang teman tentang kemungkinan asal-usul nama Dusun Koplak:
Barangkali dulu banyak warga Dusun itu yang berprofesi sebagai kusir Dokar,
atau kemungkinan ada terminal Dokar disitu.
Dusun
yang di Kab Sleman, DIY, namanya Dusun KOPLAK tanpa akhiran AN. Tetapi di Kota
Kecamatan Pare, Kab. Kediri, ada yang namanya
Kampung KOPLAKAN. Menurut penulisnya (dapat dibaca di http://antoniussukoco.blogspot.com/2010/09/lelampahan-bopo-sri-gutomo.html)
Koplakan puniko nami kampung
panggenanipun tetiyang ingkang gadah kapal (kuda = jaran) kangge dokar angkutan.
Lokasi
kampung Koplakan yang di Pare ini, berseberangan dengan pasar lama. Usia
kampung tersebut tentu sudah cukup lama, kira-kira sebaya dengan usia dokar
sebagai angkutan. Dokar sekarang sudah tidak ada atau tinggal sedikit, tetapi
nama kampungnya masih eksist.
Sebagai
perbandingan, di Desa Pelem, Kecamatan Pare, Kab Kediri, juga ada Kampung
Inggris sejalan dengan munculnya puluhan tempat kursus bahasa Inggris di situ
kira-kira tahun 1970an.
Lalu apa pengertian
KOPLAKAN yang benar? Terminal Dokar atau Terminal Bis? Tulisan di bawah kiranya
dapat dijadikan rujukan.
Catatan: Gambar di
atas diambil dari: http://www.infokepanjen.com/2011/05/laporan-eksklusif-dari-malang-tempoe.html
POERWADARMINTA
Menurut Bausastra
Jawa, Poerwadarminta, 1939, koplakan adalah “palerenan (tempat peristirahatan) lan panginepan (grobag, bakul, lsp). Grobag dalam hal ini bisa
diartikan kereta yang ditarik binatang (kuda atau sapi), berikut tempat
menginap (untuk pengemudi dan juga para penjual yang mungkin kemalaman).
Dapat disimpulkan
bahwa ada kehidupan di area Koplakan. Setidaknya
ada orang dan binatang berkumpul disitu, ada tempat penginapan atau sekedar
untuk leyeh-leyeh, dan pasti ada orang jualan makanan dan minuman.
JOGJA TV
Pengertian yang
diadopsi Jogja TV sebagai institusi abad 21 tidak jauh beda dengan
Poerwadarminta pada abad 20, sebagai berikut:
Koplakan berasal dari
bahasa Jawa yang artinya terminal untuk transportasi tradisional seperti
andhong, gerobak, dan becak. Hal ini menunjukkan bahwa Koplakan pada jaman dulu
merupakan tempat public yang difungsikan untuk ajang pertemuan dan transaksi
masyarakat yang berada di dekat pasar. (http://www.jogjatv.tv/program-acara/koplakan-tradisional)
Pengertian Koplakan
yang digaris-bawahi Jogja TV adalah terminal transportasi tradisional,
sekaligus tempat publik bertransaksi. Adapun lokasi koplakan adalah di dekat
pasar.
LOKASI DI DEKAT PASAR
Sebagai terminal
transportasi dan tempat transaksi, wajar kalau lokasi Koplakan berada di dekat
pasar. Di bawah adalah cuplikan dua tulisan yang dapat dijadikan acuan:
Kemudian datang acara yang saya tunggu-tunggu yaitu diajak ibu untuk makan nasi gule di koplakan dokar di sebelah barat pasar yang menurut saya rasanya sungguh ”ruaar biasa”, “mak nyuuus”, orang sekarang bilang. Sampai sekarang kalau ke Kutoarjo saya tanya tukang parkir di pasar, apakah masih ada “gule koplakan”, tentu saja dijawab, “niku jaman mojopahit, pun mboten enten” (http://bloggerpurworejo.com/2009/05/rumah-dan-kenangan-masa-kecil-di-desa/)
Lokasi Koplakan memang strategis, karena berada di pusat kota Blora. Yang berdekatan dengan pasar dan alun-alun. Sehingga memudahkan bagi para pemudik atau pembeli yang berasal dari luar kota (http://diskominfo-blora.blogspot.com/2009_09_01_archive.html)
Kemudian datang acara yang saya tunggu-tunggu yaitu diajak ibu untuk makan nasi gule di koplakan dokar di sebelah barat pasar yang menurut saya rasanya sungguh ”ruaar biasa”, “mak nyuuus”, orang sekarang bilang. Sampai sekarang kalau ke Kutoarjo saya tanya tukang parkir di pasar, apakah masih ada “gule koplakan”, tentu saja dijawab, “niku jaman mojopahit, pun mboten enten” (http://bloggerpurworejo.com/2009/05/rumah-dan-kenangan-masa-kecil-di-desa/)
Lokasi Koplakan memang strategis, karena berada di pusat kota Blora. Yang berdekatan dengan pasar dan alun-alun. Sehingga memudahkan bagi para pemudik atau pembeli yang berasal dari luar kota (http://diskominfo-blora.blogspot.com/2009_09_01_archive.html)
CIKAL BAKAL PUSAT PERTUMBUHAN
Sekitar
1990an saya pernah mengikuti Dr Soenarso, MPH yang kala itu menjabat Kadinkes
Prov Jatim dalam perjalanan (kalau tidak salah) ke Ngawi. Beliau menanyakan: “Pak
Iwan tahu berapa jarak kota-kota di Jawa?” Saya berpikir dulu sebelum menjawab
sekitar 30 kilometer. Beliau melanjutkan pertanyaannya: “Mengapa demikian?”.
Yang ini terus terang saya katakan tidak tahu.
Penjelasan
beliau: Jaman Belanda dulu perjalanan menggunakan kereta kuda. Setelah menempuh
perjalanan sekitar 30 Km, kuda perlu istirahat. Maka disediakanlah tempat
peristirahatan (beliau tidak menyebut koplakan). Disitu kuda diberi makan dan
minum, manusia istirahat, ada penginapan, ada orang jual makanan dll. Kita
melanjutkan perjalanan bisa dengan kuda yang lama atau ganti kuda. Lama
kelamaan tempat tersebut berkembang menjadi kota.
Sama
dengan apa yang dikatakan Dr. Soenarso, MPH di atas, di bawah adalah kutipan
tulisan Soegijanto Padmo dalam http://wisatadanbudaya.blogspot.com/
Jangkauan
perdagangan di pedalaman masih relative dekat, meskipun angkutan untuk jarak
yang relative jauh digunakan gerobak dan cikar dengan daya tempuh sekitar 40
paal sehari.
(catatan: 1 Pal Jawa = 1,5 Km). Untuk
perjalanan yang mempunyai jarak lebih dari 40 paal memerlukan penginapan di koplakan yang terletak di antara
kota¬kota kecil yang tersebar di Surakarta.
Berkaitan
dengan masuknya ekonomi uang ke pedesaan di Surakarta maka masyarakat pedesaan
di sekitar koplakan itu juga sebenarnya adalah pengguna fasilitas yang
disediakan di koplakan itu. Dengan kata lain koplakan itu sebenarnya adalah embryo dari pusat pertumbuhan di
simpul kegiatan ekonomi perkebunan yang tersebar di seluruh wilayah Surakarta
yang kelak berkembang sebagai pusat kegiatan ekonomi dan kemudian menjadi pusat
kegiatan administrasi seperti desa, kecamatan, atau bahkan kawedanan.
DARIMANA ASAL KATA KOPLAKAN
Ada diskusi melalui
FB antara teman-teman sesama dokter (tua) hasilnya malah eyel-eyelan
koplak-koplakan. Yang paling tidak koplak diantara yang koplak adalah teori teman
saya yang namanya beberapa kali saya sebut, yaitu: Dr. Soemartono Samadikoen,
SpM. Saya cuplik dua komentar beliau sebagai berikut:
Yang
pernah juga saya tahu mas Iwan Muljono......kadang wadah minuman itu patungan beberapa
kuda, wadahnya dari glugu yg dibentuk seperti lesung....nah air dedak yg
dimasukkan tentu harus makin banyak.....saat beberapa kuda minum bareng.....irama
"koplak-koplak" semangkin nyata........
Masih
tentang "koplakan"..... minuman kuda biasanya di berikan dedak+air...
diwadahi timba..dan kalo kuda minum air tersbut...air dedak yg dikocak-kocak
oleh mulut kuda yg minum.....sepertinya bunyi..koplak-koplak.......koplak.com
hehehe....mbuh benere ora ngerti.
Bagaimanapun masuk
akal juga othak-athik dokter spesialis mata yang telinganya tajam ini. Sayang tidak
ada lagu kuda minum seperti lagu anak-anak kuda jalan yang tuk tik tak tik tuk
itu.
Catatan: Tempat minum kuda dalam bahasa Jawa disebut: Comboran. Kuda yang sedang nyombor (minum) bunyinya koplak-koplak.
EPILOG:
Jaman dulu Koplakan
memang untuk kereta kuda. Jaman sekarang kata koplakan sudah kurang terdengar
sekalipun di komunitas yang berbahasa ibu “bahasa Jawa”. Saya yakin anak saya
pun tidak tahu arti kata koplakan, walau ia bisa mengatakan: “Bapak ini makin
tua makin koplak”.
Jaman sekarang kalau
masih ada koplakan, hanyalah sekedar terminal, bukan sentra. Penggunaannya pun andai
terdengar, banyak salah kaprahnya, mungkin karena kereta kuda sudah jarang kita
jumpai sebagai angkutan umum: Koplakan Bis, koplakan Becak, koplakan Ojek.
Mungkin yang tidak pernah
terdengar adalah kata koplakan Bajaj, karena Bajaj hanya ada di Jakarta. Tetapi
setidaknya di Jakarta kita masih bisa mendengar kata: “Koplak, loe” (Iwan MM)
No comments:
Post a Comment