Wednesday, November 28, 2012

MITUHU DAN MITAYANI

Dibandingkan dengan tulisan-tulisan terdahulu, barangkali ini pitutur terpendek untuk orang yang mau ngawula. hanya dua kata saja:  “Mituhu” dan “Mitayani”. Penjelasannya memang tidak sependek kata-katanya, demikian pula operasionalisasinya tidak segampang yang diucapkan. Tetapi sepertinya yang ini amat mudah diingat dan akhirnya kembali kepada yang “nglakoni”.
 
 
MITUHU

Sering kita dengar kata “Mituhu adalah “nurut”, dalam bahasa Jawa ngoko. Ketika kita masih jadi tanggungan orang tua, ya “nurut” pada nasehat ayah dan ibu. kalau di sekolah, ya taat pada nasihat guru. Banyak yang harus dituruti dari orang tua dan guru. Mulai bangun tidur sampai tidur lagi. 
 Di jalan raya kita harus mengikuti peraturan lalulintas. Kalau naik motor ya harus pakai helm. Lampu merah tidak boleh dilanggar. Demikian pula di tempat-tempat umum harus menghormati hak orang lain. Ada larangan-larangan yang banyak dilanggar, misalnya larangan merokok. Banyak etika-etika yang dilanggar misalnya antri.
Ternyata banyak sekali aturan-aturan yang harus kita “tuhoni” atau taati secara hukum atau secara etis. Orang yang tidak taat disebut orang yang tidak disiplin. Ini semua memang tidak ada hubungannya dengan “ngawula” tetapi ketaatan di rumah, di sekolah, di jalan dan di tempat-tempat umum sebenarnya merupakan latihan untuk ngawula, sayangnya tidak pernah kita sadari.
Ceriteranya menjadi lain ketika kita berada di tempat kerja. “Taat kepada perintah atasan” adalah suatu keharusan, “It’s a must!”. Mana ada pimpinan yang suka dengan staf yang tidak “mituhu”. Bagi yang sudah terlatih untuk “disiplin” untuk mituhu tidaklah terlalu sulit. Masuk jam 07 pagi, pulang jam 16 sore, berpakaian rapi, menyelesaikan laporan tepat waktu, semua OK. Tinggal menambah dua hal lagi yaitu bekal sifat taberi (sregep, tekun) dan sabar. “Dhawuh”nya pimpinan bisa kapan saja dan tidak terduga. Yang tidak punya sifat sabar bisa protes (walau dalam hati saja) tetapi manifestasinya jadi mengerjakan dengan ogah-ogahan, selesai lebih lama dan hasil kerjanya tidak mutu. Banyak juga perintah yang istilah teman-teman dulu “tidak ada seger-segerannya”, sehingga kita kerja juga tidak seger dan klelar-kleler. Pimpinan pasti akan melihat kita sebagai orang yang tidak “mituhu” dan akan mencari orang lain yang lebih taat.
Mituhu dhawuhing gusti, atau taat kepada atasan adalah bukti bahwa kita “loyal”.
 
MITAYANI
Apakah dengan “mituhu” sudah cukup? Banyak orang yang amat “mituhu” tetapi kemampuannya pas-pasan sehingga kinerjanya juga tidak sempurna. Kalau tugasnya memang Cuma “cablek-cablek lemut” mungkin tidak terlalu menimbulkan masalah. Tetapi kalau ia harus melakukan hal-hal yang strategis, bisa gawat. Oleh sebab itu disamping kita “mituhu dhawuhing gusti” harus ditambah lagi satu hal yang tidak boleh terpisahkan yaitu “mitayani”.
“Mitayani” artinya “dapat dipercaya”. Dalam hal apa? Bahwa kita mampu melakukan tugas yang diberikan. Tidak hanya “mampu” dalam pengertian punya kompetensi yang cukup tetapi juga harus punya “komitmen” yang tinggi untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
Kompetensi adalah bekal ilmu kita, ibarat tongkat atau “teken” yang harus kita gunakan sebaik-baiknya untuk melaksanakan tugas. Kompetensi diperoleh dengan belajar yang dilandasi ketekunan. (baca: tekun, teken, tekan). Kembalilah siklusnya ke “mituhu” karena supaya kita bisa menyerap ilmu dengan sebaik-baiknya, maka kita harus “mituhu” kepada yang memberikan ilmu kepada kita.

