Saturday, December 31, 2011

ANTENG, MENENG, JATMIKA


Bila kita melihat tokoh-tokoh wayang, khususnya dalam “wayang kulit”, ada dua posisi kepala yang berbeda. Yang satu adalah kepala yang tunduk, dan satunya adalah kepala yang tengadah. Kepala tunduk tidak harus menggambarkan ksatria yang sopan demikian pula kepala tengadah tidak selalu menggambarkan ksatria sombong. Tetapi kalau kita bicara tentang “anteng, meneng dan jatmika” maka ksatria-ksatria dengan kepala tunduk adalah gambaran sikap “anteng, meneng dan jatmika”. Misalnya saja Puntadewa, Harjuna, Abimanyu, dan masih banyak lagi.



ANTENG

Anteng” berarti tidak banyak polah. Gerakannya tenang, halus, indah, tetapi jangan dikira tidak mempunyai kemampuan (kalau jaman dulu gambaran kemampuan adalah kemampuan berperang). Dalam bahasa Indonesia ada pepatah “air beriak tanda tak dalam” dan “air tenang menghanyutkan”. Dalam dunia pewayangan bisa kita lihat Harjuna yang solah-bawanya anteng dengan mudah mengalahkan Raksasa Cakil yang gerakannya demikian lincah. Sikiap “anteng” akan menimbulkan wibawa dan kharisma. Orang akan segan melihat orang yang anteng.

MENENG

Meneng” berarti diam tetapi bukan diam seribu bahasa alias tidak bicara samasekali. Orang meneng adalah orang yang bicara seperlunya dan tidak bicara yang bukan-bukan. Ia omong nganggo waton,  setelah dipikir lebih dahulu. Dalam bahasa Indonesia ada peribahasa “diam adalah emas”. Ada juga ungkapan yang mengatakan “kalau bicara adalah perak, maka diam adalah emas”. Yang jelas ia bukan orang yang “kakehan gludhug kurang udan”. Diam bukan berarti tidak punya konsep atau pendapat. Dalam banyak hal orang diam akan lebih bermanfaat.

JATMIKA

Jatmika” adalah resultante dari “anteng dan meneng”. Orang “jatmika” adalah orang yang “susila anoraga”, sikap yang santun berdasar norma-norma kesusilaan. Siapapun yang melihat seorang yang “jatmika” akan “kepranan” (terkesan) melihat kewibawaan yang terpancar dan tumbuhlah rasa hormat dan segan.

KESIMPULAN

Sikap “Anteng, meneng dan jatmika” dewasa ini seperti telah ditelan hiruk-pikuknya jaman. Di jalanan sampai di forum-forum normal di layar putih sampai di layar kaca hampir tidak ketemu lagi sikap seperti ini. Rapat-rapat banyak diwarnai polah-tingkah yang tidak anteng, tidak meneng, apalagi sikap “jatmika”. Tawuran bisa terjadi di jalanan, lapangan bola sampai di gedung-gedung terhormat dan dilakukan mulai anak-anak sampai orang dewasa. Hebatnya kita yang menonton juga bukan orang yang “jatmika”. Walaupun tidak senang, tetapi suka. Justru tepuk tangan kita semakin kuat menyemangati. “Keplok ora tombok” katanya. Kalau hanya tepuk tangan (keplok) kan tidak keluar uang (tombok). IwMM.

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST