Pada masa Sunan
Pakubuwana IV, masalah narkoba belum sebesar sekarang. Saat itu, belum ada
narkotika suntik, demikian pula obat-obat terlarang yang jenisnya cukup banyak
juga belum diproduksi. Yang dilakukan para pemadat adalah mengisap candu
(opium). Alatnya disebut “bedudan”, pipa
panjang dari bambu, yang di ujung satunya ada semacam wadah guna menaruh candu. Dibutuhkan api untuk membakar candu
tersebut yang selanjutnya diisap. Dengan demikian pengguna candu perlu
didampingi lampu minyak.
Madat termasuk satu dari empat cacad agung yang disebutkan dalam Serat Wulangreh, pada pupuh Wirangrong bait ke 10 (Empat cacad agung menurut Serat Wulangreh: madat, Ngabotohan, Durjana dan Ati Sudagar Awon)
PERILAKU DAN AKIBAT
KECANDUAN
Susuhunan Pakubuwana IV
ternyata tanggap terhadap masalah yang dihadapi para pemadat ini. Bahkan
memahami gejala-gejala fisik dan psikis serta akibat buruk yang akan dialami
para pecandu. Hal ini dapat kita lihat pada Serat Wulangreh, Pupuh ke 8, sekar
Wirangrong bait ke 18 sd 21 sebagai berikut:
Pada bait ke 18 seperti dapat dilihat pada gambar di samping, memang perilaku orang madat itu tidak sedap dipandang sebagai berikut:
Mengenai orang yang madat; Malasnya (kesed) bercampur tidak mau bekerja (lumuh); Apa yang menjadi kesukaannya; Menghadap lampu (diyan: lampu minyak) serta; Duduk mengangkat kaki (jigang) di ambin; sambil bersandar (leyangan) pada bedudannya (alat penghisap candu)
Selanjutnya pada bait ke 19 dijelaskan gejala fisik yang paling jelas adalah tubuhnya "kurus" disamping tingkah-laku yang menjijikkan:
Bila sedang berhenti menghisap candu (nyeret) dia “adhidhis” (dhidhis: bermalas-malas sambil garuk-garuk badannya, utamanya untuk perilaku binatang); Kedua matanya terpejam; kalau sudah berlanjut menjadi kurus (awake akuru) ; Cahayanya biru kepucatan; Jalebut (jlebud: pakaian tidak bersih) dan Takut air (wedi toya) sehingga malas mandi. Bibir biru gigi putih
Catatan: Pada bait ke
18 dan 19 ini Sri Susuhunan Pakubuwana IV menjelaskan akibat fisik dari
kecanduan, kurus, pucat dan biru (sianotik karena kurang oksigen atau darah
merahnya keracunan). Gigi putih bukan karena bersih melainkan karena bibir
menjadi biru atau sianotik sehingga gigi kelihatan relatif putih. Demikian pula
akibat psikisnya, menjadi amat pemalas. Baring-baring, mata terpejam sambil
garuk-garuk badan. Tidak hanya malas tetapi juga tidak mau melakukan apa-apa.
Selanjutnya pada bait ke 20 dijelaskan tentang batuknya yang berkepanjangan akibat jelaga yang terakumulasi di paru-paru. Terjemahan: Karena bermusuhan dengan gambir; jarang akur dengan sirih dan jambe (gambir); napasnya kembang-kempis; Batuknya berkepanjangan; Jelaga di dalam dada; Tak urung keluar “bol”nya (bol keluar: ambein).
Keterangan: Pengertian saya mengenai sirih dan gambir dalam hal ini adalah obat batuk jaman dulu. Karena tidak pernah menyentuh obat batuk, maka batuknya tidak berhenti. Banyaknya batuk karena paru-paru penuh jelaga (jalagra aneng dhadha) dari candu yang diisap. Tidak urung terjadi penyakit ambein. Masuk akal sekali karena salah satu penyebab ambein adalah tekanan dari dalam yang kuat. Salah satu penyebab meningkatnya tekanan dalam perut adalah batuk-batuk yang terus-menerus. Sepertinya Sri Susuhunan Pakubuwana IV ini memahami dasar-dasar ilmu kedokteran.
Kita sampai pada bait ke 21, tahap terminal dari pecandu opium mengenai cara matinya yang tidak nyaman. Terjemahan: Kalau mati pakai “dalinding” (dlinding: banyak buang air, beser); Tetapi tetap tidak jera; Supaya hal ini disingkiri (Singgah: singkir; Singgana: Singkirilah); Jangan diikuti; Pengguna opium itu tidak baik; Hidupnya jadi tontonan: Sudah kurus-kering, batuk-batuk, ambein masih plus beser, mati lagi. Oleh sebab itu Sinuwun berpesan: Madat itu tidak baik; singkiri dan jauhi.
WAWASAN KE DEPAN
DARI ABAD 18
Dewasa ini narkoba
menjadi masalah dunia Jenisnya pun beraneka ragam.
Penggunaan narkoba suntik dengan jarum suntik dipakai bergantian adalah cara
penularan virus HIV yang paling mudah. Telah ada Badan khusus yang menangani
masalah narkoba, demikian pula kampanye besar-besaran telah dilakukan oleh
pemerintah maupun unsur-unsur masyarakat. Sri Susuhunan Pakubuwana IV ternyata
mempunyai wawasan ke depan. Melalui pupuh Wirangrong dalam Serat Wulangreh pada
abad ke 18, kepada kita semua beliau telah berpesan: | iku padha singgahana patut; aja na nglakoni; wong mangan apyun ala (IwMM)
No comments:
Post a Comment