LIDING DONGENG
Dengan MITUHU + MITAYANI kita akan menjadi orang yang MRANTASI ing gawe. Orang yang bisa menyelesaikan masalah pasti “ngawula”nya diterima. Jangan kaget kalau kemudian tugasnya menjadi tambah banyak. Dengan KOMPETENSI + KOMITMEN kita akan menjadi orang yang KREDIBEL.
Terkait dengan 3M dan 3K ini, ada satu pertanyaan dari teman saya, Toni: “Mas, hanya orang pintar yang bisa mrantasi. Tapi sepertinya kebanyakan orang yang merasa pintar justru sulit untuk disuruh mituhu. Sebaliknya orang yang mituhu umumnya kemampuannya ya segitu. Kalau diberi tugas-tugas yang berat kan tidak mitayani. Jadi gimana solusinya?” (IwMM).

Monday, November 26, 2012

CABLEK-CABLEK LEMUT DAN NJAGA LAWANG BUTULAN: ORANG YANG DIBERI PERAN KECIL

Dulu ada teman (bukan pegawai negeri) minta berhenti dari tempat  kerjanya. Padahal sepertinya ya sudah lumayan, sebagai pegawai yang baru bekerja beberapa tahun. Ketika saya tanya apa alasannya, dengan enteng ia menjawab: “Cari yang lebih menantang dan menjanjikan, mas. Habis paribasan cuma disuruh cablek-cablek lemut”.
 
Maksud teman saya dengan kata “Cablek-cablek lemut” (lemut: nyamuk) adalah “tidak diberi peran” atau kalau ada peran maka peran tersebut tidak berarti. Bukan seperti “Timun wungkuk jaga imbuh” yang dipakai sebagai tambah-tambah, misal ke pasar beli timun sepuluh dapat imbuh satu tetapi dikasih yang jelek, (dapat dibaca pada mentimun dalam ungkapan Jawa). Tetapi memang dia diberi peran kecil, paling tidak menurut pendapat dia sendiri.
 
“Kamu kan baru kerja dua tahun. Kalau taberi (rajin dan menurut) kan lama-lama dipercaya juga jadi kepala bagian”.
 
“Wah ya nggak tahu, mas. Jangan-jangan setelah cablek-cablek lemut lalu disuruh njaga lawang butulan. Kan kecut, mas”.
 
Istilah “jaga lawang butulan” (pintu belakang) sama maknanya dengan “cablek-cablek lemut”: Diberi peran kecil. Saya pikir teman saya ini cuma kurang sabar dan kurang nerima saja. Pada dasarnya ia memang orang yang tidak sabaran.
 
 
APAKAH PERUMPAMAANNYA YANG SALAH?

