Friday, December 16, 2011

MENYAMPAIKAN PITUTUR MELALUI PARIKAN

Siapapun boleh memberi pitutur. Tidak harus orang tua atau orang yang dituakan duduk dalam forum resmi maupun setengah resmi, berbusana Jawa komplit dengan keris, menyampaikan pitutur luhurnya.

Orang Jawa punya perilaku yang merupakan kelebihan sekaligus kelemahannya yaitu “bicara tidak langsung”. Parikan adalah salah satu cara menyampaikan pitutur secara tidak langsung dalam suasana yang lebih santai atau samasekali santai karena bisa kita lakukan saat bercanda.


Parikan sebenarnya sama dengan pantun. Sayang dalam forum resmi di daerah berbahasa Jawa parikan hampir tidak pernah disampaikan. Beda dengan daerah lain di wilayah Indonesia, khususnya yang berbudaya Melayu, dimana “pantun” hampir selalu digunakan dalam sambutan-sambutan resmi. Mungkin karena “pantun” disampaikan dalam bahasa Indonesia, sementara parikan kalau tidak pakai bahasa Jawa namanya lalu bukan parikan.

Merakit parikan memang gampang-gampang susah. Dibilang gampang karena kita hanya mencari padanan kata (guru lagu). Dikatakan susah karena sebenarnya membuat parikan itu ada aturannya. Budaya Jawa sebenarnya “taat pada paugeran”, taat azaz. Orang taat azaz yang tidak pandai merakit kalimat akhirnya tidak berani bikin parikan. Sementara orang trampil yang tidak taat azaz akan tanpa beban. Ketika diberitahu misalnya, parikan anda bagus tapi mbok ditata lagi supaya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, jawabnya ada saja: “Ini parikan mbeling, mas”.

Guna tambahan pengetahuan bagi yang belum tahu, di bawah ini saya tulis rumus membuat parikan. Gampang saja kok. Memang perlu merenung-renung juga. Apa jeleknya merenung, tapi pesan dokter jangan sambil rokokan.

Pertama: Parikan terdiri dari dua kalimat yang masing-masing terdiri dari dua anak kalimat, menggunakan purwakanthi swara (padanan kata akhir kalimat pertama dan ke dua). Kalimat pertama merupakan purwaka (pendahuluan) digunakan untuk menarik perhatian, Kalimat ke dua berisi pesan yang akan kita sampaikan. Bisa berupa sindiran, pitutur atau pesan lainnya. Oleh sebab itu kalimat pertama harus menarik, boleh sedikit heboh tapi tetap dilarang vulgar. Intinya membuat orang tertarik pada ucapan kita sehingga mau mendengar kalimat berikutnya. Supaya lebih mudah, sebaiknya kita siapkan lebih dulu kalimat ke dua nya yaitu pesan kita, baru kita cari kalimat pertamanya.

Berdasar jumlah suku kata (catatan: pelanggaran yang paling sering terjadi dalam membuat parikan adalah “jumlah suku kata” yang tidak sama) maka parikan dibagi tiga:

A. (4 suku kata + 4 suku kata)X2
Contohnya:
Wajik Klethik, gula jawa
Luwih becik, sing prasaja

B. (4 suku kata + 8 suku kata)X2
Contoh:
Kembang menur, den sebar den awur-awur
Bareng makmur banjur lali mring sadulur

C. (8 suku kata + 8 suku kata)X2
Sega punar lawuh empal, segane penganten anyar
Dadi murid aja nakal, kudu ulah ati prasaja

Ke dua: Parikan termasuk “basa rinengga”, bahasa yang berhias. Perlu disusun sedemikian sehingga memikat. Kalau digunakan untuk menyindir, menasihati, bahkan memarahi, tidak terlalu menyakitkan hati, sebaliknya malah menimbulkan kesan sehingga selalu diingat. Gendhing-gendhing Jawa yang disisipi parikan membuat suasana tambah gayeng. Di bawah ini tambahan contoh untuk ketiga jenis parikan:

Wedang bubuk, tanpa gula
Aja ngamuk, gelis tuwa

Kembang kencur, ganda sedhep sandhing sumur
Kudu jujur, yen kowe kepengin luhur

Jangan kacang jangan kara, kaduk uyah kurang gula
Piwelingku mring pra muda, aja wedi ing rekasa

Ke tiga: Apakah parikan harus menggunakan rumus baku seperti di atas? Memang tidak ada larangan. Parikan masih tidak seketat tembang (akan saya posting kemudian). Hanya perlu diingan, parikan adalah “basa rinengga” sehingga perlu diperhatikan dalam penyusunannya: Enak didengar, mudah diterima. Lebih-lebih kalau “gayung bersambut” dimana kita saling lempar parikan.

Parikan dengan rumus (8 suku kata + 8 suku kata)X2 sudah cukup panjang. Kalau kita gunakan untuk “ngidung” napas masih kuat mengikutinya.

Esuk linggih sore linggih, sing linggih wong Surabaya
Esuk nagih sore nagih, sing ditagih ra rumangsa

Catatan: Mengapa ditulis “ra” bukan “ora” rumangsa? Hal ini untuk menyesuaikan jumlah suku kata. Mungkin lebih cocok diganti “gak” mengingat kalimat pertama berbunyi “wong Surabaya”. Dalam hal ini “kata” bisa ditata atau kasarnya bisa dikorbankan untuk menyesuaikan dengan aturan. Lha kenapa kok disebut “wong” bukan “arek”. Kalau pakai “arek” kan jadi kelebihan satu suku kata. Tapi masih bisa diakali menjadi “Sing linggih arek Srabaya”. Yang penting pendengarnya ngerti. Sumangga (IwMM)

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST