Saturday, December 31, 2011

ANTENG, MENENG, JATMIKA


Bila kita melihat tokoh-tokoh wayang, khususnya dalam “wayang kulit”, ada dua posisi kepala yang berbeda. Yang satu adalah kepala yang tunduk, dan satunya adalah kepala yang tengadah. Kepala tunduk tidak harus menggambarkan ksatria yang sopan demikian pula kepala tengadah tidak selalu menggambarkan ksatria sombong. Tetapi kalau kita bicara tentang “anteng, meneng dan jatmika” maka ksatria-ksatria dengan kepala tunduk adalah gambaran sikap “anteng, meneng dan jatmika”. Misalnya saja Puntadewa, Harjuna, Abimanyu, dan masih banyak lagi.



ANTENG

Anteng” berarti tidak banyak polah. Gerakannya tenang, halus, indah, tetapi jangan dikira tidak mempunyai kemampuan (kalau jaman dulu gambaran kemampuan adalah kemampuan berperang). Dalam bahasa Indonesia ada pepatah “air beriak tanda tak dalam” dan “air tenang menghanyutkan”. Dalam dunia pewayangan bisa kita lihat Harjuna yang solah-bawanya anteng dengan mudah mengalahkan Raksasa Cakil yang gerakannya demikian lincah. Sikiap “anteng” akan menimbulkan wibawa dan kharisma. Orang akan segan melihat orang yang anteng.

MENENG

Meneng” berarti diam tetapi bukan diam seribu bahasa alias tidak bicara samasekali. Orang meneng adalah orang yang bicara seperlunya dan tidak bicara yang bukan-bukan. Ia omong nganggo waton,  setelah dipikir lebih dahulu. Dalam bahasa Indonesia ada peribahasa “diam adalah emas”. Ada juga ungkapan yang mengatakan “kalau bicara adalah perak, maka diam adalah emas”. Yang jelas ia bukan orang yang “kakehan gludhug kurang udan”. Diam bukan berarti tidak punya konsep atau pendapat. Dalam banyak hal orang diam akan lebih bermanfaat.

JATMIKA

Jatmika” adalah resultante dari “anteng dan meneng”. Orang “jatmika” adalah orang yang “susila anoraga”, sikap yang santun berdasar norma-norma kesusilaan. Siapapun yang melihat seorang yang “jatmika” akan “kepranan” (terkesan) melihat kewibawaan yang terpancar dan tumbuhlah rasa hormat dan segan.

KESIMPULAN

Sikap “Anteng, meneng dan jatmika” dewasa ini seperti telah ditelan hiruk-pikuknya jaman. Di jalanan sampai di forum-forum normal di layar putih sampai di layar kaca hampir tidak ketemu lagi sikap seperti ini. Rapat-rapat banyak diwarnai polah-tingkah yang tidak anteng, tidak meneng, apalagi sikap “jatmika”. Tawuran bisa terjadi di jalanan, lapangan bola sampai di gedung-gedung terhormat dan dilakukan mulai anak-anak sampai orang dewasa. Hebatnya kita yang menonton juga bukan orang yang “jatmika”. Walaupun tidak senang, tetapi suka. Justru tepuk tangan kita semakin kuat menyemangati. “Keplok ora tombok” katanya. Kalau hanya tepuk tangan (keplok) kan tidak keluar uang (tombok). IwMM.

Friday, December 30, 2011

SERAT WULANGREH: MANUSIA DAN KERBAU


Cukup banyak saya tulis ungkapan tentang “kerbau” Antara lain: Bodho kaya kebo, Kebo nusu (nyusu) gudel, Aja cedhak kebo gupak, Kebo kabotan sungu, Kebo bule mati setra dan Kebo mulih menyang kandhange. Ungkapan terakhir lebih bersifat umum. Tetapi ungkapan pertama sampai dengan ke lima, sepertinya memojokkan kerbau sebagai perumpamaan orang yang bodoh, sengsara, tidak bermanfaat bahkan mengajak tidak baik.


BANYAK SEKALI UNGKAPAN DENGAN “KERBAU"

Sebenarnya masih ada beberapa ungkapan yang meminjam nama kerbau yang maknanya juga tidak enak:

1.    Kebo lumumpat ing palang: Orang yang tidak mematuhi peraturan yang seharusnya. Digunakan sebagai perumpamaan untuk orang-orang yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak hanya para pelanggar hukum tetapi juga untuk penegak hukum yang mengadili suatu perkara tanpa proses yang benar
2.    Kebo mutung ing pasangan: Orang yang putus asa dan meninggalkan pekerjaannya
3.    Kebo ilang tombok kandhang: Sudah kehilangan masih harus keluar biaya banyak. Bisa digunakan sebagai perumpamaan untuk orang yang titimpa kemalangan bertubi-tubi.
4.    Digarokake dilukoake kaya si kebo dhebleng: Disuruh kerja keras lebih dari satu macam (garu dan luku) dan nyaris tidak sempat istirahat
5.    Dikebo ranggah: Dijadikan tumbal (kerbau sering dijadikan tumbal: Misal menanam kepala kerbau untuk memulai suatu pekerjaan bangunan)

Sampai disini sudah ada sebelas ungkapan yang meminjam nama “kerbau” yang seandainya saya adalah kerbau, maka saya akan protes melalui perwakilan kerbau, kalau ada

MASIH BAIKAN KERBAU DARIPADA MANUSIA

Beruntunglah saya membaca Serat Wulangreh. Terhiburlah hati saya, karena dalam pupuh ke 11, sekar Asmaradana bait ke lima disebutkan:

 
Terjemahan: Tidak gampang orang hidup; Kalau tidak tahu hidupnya; Hidupnya sama dengan kerbau; Lebih baik daging kerbau; masih boleh dimakan; Sedangkan daging manusia; Kalau dimakan pasti haram.
Serat Wulangreh terdiri dari 13 pupuh (metrum tembang). Sekar Asmaradana adalah pupuh ke 11. Pada pupuh pupuh sebelumnya telah banyak pitutur (nasihat) dan wewaler (larangan) yang disampaikan Susuhunan Pakubuwana IV supaya manusia bisa melaksanakan kehidupannya dalam berhubungan dengan sesama manusia maupun dalam berhubungan dengan Allah Swt.

Kurang-lebihnya, manusia yang tidak tahu tentang itu, disamakan dengan kerbau. Bahkan masih lebih baik kerbau karena dagingnya bisa dimakan (IwMM).

Thursday, December 29, 2011

BERBUDI BAWA LAKSANA

Ungkapan ini sudah sering kita dengar. Demikian pula analisisnya bisa panjang lebar. Ki Dhalang kalau berceritera tentang seorang raja, pasti tidak lupa menyebut sebagai raja yang “berbudi bawa laksana”. Demikian pula motto Gerakan Pramuka Indonesia menggunakan kata ini: “Ikhlas Bakti Bina Bangsa Berbudi Bawa Laksana”. Saya coba meninjau dari pengertian kata per kata, yaitu: Berbudi, bawa dan laksana.

BERBUDI

Berbudi dalam bahasa Jawa beda dengan berbudi dalam bahasa Indonesia. “Ber” disini bukan sebuah “awalan” melainkan kependekan dari “luber” yang artinya adalah “meluap”. Adapun “Budi” pengertiannya adalah “watak”. Tentusaja watak yang baik. Watak apa yang meluber atau meluap? Tentusaja watak suka memberi, yang dalam bahasa Jawa menurut Poerwadarminta disebut “seneng weweh”. Pemimpin harus “ber-budi”, luber budinya. Suka memberi kepada rakyatnya. Memberi kepada rakyat tidak harus memberi uang tunai. Keamanan, kesejahteraan, kemudahan, peluang usaha dan masih banyak lagi. Rakyat akan merasa ayem karena diayomi pemimpin yang “ber-budi”. (catatan: Semua yang diberi tanggung-jawab mengendalikan sesuatu adalah pemimpin. Pak Lurah, Kepala Puskesmas, kepala Pasar, juga termasuk pemimpin).

BAWA

Bawa” dalam bahasa Jawa berarti “ucapan”, atau awal nyanyian. Tembang Jawa sering diawali dengan “bawa”. Semacam intro yang disampaikan dalam sepotong kalimat bernada. Penekanan disini pada “ucapan” seorang pemimpin. Tentusaja ucapan seorang pemimpin tidak boleh “kakehan gludhug kurang udan”, banyak janji tanpa bukti. Ucapan pemimpin harus sama dengan perbuatannya. Harus “Sabda pandita ratu”. [baca, Sabda Pandita Ratu (1): Kisah Dasarata dan Santanu dan lanjutannya]

LAKSANA

Laksana” adalah “jalan”. Diberi sisipan “um” maka “lumaksana” berarti “berjalan. Pengertian “jalan” disini adalah gerak langkah atau tindakan. Jadi “Laksana” menjelaskan “bawa”. Dengan demikian pengertian “Bawa laksana” adalah “kesatuan ucapan dan tindakan”

KESIMPULAN

“Berbudi bawa laksana” mengandung pengertian “suka memberi dan kesatuan antara ucapan dan tindakan”. Penjabarannya bisa panjang-lebar, luas dan mendalam. Saya hanya ingin mengingatkan satu hal. Yang sering diucapkan pemimpin kepada rakyat adalah “janji”. Dan yang dijanjikan pasti “mau memberi sesuatu”. Misalnya membangun Puskesmas, Membangun jembatan, mengaspal jalan dan lain-lain. Oleh sebab itu leluhur kita mengingatkan dalam tiga kata “Ber-budi Bawa Laksana”, Banyaklah memberi dan tepati janjimu. Promise made must be promise kept. (IwMM)

Wednesday, December 28, 2011

SERAT WULANGREH: JANGAN MADAT

Pada masa Sunan Pakubuwana IV, masalah narkoba belum sebesar sekarang. Saat itu, belum ada narkotika suntik, demikian pula obat-obat terlarang yang jenisnya cukup banyak juga belum diproduksi. Yang dilakukan para pemadat adalah mengisap candu (opium). Alatnya disebut “bedudan”, pipa panjang dari bambu, yang di ujung satunya ada semacam wadah guna menaruh candu. Dibutuhkan api untuk membakar candu tersebut yang selanjutnya diisap. Dengan demikian pengguna candu perlu didampingi lampu minyak.
 
Madat termasuk satu dari empat cacad agung yang disebutkan dalam Serat Wulangreh, pada pupuh Wirangrong bait ke 10 (Empat cacad agung menurut Serat Wulangreh: madat, Ngabotohan, Durjana dan Ati Sudagar Awon)
 
 
PERILAKU DAN AKIBAT KECANDUAN
 
Susuhunan Pakubuwana IV ternyata tanggap terhadap masalah yang dihadapi para pemadat ini. Bahkan memahami gejala-gejala fisik dan psikis serta akibat buruk yang akan dialami para pecandu. Hal ini dapat kita lihat pada Serat Wulangreh, Pupuh ke 8, sekar Wirangrong bait ke 18 sd 21 sebagai berikut:
 

Pada bait ke 18 seperti dapat dilihat pada gambar di samping, memang perilaku orang madat itu tidak sedap dipandang sebagai berikut:

Mengenai orang yang madat; Malasnya (kesed) bercampur tidak mau bekerja (lumuh); Apa yang menjadi kesukaannya; Menghadap lampu (diyan: lampu minyak) serta; Duduk mengangkat kaki (jigang) di ambin; sambil bersandar (leyangan) pada bedudannya (alat penghisap candu)
 

Selanjutnya pada bait ke 19 dijelaskan gejala fisik yang paling jelas adalah tubuhnya "kurus" disamping tingkah-laku yang menjijikkan:

Bila sedang berhenti menghisap candu (nyeret) dia “adhidhis” (dhidhis: bermalas-malas sambil garuk-garuk badannya, utamanya untuk perilaku binatang); Kedua matanya terpejam; kalau sudah berlanjut menjadi kurus (awake akuru) ; Cahayanya biru kepucatan; Jalebut (jlebud: pakaian tidak bersih) dan Takut air (wedi toya) sehingga malas mandi. Bibir biru gigi putih
 
Catatan: Pada bait ke 18 dan 19 ini Sri Susuhunan Pakubuwana IV menjelaskan akibat fisik dari kecanduan, kurus, pucat dan biru (sianotik karena kurang oksigen atau darah merahnya keracunan). Gigi putih bukan karena bersih melainkan karena bibir menjadi biru atau sianotik sehingga gigi kelihatan relatif putih. Demikian pula akibat psikisnya, menjadi amat pemalas. Baring-baring, mata terpejam sambil garuk-garuk badan. Tidak hanya malas tetapi juga tidak mau melakukan apa-apa.
 

Selanjutnya pada bait ke 20 dijelaskan tentang batuknya yang berkepanjangan akibat jelaga yang terakumulasi di paru-paru. Terjemahan: Karena bermusuhan dengan gambir; jarang akur dengan sirih dan jambe (gambir); napasnya kembang-kempis; Batuknya berkepanjangan; Jelaga di dalam dada; Tak urung keluar “bol”nya (bol keluar: ambein).

Keterangan: Pengertian saya mengenai sirih dan gambir dalam hal ini adalah obat batuk jaman dulu.  Karena tidak pernah menyentuh obat batuk, maka batuknya tidak berhenti. Banyaknya batuk karena paru-paru penuh jelaga (jalagra aneng dhadha) dari candu yang diisap. Tidak urung terjadi penyakit ambein. Masuk akal sekali karena salah satu penyebab ambein adalah tekanan dari dalam yang kuat. Salah satu penyebab meningkatnya tekanan dalam perut adalah batuk-batuk yang terus-menerus. Sepertinya Sri Susuhunan Pakubuwana IV ini memahami dasar-dasar ilmu kedokteran.
 

Kita sampai pada bait ke 21, tahap terminal dari pecandu opium mengenai cara matinya yang tidak nyaman. Terjemahan: Kalau mati pakai “dalinding” (dlinding: banyak buang air, beser); Tetapi tetap  tidak jera; Supaya hal ini disingkiri (Singgah: singkir; Singgana: Singkirilah); Jangan diikuti; Pengguna opium itu tidak baik; Hidupnya jadi tontonan: Sudah kurus-kering, batuk-batuk, ambein masih plus beser, mati lagi. Oleh sebab itu Sinuwun berpesan: Madat itu tidak baik; singkiri dan jauhi.
 
 WAWASAN KE DEPAN DARI ABAD 18
 
Dewasa ini narkoba menjadi masalah dunia  Jenisnya pun beraneka ragam. Penggunaan narkoba suntik dengan jarum suntik dipakai bergantian adalah cara penularan virus HIV yang paling mudah. Telah ada Badan khusus yang menangani masalah narkoba, demikian pula kampanye besar-besaran telah dilakukan oleh pemerintah maupun unsur-unsur masyarakat. Sri Susuhunan Pakubuwana IV ternyata mempunyai wawasan ke depan. Melalui pupuh Wirangrong dalam Serat Wulangreh pada abad ke 18, kepada kita semua beliau telah berpesan: | iku padha singgahana patut; aja na nglakoni; wong mangan apyun ala (IwMM)
 


Monday, December 26, 2011

SERAT WULANGREH: TULADHA DARI KLUWAK



Tentang buah ini, ada berbagai penulisan dengan pengucapan yang hampir sama: Keluwek, kaluwak, keluak, kluwek, kluak. Daerah yang berbudaya Melayu kalau tidak salah menyebut dengan nama “Kepayang”, sehingga muncul istilah “mabuk kepayang” (biji kluwak yang masih muda kalau mencucinya tidak benar bisa memabokkan sehingga menimbulkan pusing). Dalam bahasa Jawa biji kluwak muda disebut Pucung. Apapun namanya dalam bahasa daerah, nama ilmiah pohon kluwak adalah “Pangium edule”

Bila kita bicara kluwak sebagai bumbu makanan, misalnya rawon, dengan warna hitamnya yang khas, maka kluwak tua adalah yang paling bagus. Kluwak bisa berasa pahit kalau berasal dari buah yang masih muda. Tip untuk memilih keluak tua adalah: Ringan, kalau diguncang akan “berbunyi” karena daging buah sudah menyusut dan terpisah dari kulit buah yang keras.Demikian kalau kita bicara kluwak sebagai bumbu.


MENGAMBIL KLUWAK SEBAGAI TAULADAN


Lain halnya dengan “pepindhan” kluwak sebagai pitutur yang terdapat pada Serat Wulangreh Karya Sunan Pakubuwana IV. Pada bait terakhir (27) pupuh Wirangrong (gambar sebelah).

Saya garis bawahi kalimat “tutur tanpa dhapur” yang bisa diartikan “nasihat tanpa wajah”. Wajah tentunya milik manusia. Nasihat tanpa wajah berarti bukan dari manusia (jangan cepat-cepat menganggap dari “makhluk halus”). Penjelasannya ada pada baris terakhir “Kaya pucung lan kaluwak”. Di atas telah dijelaskan bahwa pucung adalah kluwak muda. Jadi: teladanilah pucung dan kluwak. Adapun pada baris sebelumnya dijelaskan, kalau hal ini baik (yen bakale becik), maka dipakai akan memberi manfaat (den anggo weh muphangat). Sekaligus kata “pucung” pada bait terakhir sekar Wirangrong memberi sasmita bahwa pada pupuh berikutnya, yaitu pupuh ke 9, akan beralih ke sekar Pocung.


MUDA BERSATU TUA BERPISAH

Marilah kita lihat Pupuh (metrum) ke 9, sekar Pucung, bait ke 1 sd 3 tentang hakekat buah keluak yang pada masa muda bersatu dengan kulitnya dan setelah tua masing-masing berpisah, sebagai berikut:


Bait pertama ini menjelaskan hakekat pucung dan kluwak. Waktu masih muda (kulit buah dan daging buah) menyatu, selelah tua berpisah.

Bait ke dua memaknai hakekat kluwak dan pucung: Bagaimanapun upayakan jangan sampai berpisah seperti masa muda dulu. Waktu muda bersatu setelah tua pun harus bersatu.

Selanjutnya pada bait ke tiga Sri Pakubuwana IV mengingatkan apa akibatnya kalau kita tidak bersatu: Tersebar hidup sendiri-sendiri dan akhirnya hanya jadi bumbu pindhang.

Rupanya Sri Sunan Pakubuwana IV sudah menengarai bahwa banyak teman sepermainan pada masa kanak-kanak atau masa muda setelah dewasa justru menjadi seteru, lawan berkelahi.

Catatan:

Banyak masakan “pindhang berbumbu kluwak. Bila kita mendengar kata Pindhang lulang” maka hal ini adalah wangsalan yang maksudnya “krecek” (Krecek adalah makanan yang tebuat dari “lulang” atau kulit sapi).

Baris terakhir ada yang kutipannya beda, tetapi  dari sisi guru wilangan, guru lagu serta makna tidak salah. Dari sisi kebenaran tulisan perlu merujuk ke naskah aslinya.


MANUSIA HARUS BERSATU

Adapun pada bait ke 4 sampai dengan 6 Sri Susuhunan menekankan pentingnya "bersatu" dan manfaat punya banyak saudara, sebagai berikut:


 Bait ke 4 sd 6 menjelaskan manfaat persaudaraan dan persatuan.

(4) Persaudaraan jangan terpisah dalam segala hal; Dilihat orang akan lebih “prayoga”.

(5) Berat ringannya orang banyak saudara, ringan karena masing-masing berpikir-sendiri-sendiri dan berat kalau harus saling membantu.

(6) (Tetapi) banyak saudara itu lebih kokoh. Satu banding seratus (ji-tus) punya banyak saudara lebih baik daripada sendirian.

Demikianlah, bila suatu saat kita berkunjung ke suatu daerah dan menikmati kuliner khas daerah (banyak sekali) yang menggunakan kluwak sebagai bumbunya, marilah kita pahami makna kluwak dibalik “mak nyuss”nya mulut berbicara ketika lidah bergoyang (IwMM)

Friday, December 23, 2011

SERAT WULANGREH: DEDUGA, PRAYOGA, WATARA dan RERINGA

Kehati-hatian orang Jawa dalam mengambil keputusan tercermin dalam empat kata berjenjang ini “Deduga, prayoga, watara dan reringa”. Hal ini  supaya tidak salah di kemudian hari, sesuai dengan peribahasa dalam bahasa Indonesia “Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”. Leluhur kita mengajarkan supaya segala sesuatu dipertimbangkan masak-masak supaya tidak “keduwung buri” (menyesal di belakang hari).


MAKNA TEMBANG

Empat kata” ini dapat dibaca pada Serat Wulangreh, pupuh pangkur, khususnya pada bait ke 2, 3 dan 4 sebagai berikut:


Inti maksud per bait kurang lebih sebagai berikut:

(2) Deduga, prayoga, watara dan riringa tidak boleh ditinggalkan saat kita bangun, duduk, berdiri dan berjalan, baik saat berbicara, diam bahkan saat tidur.

(3) Dalam segala hal, dalam kegiatan besar maupun kecil, setiap hari, siang maupun malam, orang kota maupun orang desa, semua orang yang masih bernapas, empat hal tersebut tidak boleh ditinggalkan.

(4) Kalau ada manusia meninggalkan duga dan prayoga, dia tidak layak bergaul dengan orang banyak. Orang yang tidak tahu tatakrama (degsura), kurang ajar (daludur) dan sombong ( tan wruh ing edir) seperti ini jangan didekati karena hanya menimbulkan kesusahan.

Dapat disimpulkan bahwa keempat hal tersebut: Deduga, prayoga, watara dan reringa tidak boleh ditinggalkan oleh siapa saja sepanjang masih bernapas, baik orang kota maupun orang desa,  baik siang maupun malam. Orang yang meninggalkan keempat hal tersebut termasuk


EMPAT LANGKAH MENGAMBIL KEPUTUSAN

"DEDUGA" boleh diartikan sebelum melangkah harus dipertimbangkan. Sebuah contoh sederhana adalah kita punya pegawai yang bodoh di kantor. Tiap hari bikin kita marah karena pekerjaannya. Lalu mau kita apakan dia? Dipecatkah? Jangan keburu memecat. Pertimbangkan dulu baik-baik.

"PRAYOGA" sebaiknya bagaimana? Apa untungnya memecat dan mengganti? Demikian pula apa ruginya? Mengganti orang baru sebenarnya sama saja dengan beli kucing dalam karung. Kita tetap tidak tahu baik buruknya. Orang yang mau kita ganti ini bodoh tapi jujur dan loyal, jangan-jangan nanti kalau dapat orang baru, kita dapat yang pandai tapi tidak disiplin dan suka mencuri? “Dados prayoganipun kadospundi? Ya kita rembug sama-sama.

"WATARA" tetap kita harus mengira-ira lagi dengan mempertimbangkan berbagai hal secara seimbang. Kita perlu konsultasi atau minta pendapat orang lain, tetapi yang memutuskan ya tetap kita.

"RERINGA" mengingatkan lagi bahwa kita harus berhati-hati dan benar-benar yakin sebelum mengetok palu.


PERTIMBANGAN BUKAN BERARTI LAMBAN

Hal ini yang menyebabkan seolah-olah orang Jawa lambat mengambil keputusan. Pada jaman sekarang, jaman yang serba cepat dimana perubahan bisa terjadi dalam hitungan menit, kelambatan mengambil keputusan bisa sama jeleknya dengan salah mengambil keputusan.

Deduga, prayoga, watara dan reringa” adalah pelajaran jaman dulu. Intisarinya amat bagus, jangan gegabah. Yang diperlukan adalah kecepatan. Guna memperbaiki kecepatan pada jaman sekarang sudah banyak sekali “toolkit” manajemen yang bisa kita pelajari. Misalnya saja analisis SWOT yang mempelajari Strength (Kekuatan), Weakness (Kelemahan), Opportunity (peluang) dan Threat (Ancaman) yang pada hakekatnya adalah analisis DPWR (Deduga, Prayoga, Watara dan Reringa) yang sudah dibuat lebih sistematis dan terstruktur.

Jadi, cara mengambil keputusan melalui “deduga, prayoga, watara dan reringa” bukan penyebab kelambanan. Kalau ada yang lamban maka yang lamban adalah “manusianya” yang terlalu mangu-mangu (ragu-ragu) bukan ajarannya. Ungkapan Jawa yang lain terkait dengan kebalikan hal ini adalah “Kurang duga prayoga” dan Kaduk wani kurang deduga”. Maknanya hampir sama, hanya yang pertama menekankan pada lemahnya pertimbangan sedang yang kedua menitikberatkan pada kegegabahan dalam bertindak (IwMM)


CATATAN:
Menurut Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939:
Duga: Nganggo dipikir dhisik untuk baiknya (demi baiknya semua tindakan harus dipikir terlebih dahulu)
Duga-prayoga: Pangrembug kang murih becike (berembug untuk baiknya)
Duga-wetara: Pamikir, panemu (buah pikiran, pendapat)
Prayoga: Pertimbangan baik
Watara: Pangira-ira (Perkiraan)
Reringa: Kanthi pangati-ati merga gojag-gajeg (Dengan penuh kehati-hatian karena masih ragu-ragu)

Thursday, December 22, 2011

KUNTUL DIUNEKAKE DHANDHANG dan DHANDHANG DIUNEKAKE KUNTUL

Kuntul: Burung dengan paruh dan kaki panjang warna bulunya putih. Banyak kita jumpai di sawah. Melambangkan hal-hal yang baik (warna putih). Dhandhang: Nama lain dari burung gagak. Warna bulu hitam, melambangkan hal-hal yang buruk.

Banyak yang tidak tahu kalau burung gagak punya “dasanama” (nama lain) burung dhandhang (Bausastra Jawa, WJS Poerwadarminta, 1939). Dalam pembahasan ini terlepas dari pendapat lain tentang apa dan siapanya burung “dhandhang”, saya menggunakan gagak sama dengan dandang (dhandhang). Masalah “kuntul dan dhandhang” ini mengundang perhatian kelompok diskusi kami.

“Kuntul diunekake dhandhang dan dhandhang diunekake kuntul, maksudnya apa?” Rupanya Toni yang bukan orang Jawa habis membaca postingan salah satu teman Fbnya.

Maksudnya ya barang baik dibilang buruk dan barang buruk dibilang baik. Biasanya manusia kan gitu, Ton. Punya kita selalu kita bilang baik, sebaliknya punya orang selalu kita bilang buruk’, Darman yang menjawab. “Demikian pula pendapat kita selalu kita katakan baik dan pendapat orang kita jelek-jelekkan”, lanjut Darman.

“Tapi kenapa perumpamaannya seperti tidak masuk akal?” Tanya Toni. “Kuntul kan binatang sedang dandang (catatan: bukan dhandhang) bukan binatang. Kenapa binatang dipadankan dengan benda, sedang binatang lain masih banyak. Kenapa bukan kuntul diunekake tikus, misalnya”.

Mbah Harjo yang menjawab: “Kamu tidak tahu kalau Dhandhang adalah nama lain dari Gagak? Jadi maksudnya Kuntul diunekake gagak dan gagak diunekake kuntul.”

“Kalau gitu kan jelas, mbah”. Sahut Toni. “Tapi kenapa menggunakan nama yang tidak umum, Dhandhang. Tidak banyak yang tahu, mbah. Orang Jawa selalu saja membuat sulit hal yang mudah”.

Mas Bagyo ikut menimpali: “Betul, seumur-umur saya baru tahu sekarang kalau gagak itu dhandhang”. Mas Bagyo mengangkat kepalanya sejenak, seolah-olah mencari jawaban di langit-langit rumah mbah Harjo. Sifatnya yang analitik muncul. “Nama Gagak kan berasal dari bunyinya yang gaoook, gaoook, jadilah dia gagak. Tapi dhandhang? Apa kaitan gagak dengan dandang?

“Betul, mas”. Sahut Darman. Dandang itu kan temannya kukusan. Alat untuk menanak nasi sebelum kita punya rice cooker. Apa dulu Gagak suka mencuri nasi dari dandang ya?”