Peribahasa “cablek-cablek lemut” sudah lama sekali tidak saya dengar. Kebetulan sebulan setelah itu, saya mendapat penugasan ke Somalia sebagai konsultan (jaman perang saudara 1993). Salah satu perbekalan yang diberikan oleh Depkes adalah kelambu berinsektisida. Afrika memang daerah malaria. Saya jadi ingat ucapan teman saya tentang “cablek-cablek lemut”. 
Wah kalau gitu salah dong peribahasa warisan nenek moyang saya. Membunuh nyamuk justru tugas penting. Kalau orang yang tinggal di Jawa mengatakan malaria bukan masalah, itu kan sekarang. Dulu malaria juga masalah besar. Hari Kesehatan Nasional yang pertama 12 Nopember 1964 ditandai dengan penyemprotan malaria di Kalasan, DIY, oleh Bung Karno, Presiden RI waktu itu.
Sekarang pun malaria masih menjadi ancaman di dunia dan sebagian wilayah Indonesia terutama di kawasan timur. Di Jawa pun masih ada kantong-kantong Malaria dan habitatnya juga banyak. Dengan kemajuan transportasi, pergerakan dan perilaku manusia, bisa saja malaria “comeback”. Oleh sebab itu bersama AIDS dan Tuberkulosis, Malaria termasuk sasaran dalam goal ke 6 Millennium Development Goals tahun 2015.
Pembawa malaria adalah nyamuk Anopheles. Jadi “cablek-cablek lemut” ternyata penting. Demikian pula “njaga lawang butulan”, lebih-lebih pada jaman banyak maling seperti sekarang ini; bisa kecurian habis-habisan kalau pintu belakang rumah kita tidak aman.
 
YANG SALAH ORANGNYA
Dua perumpamaan di atas, adalah ungkapan tidak puas dari orang yang merasa tidak diberi peran semestinya. Yang memberi peran (dalam hal ini pimpinan) pasti tidak merasa demikian. Kalau kita melihat filem-filem silat, si calon jagoan kita pasti tidak langsung diajari ilmu bela diri. Bisa-bisa disuruh menimba air atau membelah kayu. Apakah ini "cablek-cablek lemut?"
Tiga tahun lalu secara tidak terduga saya bertemu dengan si tukang “cablek-cablek lemut”. Penampilannya tetap sederhana tetapi kelihatan kalau ia sudah menjadi pria sukses. Inilah yang dia katakan kepada saya:
“Semua harus diawali dari cablek-cablek lemut, mas. Belum tentu apa yang kita anggap sepele itu tidak ada artinya. Di tempat baru, saya kembali disuruh cablek-cablek lemut. Betul kata panjenengan, yang penting taberi. Rajin, menurut dan dapat dipercaya. Lama-lama saya dipercaya dan saya pertahankan supaya tetap dapat dipercaya.  Tapi lawang butulan juga harus dijaga, mas. Fitnah banyak. Jangan sampai lena. Bukankah yitna yuwana, lena kena?” (IwMM)

Saturday, November 17, 2012

GUGON TUHON, TIDAK SEKEDAR “ORA ILOK” (10): SIKAP TUBUH

Melanjutkan tulisan: Gugon tuhon, tidak sekedar “ora ilok” (9): Menyapu dan cuci piring, kita beralih ke “sikap tubuh” yang umumnya merupakan cerminan dorongan hati dan kita lakukan tanpa sadar. Sikap tubuh dengan demikian merupakan "bahasa tubuh" (body language). Beberapa contoh bahasa tubuh yang yang menimbulkan kesan atau interpretasi kurang baik antara lain sebagai berikut:
 
 
 
1. AJA SOK MALEROK, BESUK ANA KANANE, MATANE MUNDHAK DICUKIL MALAEKAT
 
“Mlerok” sulit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Kurang lebihnya dapat diartikan melirik sekaligus membelalak.
 
Setidaknya ada dua kemungkinan kesan yang timbul dari si penerima “plerokan”. Pertama yang mlerok sedang marah, atau tidak berkenan terhadap sesuatu hal, sedangkan yang kedua adalah sikap kemanja-manjaan sekaligus genit. Hal ini banyak dilakukan kaum wanita. Merupakan bahasa tubuh yang kurang baik dan dapat menimbulkan salah terima. Ancamannya melibatkan Malaikat. Nanti setelah mati, matanya dicukil Malaikat.
 
 
2. AJA SOK MENCEP, BESUK ANA KANANE LAMBENE MUNDHAK DIGUNTING MALAEKAT
 
“Mencep” adalah mencibir, penjelasannya sama dengan ”mlerok”. Karena ini urusan bibir, maka setelah mati bibirnya akan digunting Malaikat.
 
 
 
3. AJA SOK NUDING NGANGGO TANGAN KIWA, MUNDHAK ORA ILOK
 
Bagi orang Jawa, penggunaan tangan kiri menunjukkan sifat “degsura” (tidak tahu sopan santun). Walaupun hanya menunjuk, jangan menggunakan tangan kiri. Ancamannya tidak melibatkan malaikat. Cukup “ora ilok”. Jadi gradasinya masih lebih rendah dibanding butir 1 dan 2 di atas
 
 
4. AJA SOK NAMPANI NGANGGO TANGAN KIWA, MUNDHAK ORA ILOK
 
Penjelasannya sama dengan butir 3 di atas. Menerima sesuatu dengan menggunakan tangan kiri termasuk perilaku “degsura”.
 
 
 
5. AJA SOK SANGGA UWANG, MUNDHAK NYANGGA SUSAHE WONG PATANG PULUH
 
Bertopang dagu menunjukkan hati sedang susah atau sedang dirundung masalah. Kalau kita tidak sedang susah, untuk apa “sangga uwang”, nanti dikira sedang bersedih hati. Dilihat orang juga kelihatan tidak pantas.
 
Supaya kita sadar maka diingatkan dengan ancaman, bahwa orang suka "sangga uwang" nanti akan menanggung susahnya 40 orang. Kan malah tambah tidak enak.
 
 
 
6. AJA SOK SADHAKEP, MUNDAK DIEDOHI RIJEKI
 
“Sedakep” atau berpangku-tangan sepanjang kita tidak sedang kedinginan, juga menunjukkan situasi orang sedang susah. Disamping itu berpangku tangan mempunyai konotasi "acuh kepada sekitar" sekaligus tidak energik.  
 
Penjelasannya sama dengan butir 6 di atas. Supaya kita ingat bahwa "sedhakep" itu merupakan bahasa tubuh yang kurang pantas, maka diberi ancaman sederhana tetapi tidak enak: Dijauhi rejeki.
 
 
KESIMPULAN
 
Bahasa tubuh menujukkan isi hati kita. Mengontrolnya memang sulit. Dengan kesadaran bahwa isi hati yang tercermin dalam bahasa tubuh bisa dijadikan petunjuk orang lain untuk memahami “mood” kita saat itu, mudah-mudahan kita dapat mengontrolnya. Orang Jawa secara alamiyah sudah diajar untuk “samudana” Tetap riang walau sedang berang, tetap ramah walau sedang gundah. Dibantu sedikit ancaman melalui gugon tuhon, mudah-mudahan berhasil (IwMM)
 

Friday, November 16, 2012

GUGON TUHON, TIDAK SEKEDAR “ORA ILOK: (9): MENYAPU DAN CUCI PIRING

Melanjutkan tulisan: Gugon tuhon, tidak sekedar “ora ilok” (8): Kebersihan dan kesehatan perorangan, kita dapatkan juga bahwa dalam hal menyapu (lantai) dan mencuci (piring, barang pecah belah) pun tidak bisa sembarangan. Di bawah adalah beberapa contoh perilaku yang perlu diperhatikan, karena pada masa sekarang hal-hal tersebut (menyapu dan mencuci) masih kita lakukan baik di desa maupun di kota.
 
 
 
1. YEN NYAPU ORA RESIK, BESUK BOJONE BREWOK.
 
Maksud orang tua kita dulu kepada anak-anaknya dalam hal ini khususnya anak perempuan, kalau mengerjakan sesuatu mbok yang sempurna. Menyapu tidak bersih hanya buang energi sia-sia. Tenaga keluar, hasil tidak ada. Ancamannya: Dapat suami brewok. Dulu orang brewok dianggap kotor. Jaman sudah berubah, sekarang orang brewok bisa macho bisa pula tetap kotor. Tetapi dalam urusan menyapu, jaman dulu maupun sekarang tidak berubah: harus bersih.
 
2. YEN NYAPU AJA NGENDHEGAKE UWUH ANA ING DALAN, MUNDHAK SIYAL OLEHE GOLEK BOJO
 
Ada orang menyapu, setengah jalan berhenti, kotoran parkir di tengah jalan. Walaupun nanti dilanjutkan lagi, tetapi orang yang melihat ada kotoran terkumpul di tengan ruangan atau di salah satu sudut ruangan akan merasa aneh dan tidak merasakan masuk ke ruangan yang bersih, bahkan merasa terganggu kenyamanannya. Ancamannya sama dengan orang yang duduk di tengah pintu: terhambat dalam mencari jodoh.
 
3. BENGI-BENGI AJA NYAPU, MUNDHAK KEMALINGAN ENTEK-ENTEKAN
 
Mestinya sore-sore setelah sholat Ashar, ruangan kita sapu. Bukan malam hari. Alasannya sederhana saja. Pada malam hari debu yang beterbangan tidak kelihatan. Kita menyapu agak keras, dikira aman-aman saja padahal sebenarnya debu terbang kemana-mana. Sedangkan pada malam hari pada umumnya keluarga berkumpul di rumah. Demikian pula bila teledor, saat kita asyik menyapu ada maling masuk atau bisa saja kita lupa mengunci pintu selesai menyapu,  mempermudah maling untuk masuk. Ancamannya masuk akal: Bisa kemalingan habis-habisan.



4. BENGI-BENGI AJA ASAH-ASAH BALA PECAH, MUNDHAK ORA ILOK
 
Mencuci barang pecah belah harus hati-hati. Risikonya pecah atau belah. Pada malam hari, disamping gelap kemungkinan yang mencuci juga sudah mengantuk. Baiknya dikumpulkan saja yang rapi, besok pagi-pagi baru dicuci. Amat masuk akal, sayang reasoningnya hanya “ora ilok”.
 
Sebagai ilustrasi, adalah seorang pembantu dari desa, tidak mau disuruh “asah-asah” pada malam hari. Padahal malam itu di rumah induk semangnya baru selesai selamatan. Piring mangkuk kotor bertumpuk. Si pembantu hanya mengumpulkan rapi di tempat aman. Ketika nyonya rumah menegur, kenapa tidak diselesaikan sekalian, jawabnya pendek saja: “Mboten ilok, Bu. Saya cuci besok pagi saja habis sholat Subuh”. Untung nyonya rumah cukup bijak untuk memahami keengganan pembantunya mencuci piring pada malam hari.
 
 
KESIMPULAN
 
Bersih-bersih harus tuntas sekali jadi. Menyelesaikan separo kemudian dilanjutkan nanti sama dengan belum melakukan apa-apa. Demikian pula bersih-bersih jangan dilakukan pada malam hari. Dalam kegelapan kemungkinan untuk tidak bersih menjadi besar, kemungkinan pecah atau rusak juga besar. Termasuk kemungkinan kecurian. (IwMM)
 
 

Wednesday, November 14, 2012

GUGON TUHON, TIDAK SEKEDAR “ORA ILOK” (8): KEBERSIHAN DAN KESEHATAN PERORANGAN

Melanjutkan tulisan: Gugon tuhon, tidak sekedar “ora ilok” (7): Perilaku duduk, maka perilaku kebersihan kita pun juga banyak aturannya, khususnya mengenai kebersihan dan kesehatan perorangan (personal hygiene).
 
Di bawah adalah beberapa contoh perilaku yang perlu diperhatikan setidaknya pada jaman dulu, karena pada masa sekarang hal-hal tersebut sudah tidak banyak lagi yang kita lakukan terkait dengan kemajuan kesehatan masyarakat itu sendiri baik di perkotaan maupun pedesaan.
 
 
A. CARI KUTU
 
 
Sekarang tidak banyak lagi orang punya kutu di kepalanya demikian pula kutu di pakaian. Dulu khususnya wanita, cari kutu adalah kegiatan rutin sehari-hari sambil ngobrol dengan sesama kelompok cari kutu. “Serit” adalah semacam sisir yang gigi-giginya amat rapat merupakan senjata utama untuk mencari kutu. Dengan menggunakan serit untuk menyisir dan menyusuri rambut, kutu maupun telurnya (disebut “lingsa”) akan nyangkut di serit.
 
