Dulu ada teman minta berhenti dari PNS dan beralih ke lapangan kerja lain. Dengan agak heran saya bertanya:”Kenapa kamu minta berhenti. Kamu pandai, pendidikan tinggi, dalam 5 tahun pasti jadi orang. Orang lain pada tergiur ingin jadi PNS, kamu yang sudah PNS bahkan berpeluang untuk naik ke atas malah berhenti”. Ia menjawab dengan sederhana: “Mas, aku jadi PNS memang punya JENENG. Dalam posisi sekarang pun di kampung aku sudah dituakan. Tapi anak-anakku sudah mulai besar, kebutuhan juga lebih banyak. Dan ini ada peluang untuk mendapatkan JENANG”.
JENENG
"Jeneng" adalah “nama”. Orang yang punya “jeneng” adalah orang yang memiliki “nama” (tentusaja nama baik). Dengan nama baiknya ia akan dikenal. Ucapannya sering masuk koran, sering muncul di TV dalam acara “talk show” atau bahkan diminta ikut main ketoprak atau wayang. Bukan karena kompetensinya tetapi karena ia punya nama. Dalam bahasa Jawa ia disebut sebagai orang yang kondang, kawentar, kuncara, kaloka. Pokoknya terkenal, welknown atau beken. Namanya “harum” seperti dalam lagu “Ibu kita Kartini” yang selalu dinyanyikan pada tanggal 21 April.
JENANG
"Jenang" adalah sejenis makanan. Kita kenal jenang Kudus, jenang grendul, jenang jagung dan lain-lain. Dalam hal ini “jenang” dimaksudkan sebagai “penghasilan”. Untuk mendapat penghasilan orang harus bekerja. Pendapatan bisa berbeda, paling tidak dipengaruhi kompetensi kita dan tempat kerja kita. Sebagai PNS mungkin pendapatan tidak banyak tetapi mendapat pensiun, sementara bekerja di Swasta pendapatan bisa lebih banyak, tetapi tidak dapat pensiun walau dapat pesangon. Swasta pun berbeda-beda rate gajinya. Kerja mandiri tentunya lain lagi.
KESIMPULAN
“Jeneng” dan “jenang” saling terkait. Normatif orang yang punya “jeneng” pasti “jenang”nya juga akan bertambah. Demikian pula orang yang punya “jenang” akan dapat “jeneng” juga. Untuk orang-orang yang “eling” ceriteranya berhenti sampai di sini.
Masalahnya ada orang yang “tidak eling” Sudah punya “jeneng” dan “jenang” (sewajarnya) masih merasa “kurang”. Atau orang sudah punya “jenang” dan “jeneng” (sekedarnya) masih juga merasa kurang. [baca Bungah lan Susah (2): “Karep” selalu“mulur” dan “mungkret ].
Situasi ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang pandai mencari peluang. Ada saja jalan pintas untuk menambah “jenang” dan memperoleh “jeneng”. Ada juga orang yang tidak bisa “anteng” dan “meneng” kalau sudah melihat “jeneng” dan “jenang”. Mudah-mudahan segera “eling” kalau “jeneng” dan “jenang” bukanlah barang yang “langgeng”. (IwMM).
JENENG
"Jeneng" adalah “nama”. Orang yang punya “jeneng” adalah orang yang memiliki “nama” (tentusaja nama baik). Dengan nama baiknya ia akan dikenal. Ucapannya sering masuk koran, sering muncul di TV dalam acara “talk show” atau bahkan diminta ikut main ketoprak atau wayang. Bukan karena kompetensinya tetapi karena ia punya nama. Dalam bahasa Jawa ia disebut sebagai orang yang kondang, kawentar, kuncara, kaloka. Pokoknya terkenal, welknown atau beken. Namanya “harum” seperti dalam lagu “Ibu kita Kartini” yang selalu dinyanyikan pada tanggal 21 April.
JENANG
"Jenang" adalah sejenis makanan. Kita kenal jenang Kudus, jenang grendul, jenang jagung dan lain-lain. Dalam hal ini “jenang” dimaksudkan sebagai “penghasilan”. Untuk mendapat penghasilan orang harus bekerja. Pendapatan bisa berbeda, paling tidak dipengaruhi kompetensi kita dan tempat kerja kita. Sebagai PNS mungkin pendapatan tidak banyak tetapi mendapat pensiun, sementara bekerja di Swasta pendapatan bisa lebih banyak, tetapi tidak dapat pensiun walau dapat pesangon. Swasta pun berbeda-beda rate gajinya. Kerja mandiri tentunya lain lagi.
KESIMPULAN
“Jeneng” dan “jenang” saling terkait. Normatif orang yang punya “jeneng” pasti “jenang”nya juga akan bertambah. Demikian pula orang yang punya “jenang” akan dapat “jeneng” juga. Untuk orang-orang yang “eling” ceriteranya berhenti sampai di sini.
Masalahnya ada orang yang “tidak eling” Sudah punya “jeneng” dan “jenang” (sewajarnya) masih merasa “kurang”. Atau orang sudah punya “jenang” dan “jeneng” (sekedarnya) masih juga merasa kurang. [baca Bungah lan Susah (2): “Karep” selalu“mulur” dan “mungkret ].
Situasi ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang pandai mencari peluang. Ada saja jalan pintas untuk menambah “jenang” dan memperoleh “jeneng”. Ada juga orang yang tidak bisa “anteng” dan “meneng” kalau sudah melihat “jeneng” dan “jenang”. Mudah-mudahan segera “eling” kalau “jeneng” dan “jenang” bukanlah barang yang “langgeng”. (IwMM).
No comments:
Post a Comment