Mbah Harjo ketawa. Beliau beranjak masuk ke dalam. “Bu, kita masih punya dandang lama?” Rupanya beliau bicara dengan mbah Harjo putri.

“Ada di gudang Pak, di atas rak, saya bungkus dengan glansing, biar tidak kotor”, jawab eyang Harjo putri. “Untuk apa?” lanjutnya.

“Itu, Bu. Anak-anak tambah bodoh saja”, jawab mbah Harjo sambil tertawa.

Tak lama kemudian mbah Harjo keluar. “Ini namanya dandang, anak-anak”.

“Kalau Cuma itu semua orang tahu, mbah”, timpal mas Bagyo. “Lalu apa istimewanya?”

Mbah Harjo tersenyum. “Jangan cepat-cepat sinis, Bag” katanya seraya membalikkan sang dandang. Pantat dandang sekarang menghadap ke hidung mas Bagyo. “Warnanya apa Bag?”

Darman yang menyahut pelan sambil menduga-duga maksud mbah Harjo: “Hitam, Mbah”.

Lagi-lagi Toni yang bukan orang Jawa menunjukkan kecerdasannya yang tinggi. “Astaga, pantat dandang selalu hitam. Barangkali dulu kita menanak nasi kalau nggak pakai kayu ya kompor minyak tanah. Dan kita tidak sempat membersihkan pantat dandang, apalagi belum ada obat pembersih saat itu. Jadi gagak diberi nama dhandhang karena warna bulunya seperti pantat dandang”. Habis itu ia tertawa keras-keras.

Mbah Harjo melanjutkan. “Coba kalian hitung berapa kali sehari dandang naik ke atas perapian. Kalau tiga kali saja ada. Siapa yang mau membersihkan pantat dandang. Paham, Bag?”

Mas Bagyo manggut-manggut. “Paham, mbah. Tetapi kenapa mesti repot-repot mengeluarkan dandang dari gudang segala”, mas Bagyo masih penasaran.

“Ngomong harus berbasis bukti kan, Bag”, jawab mbah Harjo. “Jadi kamu tidak bisa ngeyel lagi bahwa pantat dandang itu memang hitam”.

“Iya, mbah. Pokoknya yang satu hitam, satunya putih”. Sahut mas Bagyo lirih. (IwMM)

CATATAN:

Menurut Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939:
Dandang: Semacam panci tinggi, permukaan lebar, untuk menanak nasi; Dhandhang: Burung Gagak.

Ada yang mengatakan “Dhandhang” adalah sejenis burung berwarna hitam tanpa menyebut jenis burungnya.

Saya baca di lomardasika.blogspot.com yang mengisahkan perjalanan Lomar Dasika ke Provinsi Kalimantan Tengah dan menginap di Hotel Dandang Tingang, Palangkaraya. Dandang berarti kandang dan Tingang adalah nama daerah untuk burung Enggang (Rangkong) yang menjadi maskot kebanggaan rakyat Kalimantan Tengah. Burung Enggang itu bagus, paruhnya besar dan berwarna kuning, dan tidak sepenuhnya hitam demikian pula tidak terlalu akrab bagi orang Jawa. Jadi “Dhandhang” yang dimaksud dalam ungkapan Jawa di atas memang “Gagak” yang hitam dan tidak tampan, sesuai Poerwadarminta dalam Bausastra Jawa (IwMM)

Wednesday, December 21, 2011

GUYUB RUKUN

GUYUB adalah kehendak untuk bersama dalam kebersamaan. Bila dalam suatu komunitas semua orang memiliki rasa “guyub” ini, alangkah indahnya hidup di dunia. Misalnya ada keluarga punya hajat, atau mengalami musibah karena ada yang sakit atau meninggal dunia, maka tanpa diminta orang-orang akan datang memberikan bantuan apa saja. Semua “uwur dan sembur” (bukannya Ora Uwur Ora Sembur). Semua membantu, baik berupa tenaga, bahan-bahan, dana maupun nasihat. Semua ikhlas tanpa pamrih, tidak mengharapkan balasan. Bahkan kalau tidak ikut “cawe-cawe” membantu mereka akan merasa bersalah.

Sifat guyub ini masih belum hilang dari kehidupan bermasyarakat di negara kita, paling tidak di desa-desa, khususnya di desa yang masih termasuk kategori “desa kluthuk”, desa yang terpencil, desa yang menamakan dirinya “adoh ratu cedhak watu” (jauh dari ratu dekat dengan batu). Dalam kehidupan kota mungkin sifat guyub sudah terkikis oleh hiruk-pikuk urban life. Membantu memang tetap membantu, tetapi lebih praktis membantu dengan uang. Pada masa galak-galaknya siskamling, kalau pas dapat giliran jaga saya lebih memilih mengupah orang untuk gantikan jaga di poskamling. Padahal jaga rame-rame di poskamling juga merupakan salah satu bentuk keguyuban.

Kalau “guyub” adalah kebersamaan dalam mengerjakan apa saja secara bersama-sama, maka RUKUN adalah hidup tanpa pertikaian. Tidak ada orang bertengkar, atau berbeda pendapat. Kalau terjadi sesuatu semuanya diselesaikan melalui musyawarah yang pasti mufakat. Bahkan kalau perlu mufakat tanpa musyawarah.

Dalam bahasa Jawa ada ungkapan “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah” Rukun membuat kita kuat, pertentangan membuat kita bubar. Mungkin bapak ibu masih ingat ceritera laki-laki tua yang sedih karena anak-anaknya senantiasa berkelahi. Suatu saat laki-laki tua itu mengumpulkan semua anaknya. Ia membawa sapu lidi, lalu dilepas ikatannya. Satu-persatu mereka disuruh mematahkan lidi yang sudah lepas dari ikatan. Tentusaja lidi itu amat mudah dipatahkan. Kemudian si bapak mengikat kembali sapu lidi itu. Tidak ada satupun diantara anaknya yang mampu mematahkan lidi yang kini terikat jadi satu. Pelajaran yang diperoleh dari ceritera ini adalah “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”. Bubrah seperti “sapu ilang suhe” (suh: pengikat sapu). Sapu yang kehilangan pengikat akan tercerai berai sekaligus tidak punya kekuatan. Andaikan hal ini terjadi dalam keluarga maka keluarga akan menjadi berantakan. Bagaimana kalau terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?


Kata “Guyub” dan “Rukun” bisa digunakan secara terpisah atau disatukan menjadi “Guyub Rukun”. Sebaiknya memang disatukan. “Guyub” belum tentu “rukun” demikian pula ”rukun” belum tentu “guyub”. Di era banyak kekerasan ditengah kerasnya hidup, alangkah sejuknya “guyub rukun”. Masih bolehkah kita memimpikan bahwa suatu saat bangsa kita akan kembali memiliki semangat “Guyub Rukun” ini? Kita harus yakin semangat itu masih ada. Paling tidak kata “Guyub” dan “Rukun” masih banyak dipakai. Bukankah banyak Organisasi yang menggunakan nama “Paguyuban”, demikian pula kata “Rukun”. Ada Rukun Tetangga, Rukun Warga, Rukun Tani dan sebagainya. (IwMM)

Tuesday, December 20, 2011

GUGON TUHON

Gugu: Menurut, mengikuti pendapat/nasihat; Tuhu: Setia. Dengan demikian pengertian “Gugon tuhon” adalah mengikuti dengan setia dan “tanpa reserve”, pokoknya ikut. Pada umumnya nasihat dalam “gugon tuhon” bersifat “wewaler” atau larangan. Rumusnya adalah: “Jangan melakukan .... nanti akan ..... “. Secara umum “gugon tuhon” dapat dibagi menjadi tiga macam sebagai berikut:


1. WEWALER

Gugon tuhon yang bersifat “wewaler” untuk keturunan orang tertentu. Contoh sederhana adalah pada waktu saya menghadiri suatu kondangan, ada suguhan daging angsa, kemudian saya sakit sampai seminggu, setelah sembuh saya mengatakan: Anak cucu saya jangan sampai ada yang makan daging angsa, karena akan sakit berat. Karena semua anak saya “nggugu” dan “mituhu” sama bapaknya, maka tidak ada yang berani makan daging angsa. Mereka akan menyampaikan pada anak-anaknya dan seterusnya. Larangan makan daging angsa menjadi “wewaler” untuk keturunan saya. 

Saya tidak membahas hal ini lebih lanjut, kecuali satu hal, bahwa pantangan makanan dari sisi kesehatan bisa ada benarnya. Ada penyakit-penyakit yang diturunkan dari orang tua ke anaknya. Misalnya kencing manis. Andaikan saya seorang penderita diabetes kemudian memberi wasiat supaya garis keturunan saya memperhatikan intake karobohidrat agar kakinya tidak busuk, ada unsur benarnya juga, walaupun tidak semua keturunan saya akan kena diabetes, dan yang kena diabetes belum tentu kakinya busuk. 
 

2. MENYEMBUNYIKAN PITUTUR BAIK TETAPI TANPA PENJELASAN
Gugon tuhon yang menyembunyikan nasihat tetapi tidak diberi penjelasan. Umumnya terkait dengan perilaku manusia. Gugon tuhon ini menurut saya kok baik. Hanya saja di jaman modern ini semestinya dijelaskan reasoningnya apa. Jangan sekedar “ora ilok” atau akan ditelan buaya, dan sebagainya. Beberapa contoh dari gugon tuhon jenis ke dua ini antara lain:
Jangan suka mengintip, nanti “timbilen” (bisul kecil pada kelopak mata). Mengintip (melihat secara sembunyi-sembunyi melalui celah/lobang) memang perbuatan tercela. Kalau ketahuan bisa dipukuli orang banyak atau mata yang mengintip dicolek pakai jari bisa timbul luka.
Barang yang sudah kau berikan orang lain jangan diminta kembali, nanti “gondhongen” (pembengkakan pada leher). Ini juga perbuatan tidak terpuji: barang sudah diberikan kok diminta kembali. Berarti waktu memberi hati kita tidak ikhlas.
Jangan meludahi sumur, nanti bibirmu “suwing” (sumbing). Tentusaja ini perbuatan tidak baik. Sumur kan sumber air minum orang banyak,  lebih-lebih kalau yang meludah punya penyakit yang ditularkan melalui ludah dan bibit penyakitnya bisa hidup di air. 
Jangan duduk di atas bantal nanti pantatmu bisulan. Bantal dipakai untuk alas kepala kok dipakai untuk alas pantat. Celana kita juga tidak selamanya bersih karena telah kita pakai kemana-mana dan duduk dimana-mana pula. 
Masih banyak lagi wewaler yang seperti ini. “Message”nya bagus tetapi “reasoning”nya terlalu berlebih-lebihan dan tidak bisa dipahami akal sehat. Entah mengapa dibuat demikian mungkin pada masa itu untuk melarang perbuatan tercela perlu ditakut-takuti. Dalam bahasa Indonesia pun ada juga hal semacam ini. Coba perhatikan lagu “Nina Bobo” ........ kalau tidak bobo digigit nyamuk. Padahal nyamuk gigit saat orang tidur. Kecuali setelah si anak tersayang bobo, ibunya memasang kelambu dengan baik, atau sebelumnya kamar tidur telah disemprot dan lobang ventilasi tertutup kasa. Barulah bobo tidak digigit nyamuk.

3. MESSAGE DAN REASONING TIDAK MASUK AKAL

Gugon tuhon yang betul-betul gugon tuhon, “Message” dan “reasoning” sama-sama tidak masuk akal. Beberapa contoh “gugon tuhon” jenis ke tiga ini antara lain:
Anak kecil dilarang makan “brutu” ayam nanti menyesal di belakang hari (brutu bagian ekor ayam). Memang brutu rasanya enak, jadi tidak untuk anak kecil. Tapi kalau dikaitkan dengan kebahagiaan di belakang hari, rasanya tidak masuk akal.
Anak kecil dilarang makan telur nanti kudisan. Apa hubungan antara telur dan kudis kecuali alergi telur.
Anak kecil dilarang makan kelapa parut, nanti “kreminen” (keluar cacing kremi). Bagaimanapun kelapa merupakan sumber protein nabati
Wanita hamil dilarang makan pisang yang dempet, nanti melahirkan anak kembar (siam). Untung pisang dempet (dua buah pisang menempel jadi satu) hanya sedikit. Andaikan yang dempet lebih banyak dari yang tidak dempet, salah satu sumber asupan gizi ibu hamil akan berkurang.
Wanita hamil dilarang makan lele nanti kepala anaknya besar dan susah keluar waktu proses melahirkan. Lele adalah sumber protein hewani.
Wanita hamil dilarang makan jantung pisang nanti anaknya akan mengecil. Dan masih banyak lagi.

Waktu bertugas di Maluku Utara lebih 30 tahun yang lalu, penyakit campak juga memiliki “gugon tuhon” yang mengerikan. Anak yang kena campak hanya diberi pakaian putih, semua ventilasi kamar ditutup. Hanya boleh minum air putih. Pokoknya serba putih. Lebih hebat lagi, masyarakat yang kalau ke dokter tidak disuntik merasa belum diobati, maka untuk sakit campak justru berlaku kebalikannya. Tidak boleh disuntik. Kalau anak dibawa sudah dalam keadaan dehidrasi dan sesak napas karena komplikasi pleumonia (radang paru). Sebenarnya anak perlu di-infus dan obat masuk lewat suntikan. Saat itu kematian akibat campak diterima dengan baik sebagai sesuatu yang wajar. Untunglah berkat adanya imunisasi campak yang diberikan sebagai imunisasi rutin dan gratis, serta makin baiknya tingkat pengetahuan masyarakat, hal ini sekarang sudah jarang terjadi.
Masih banyak pantangan-pantangan seperti ini. Menurut saya gugon tuhon yang ke tiga inilah yang prioritas untuk diluruskan. Lebih-lebih banyak kaitannya dengan makanan dengan sasaran ibu hamil dan anak-anak. Makanan amat mempengaruhi status gizi seseorang sementara ibu hamil dan anak membutuhkan asupan gizi yang baik. Anak masih akan tumbuh kembang dan ibu hamil harus melahirkan anak yang sehat Anak dan ibu termasuk sasaran Millennium Development Goals 2015.
 