1. AJA SOK SASERIT ING WAYAH BENGI, IKU ANDHANDHANG MATINE WONG TUWA
 
Mencari kutu dengan “serit” pada malam hari punya risiko kutunya “mletik” (meloncat) dan jatuh di kain. Amat susah mencarinya. Disamping penerangan kurang bagus, ukuran kutu juga amat kecil. Akibatnya kutu juga hidup di pakaian, masalah pun bertambah. Ancamannya: Dianggap mendoakan orang tua cepat mati.
 
2. AJA SOK PETAN JARIT UTAWA KATHOK, MUNDHAK NYEBELI WONG GOLEK DHUWIT
 
Adanya kutu di pakaian (kain atau celana) merupakan indikator bahwa pemiliknya pemalas dan kurang menjaga kebersihan kepala sehingga kutu kepala sempat migrasi ke pakaian. Bisa juga dikarenakan melanggar larangan berserit di malam hari (butir 1 di atas)
 
3. ESUK-ESUK AJA PETAN, MUNDHAK NYEBELI WONG GOLEK DHUWIT
 
Banyak hal yang harus dikerjakan pada pagi hari. Kalau pagi-pagi sudah “petan” (cari kutu) akan banyak pekerjaan penting yang terbengkalai. Oleh sebab itu dikatakan “nyebeli wong golek dhuwit”
 
4. AJA NGUWISI YEN PETAN DURUNG MUBENG, MUNDHAK KETIBAN EPANG
 
“Petan mubeng” adalah petan paripurna. Artinya merata di seluruh kepala. Kalau baru sebelah yang diselesaikan kemudian sebelah kepala yang lain ditunda, berarti tidak tuntas dalam menyelesaikan pekerjaan. Kutu akan cepat bertambah dalam tempo yang tidak terlalu lama. Ancamannya: Kejatuhan dahan. Orang kota mungkin sulit membayangkan risiko kejatuhan dahan pohon. Tetapi orang desa yang masih akrab dengan kebun dan hutan, dapat memahami hal ini.
 
5. AJA SOK DHEMEN DHIDHIS, MUNDHAK NGEDOHAKE MALAEKAT
 
“Dhidhis” adalah pekerjaan menelusuri rambut satu-persatu, siapa tahu menemukan kutu atau telurnya. Bukan khusus “petan” (cari kutu). Ada orang yang menjadi terbiasa “dhidhis”. Sewaktu tidak mengerjakan apa-apa, jari-jari tangannya secara tidak sadar menyusuri helai-helai rambutnya. Pekerjaan yang kelihatannya sepele, tetapi dilihat orang kesannya kurang baik. Seolah-olah ia orang pemalas, hari-hari hanya “dhidhis”. Ancamannya: dijauhi Malaikat.
 
 
B. RAMBUT
 
 
1. YEN JUNGKATAN AJA AMBUWANG BODHOLAN RAMBUT SAENGGON-ENGGON; BESUK YEN ANA KANANE, MUNDHAK NGRIBEDI ENGGONMU MLAKU MUNGGAH NYANG SUWARGA
 
Saat sisiran, umumnya ada rambut yang “bodhol” (rontok). Bodholan rambut ini jangan dibuang sebarangan karena setelah mati nanti, akan mengganggu perjalananmu ke Sorga. Ancamannya mengerikan, berarti rontokan rambut merupakan masalah besar. Rambut adalah benda yang amat ringan. Bisa terbang kemana-mana terbawa angin dan bisa jatuh masuk ke makanan. Saat enak-enaknya makan kemudian menemukan rambut walau sehelai dalam sayuran, bisa merusak selera. Mengingat rambut bisa rontok kapan saja dan dimana saja, sekalipun tidak sedang sisiran, sebaiknya kalau kita sedang memasak makanan memakai tutup kepala yang melindungi semua rambut. Risiko juru masak adalah menjadi tertuduh utama kalau ada makanan kemasukan rambut. Oleh sebab itu untuk menakut-nakuti Sorga pun dilibatkan.
 