PENUTUP
Itulah “gugon tuhon”. Adalah tantangan kita untuk meluruskan. Yang mengandung “pitutur” kita jelaskan apa yang tersirat sedangkan yang tidak masuk akal, kita hilangkan melalui penyuluhan, khususnya penyuluhan kesehatan kepada masyarakat (IwMM).

Monday, December 19, 2011

TEMBANG MACAPAT “ALL IN ONE”

Beberapa tahun yang lalu ada salah satu kerabat mengatakan: “Sekarang tembang saya Pangkur, bukan Durma lagi”. Mungkin kelihatan kalau saya tidak begitu “dhong” dengan maksudnya, dia melanjutkan: “Saya sudah pensiun, jadi sudah mungkur dari dunia persilatan”. Saya baru ngeh.Ooo, jadi yang dimaksud dengan tembang pangkur tadi adalah mungkur alias pensiun. Pengertian Durma mungkin darma atau bakti. Jadi dia sudah purnabakti, lengser keprabon madheg pandita.

Selanjutnya kerabat saya tadi menjelaskan bahwa Sekar (tembang) Macapat secara keseluruhan adalah pepeling (peringatan) kepada manusia tentang perjalanan hidup, mulai dari bentuk benih dalam kandungan ibu sampai mati dan dikubur.

Macapat termasuk Sekar Alit (Tembang Cilik), tetapi ada juga yang memasukkan sebagian dari Macapat dalam Sekar Madya (Tembang Tengahan), yaitu: Gambuh dan Megatruh). Waktu SD dan SMP dulu, saya pernah belajar nembang macapat ini, bahkan diajari membuat tembang macapat, setelah diberikan rumus dan sifat tiap-tiap metrum. Sungguh tolol saya sampai tidak tahu bahwa Sekar Macapat secara keseluruhan merupakan gambaran perjalanan hidup manusia.  Melalui browsing di internet memang saya dapatkan bahwa  semua sarujuk bahwa Macapat berceritera tentang perjalanan hidup. Yang beda hanyalah analisis dan urutan metrumnya.

Pembaca dapat mencari dan menemukan sendiri bacaan baik di toko buku maupun browsing. Selanjutnya melakukan analisis sendiri dan saya yakin bapak dan ibu akan sarujuk pula. Saya sendiri melakukan othak-athik dan menemukan pemahaman seperti di bawah ini:

Maskumambang: (Mas: sebutan umum memanggil orang tanpa membedakan gender; walaupun jaman sekarang kata “mas” digunakan untuk menyebut gender laki-laki; Kumambang: terapung). Menggambarkan masa-masa manusia masih dalam bentuk janin kecil yang terapung-apung di air ketuban dalam rahim ibunda. Watak lagu kurang-lebih menggambarkan sesuatu yang masih harap-harap cemas.

Mijil: (Mijil: Muncul, lahir, keluar). Bayi dalam kandungan sudah lahir dan jelas jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan yang tentusaja disambut gembira oleh seluruh keluarga. Watak lagu kurang-lebih bernuansa gembira, cinta dan pendidikan.

Sinom: (Nom: muda; Sinom: daun asam yang masih pupus atau muda). Bayi sudah tumbuh jadi remaja dengan gairah kemudaannya, disamping tidak boleh melupakan bahwa saat ini adalah kesempatan bagi manusia untuk mengisi dirinya dengan ilmu. Watak lagu kurang lebih bersuasana ceria, lincah, gembira dan mendidik.

Kinanthi: (Kanthi: tuntun, bimbing). Manusia masih dalam masa muda yang dikatakan bersifat “gelisah, meraba dan mencari”, oleh sebab itu perlu di”kanthi”, dibimbing dan diarahkan baik melalui pendidikan formal maupun informal supaya kelak di kemudian hari menjadi manusia yang baik, iman dan taqwanya kuat, sehingga mampu menghadapi hambatan, ancaman dan tantangan hidup di dunia ini. Watak tembang kurang lebih mengarah kepada sesuatu yang gembira, cinta kasih, pendidikan dan pengajaran.

Asmaradana: (Asmara: cinta; dahana: api). Sudah menjadi kodrat manusia bahwa ia akan jatuh cinta pada lawan jenisnya. Terbakar api asmara adalah kodrat manusia, tetapi kalau sudah di “kanthi” pada tahap sebelumnya maka kejadian kebakaran disini adalah kebakaran yang bisa dikendalikan. Sifat lagu bisa romantis, kasih-sayang maupun nasihat.

Gambuh: (dari kata jumbuh: pas, cocok, sesuai). Bila yang saling jatuh cinta sudah “jumbuh” atau cocok satu sama lain tentunya harus disatukan dalam pernikahan untuk membentuk keluarga yang sakinah. Sampai disini dapat kita lihat bahwa bekal manusia untuk mengawali hidup yang sesungguhnya dipandang sudah cukup. Manusia dalam perjalanan menuju puncak. Watak tembang penuh keramahan dan kekeluargaan.

Dhandhanggula: (Dhandhang: wadah/tempat menanak nasi). Menggambarkan kehidupan yang sudah mapan dan tercukupi. (Dhandhangnya berisi gula). Kehidupan keluarga yang bahagia, keuangan yang baik, mungkin juga kedudukan yang pantas, apa yang diinginkan sudah tercapai. Merupakan tembang yang paling luwes bisa dipakai untuk nuansa apa saja.

Durma: (dari kata Darma: menyumbang, memberi). Orang yang sudah mapan hidupnya, dilandasi pendidikan agama yang baik, maka ia akan terpanggil untuk memberikan sebagian miliknya kepada sesama manusia yang kurang beruntung hidupnya. Darma bisa berupa apa saja yang dapat di “share” kepada sesama. Seorang guru akan memberikan ilmu kepada murid-muridnya, Dokter akan berupaya keras menyehatkan masyarakat demikian pula pejabat akan bertindak jujur, adil dan bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas yang diamanahkan kepadanya. Watak tembang dalam hal ini keras (termasuk marah), semangat dan dinamis.

Pangkur: (dari kata Mungkur: membelakangi, mengundurkan diri, menyingkir). Sebagai pasangan dari melaksanakan ”darma” maka kita harus benar-benar “mungkur” dari sifat angkara murka, “mungkur” dari semua hal yang mencoreng nama baik seorang ksatria utama, sehingga yang dipikirkan hanyalah “darma” semata: memberi dan membagi. Oleh sebab itu tembang ini menggambarkah hal-hal yang bersifat keras: nasihat yang keras. Sebagai kelanjutan perjalanan setelah “Durma” menuju ke “Megatruh” maka Pangkur juga diartikan manusia yang “madheg pandita setelah lengser keprabon”. Dalam dunia modern dikenal dengan nama “pensiun”. Dia tidak lagi tampil di depan. Tongkat estafet telah diberikan kepada generasi yang lebih muda. Tetapi “darma” tetaplah “darma”. “Old soldier never die” demikian ucapan tenar dari jenderal MacArthur, salah satu pahlawan Perang Dunia ke Dua.