2. AJA SOK NGOBONG RAMBUT, MUNDHAK AMBODHOLAKE SING ISIH.
 
Bau rambut dibakar amat menyengat. Baiknya potongan  maupun rontokan rambut dikubur di dalam tanah, supaya tidak beterbangan kemana-mana. Ancamannya disini: rambut yang masih ada (masih bertengger di kepala) akan ikut rontok.
 
 
C. JARI DAN KUKU



1. AJA SOK NGEMUT DRIJI, ORA ILOK
 
Mengisap jari jelas “ora ilok”. Ini bukan monopoli perilaku anak kecil. Orang dewasa pun ada yang suka “ngemut driji”. Suka mengigit-gigit kuku termasuk kelompok “ngemut driji” juga. Jari yang diisap atau kuku yang digigit tentunya berkubang ludah. OK lah kalau ada yang berkilah: jari jari saya sendiri, ludah ludah saya sendiri, apa salahnya”. Tapi bagaimana kalau kita kemudian mengambil pisang goreng di warung, mengambilnya pun tidak sekali ambil. Pegang dan bolak-balik yang lain cari yang besar? Atau kemudian kita bersalaman dengan teman? Apa tidak merasa dosa? Bisa saja ludah kita membawa bibit penyakit.
 
2. AJA SOK NGINGU KUKU NGANTI DAWA, MUNDHAK DIENGGONI SETAN
 
Kuku panjang bisa karena dipiara atau pemiliknya malas memotong. Dipiara atau tidak, kuku adalah barang tajam. Kalau digunakan untuk menggaruk bisa menimbulkan perlukaan walau hanya abrasi mikro yang tidak terlihat mata. Luka bagaimanapun kecilnya membuat kulit tidak intact (utuh) lagi. Bibit penyakit mudah masuk lewat kulit yang seperti ini. Menggaruk kulit waktu tidur diluar kendali kita, baik menggaruknya maupun kekuatan garuknya.  Tahu-tahu bangun tidur kulit gurat-gurat merah bekas garukan. Lebih-lebih bagi yang sedang kena penyakit kudis. Luka tambah lebar, kudis cepat menyebar. Ancamannya disini: menjadi tempat tinggal setan. Memang benar dihuni setan, yaitu setan yang mempercepat penyebaran penyakit. Baiknya kita tidak membiarkan kuku menjadi panjang apalagi kotor kehitaman. Orang lain akan jijik melihat kita.
 
3. AJA AMBUWANG KUKU ING SAENGGON-ENGGON, BESUK ANA KANANE MUNDHAK NGRERIBEDI LAKUMU NYANG SUWARGA
 
Bayangkan kita melihat potongan kuku tersebar dimana-mana. Pasti timbul rasa jijik. Apalagi kalau kemudian membayangkan bahwa sebelum jadi potongan kuku barang tersebut digunakan untuk melakukan perilaku tidak higienis, misalnya: mengorek lobang telinga, menggosok-gosok mata, garuk-garuk kulit  gatal termasuk pantat dan jangan lupa yang satu ini, “ngupil”. Jadi amankan potongan kuku baik-baik dengan cara mengubur. Menakut-nakutinya juga tidak main-main: Mengganggu perjalanan ke Sorga.
 
 
D. MELUDAH
 
 
AJA SOK DHEMEN NGIDONI, BESUK MUNDHAK SUWING
 
Jangan suka meludah sebarangan, dengan ancaman: Nanti bibirmu sumbing (suwing). Meludahi sumur merupakan pantangan berat. Meludah merupakan perilaku tidak sopan sekaligus tidak sehat. Layak lah kalau ditakut-takuti dengan “bibir sumbing”. Etika meludah sebenarnya ada, tetapi orang umumnya tidak mengindahkan. Kalau ingin meludah, ya meludah tanpa “empan papan” padahal banyak bibit penyakit yang dibawa oleh ludah.
 