Megatruh: (Pegat: lepas, cerai, berpisah; Ruh: Roh). Saat roh berpisah dengan raga. Saat kita kembali menghadap Allah SWT. Bila tahapan sebelumnya telah kita lalui dengan baik tentunya saat “megatruh” kita akan siap dan tenang, sudah demikianlah kodrat manusia: Semua yang diciptakan Tuhan akan kembali kepada Tuhan. Dengan demikian kalau tembang ini dilantunkan dengan nuansa sedih, menyesal atau tenang, pasrah, semua bergantung bagaimana kita melalui tahap-tahap kehidupan sebelumnya.

Pucung: (Mengambil kata: Pocong): Setelah Roh berpisah dengan raga kita akan dikafani dan dipocong sebelum dikubur. Selesai sudah urusan manusia di dunia. Yang mengherankan pertebaran watak tembang Pucung justru yang paling luas. Mulai dari yang paling tidak serius sampai yang paling serius. Bisa dipakai untuk cangkriman (teka-teki), bercanda, menyindir sampai ke pitutur luhur.



Demikianlah, 11 Metrum Sekar Macapat yang menggambarkan perjalanan hidup manusia. Kiranya dapat dijadikan wahana untuk introspeksi atau retrospeksi kondisi kita pada tiap-tiap stasiun (mulai dari Maskumambang sampai Pangkur) guna kesiapan pada saat sampai di tahap Megatruh dan Pucung. Sumangga (IwMM)

Friday, December 16, 2011

MENYAMPAIKAN PITUTUR MELALUI PARIKAN

Siapapun boleh memberi pitutur. Tidak harus orang tua atau orang yang dituakan duduk dalam forum resmi maupun setengah resmi, berbusana Jawa komplit dengan keris, menyampaikan pitutur luhurnya.

Orang Jawa punya perilaku yang merupakan kelebihan sekaligus kelemahannya yaitu “bicara tidak langsung”. Parikan adalah salah satu cara menyampaikan pitutur secara tidak langsung dalam suasana yang lebih santai atau samasekali santai karena bisa kita lakukan saat bercanda.


Parikan sebenarnya sama dengan pantun. Sayang dalam forum resmi di daerah berbahasa Jawa parikan hampir tidak pernah disampaikan. Beda dengan daerah lain di wilayah Indonesia, khususnya yang berbudaya Melayu, dimana “pantun” hampir selalu digunakan dalam sambutan-sambutan resmi. Mungkin karena “pantun” disampaikan dalam bahasa Indonesia, sementara parikan kalau tidak pakai bahasa Jawa namanya lalu bukan parikan.

Merakit parikan memang gampang-gampang susah. Dibilang gampang karena kita hanya mencari padanan kata (guru lagu). Dikatakan susah karena sebenarnya membuat parikan itu ada aturannya. Budaya Jawa sebenarnya “taat pada paugeran”, taat azaz. Orang taat azaz yang tidak pandai merakit kalimat akhirnya tidak berani bikin parikan. Sementara orang trampil yang tidak taat azaz akan tanpa beban. Ketika diberitahu misalnya, parikan anda bagus tapi mbok ditata lagi supaya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, jawabnya ada saja: “Ini parikan mbeling, mas”.

Guna tambahan pengetahuan bagi yang belum tahu, di bawah ini saya tulis rumus membuat parikan. Gampang saja kok. Memang perlu merenung-renung juga. Apa jeleknya merenung, tapi pesan dokter jangan sambil rokokan.

Pertama: Parikan terdiri dari dua kalimat yang masing-masing terdiri dari dua anak kalimat, menggunakan purwakanthi swara (padanan kata akhir kalimat pertama dan ke dua). Kalimat pertama merupakan purwaka (pendahuluan) digunakan untuk menarik perhatian, Kalimat ke dua berisi pesan yang akan kita sampaikan. Bisa berupa sindiran, pitutur atau pesan lainnya. Oleh sebab itu kalimat pertama harus menarik, boleh sedikit heboh tapi tetap dilarang vulgar. Intinya membuat orang tertarik pada ucapan kita sehingga mau mendengar kalimat berikutnya. Supaya lebih mudah, sebaiknya kita siapkan lebih dulu kalimat ke dua nya yaitu pesan kita, baru kita cari kalimat pertamanya.

Berdasar jumlah suku kata (catatan: pelanggaran yang paling sering terjadi dalam membuat parikan adalah “jumlah suku kata” yang tidak sama) maka parikan dibagi tiga:

A. (4 suku kata + 4 suku kata)X2
Contohnya:
Wajik Klethik, gula jawa
Luwih becik, sing prasaja

B. (4 suku kata + 8 suku kata)X2
Contoh:
Kembang menur, den sebar den awur-awur
Bareng makmur banjur lali mring sadulur

C. (8 suku kata + 8 suku kata)X2
Sega punar lawuh empal, segane penganten anyar
Dadi murid aja nakal, kudu ulah ati prasaja

Ke dua: Parikan termasuk “basa rinengga”, bahasa yang berhias. Perlu disusun sedemikian sehingga memikat. Kalau digunakan untuk menyindir, menasihati, bahkan memarahi, tidak terlalu menyakitkan hati, sebaliknya malah menimbulkan kesan sehingga selalu diingat. Gendhing-gendhing Jawa yang disisipi parikan membuat suasana tambah gayeng. Di bawah ini tambahan contoh untuk ketiga jenis parikan:

Wedang bubuk, tanpa gula
Aja ngamuk, gelis tuwa

Kembang kencur, ganda sedhep sandhing sumur
Kudu jujur, yen kowe kepengin luhur

Jangan kacang jangan kara, kaduk uyah kurang gula
Piwelingku mring pra muda, aja wedi ing rekasa

Ke tiga: Apakah parikan harus menggunakan rumus baku seperti di atas? Memang tidak ada larangan. Parikan masih tidak seketat tembang (akan saya posting kemudian). Hanya perlu diingan, parikan adalah “basa rinengga” sehingga perlu diperhatikan dalam penyusunannya: Enak didengar, mudah diterima. Lebih-lebih kalau “gayung bersambut” dimana kita saling lempar parikan.

Parikan dengan rumus (8 suku kata + 8 suku kata)X2 sudah cukup panjang. Kalau kita gunakan untuk “ngidung” napas masih kuat mengikutinya.

Esuk linggih sore linggih, sing linggih wong Surabaya
Esuk nagih sore nagih, sing ditagih ra rumangsa

Catatan: Mengapa ditulis “ra” bukan “ora” rumangsa? Hal ini untuk menyesuaikan jumlah suku kata. Mungkin lebih cocok diganti “gak” mengingat kalimat pertama berbunyi “wong Surabaya”. Dalam hal ini “kata” bisa ditata atau kasarnya bisa dikorbankan untuk menyesuaikan dengan aturan. Lha kenapa kok disebut “wong” bukan “arek”. Kalau pakai “arek” kan jadi kelebihan satu suku kata. Tapi masih bisa diakali menjadi “Sing linggih arek Srabaya”. Yang penting pendengarnya ngerti. Sumangga (IwMM)

Most Recent Post


POPULAR POST