 
KESIMPULAN
 
Gugon tuhon ternyata banyak menyimpan pesan yang benar tentang perilaku hidup bersih dan sehat. Mulai dari perlakuan kepada bantal, perlakuan kepada tempat tidur, perilaku tidur, perilaku makan dan minum dan perilaku duduk yang telah dibahas pada Gugon tuhon, tidak sekedar “ora ilok 1 s/d 8 dan yang dibahas pada judul khusus “kebersihan dan kesehatan perorangan” di posting ini.  Sayang bahwa alasannya banyak tidak masuk akal, cenderung dilebih-lebihkan. Bisa jadi orang tua kita dulu tahu bahwa sesuatu hal itu tidak baiik tetapi tidak tahu alasannya, atau yang diberi penjelasan terlalu bebal sehingga baru menurut kalau ditakut-takuti dengan “ora ilok”.
 
Bagaimanapun kita patut bangga bahwa pada masa itu “pesan-pesan kesehatan sudah menjadi isue utama, dikaitkan dengan tiga hal yaitu: (1) tatakrama (2) Kesehatan perorangan dan (3) Kesehatan masyarakat. Satu yang kurang pas yaitu tentang makanan. Masih banyak pantangan atau larangan makan yang tidak seharusnya demikian. Pesan baik kita adopsi, yang kurang baik kita luruskan. Itulah tugas kita dalam menapaki tantangan jaman (IwMM)

 

Tuesday, November 13, 2012

GUGON TUHON, TIDAK SEKEDAR “ORA ILOK” (7): PERILAKU DUDUK

 
Melanjutkan tulisan: Gugon tuhon, tidak sekedar “ora ilok” (6): Perilaku minum, maka perilaku duduk kita pun juga banyak “wewaler”nya. Umumnya adalah mengenai bagaimana cara kita duduk dan apa yang kita gunakan sebagai alas duduk.
 
Di bawah adalah beberapa contoh perilaku yang menjadi larangan setidaknya pada jaman dulu, karena pada masa sekarang hal-hal tersebut sebagian besar  sudah tidak kita lakukan khususnya bagi yang bermukim di perkotaan
 
 
1. AJA LUNGGUH, NGADEG, ANDHODOK ANA TENGAH LAWANG MUNDHAK SIYAL OLEHE GOLEK BOJO
 
Sudah jelas bahwa pintu adalah tempat orang keluar masuk. Kalau kita duduk atau jongkok di tengah pintu akan menghambat keleluasaan orang yang lalu-lalang. Kaitannya dengan orang sial cari jodoh tentunya tidak ada. Hanya perlambang dan hukum timbal balik bahwa orang yang suka menghambat orang lain akan dapat balasan yang sama. Disini diberi ancaman susah jodoh. Tentunya orang tidak ingin mendapat kesulitan untuk yang satu ini. Takutlah dia jongkok di tengah pintu.
 
 
2. AJA ANDHODHOK SUWE-SUWE, BESUK MUNDHAK DOBOL SAGENTER
 
Jangan jongkok terlalu lama, karena kelak akan “dobol” (ambein, bawasir) panjangnya “sagenter” (genter: galah). Ambein sepanjang itu tentunya tidak mungkin terjadi. Tetapi jongkok terlalu lama memang meningkatkan tekanan dalam perut dan menghambat peredaran darah bagian bawah tubuh kita. merupakan faktor risiko terjadinya ambein. Dalam hal ini pesannya benar, risikonya pun benar, tetapi dilebih-lebihkan. Mengapa dilebih-lebihkan tentunya supaya orang takut. Duduk jongkok berlama-lama disamping berpengaruh terhadap kesehatan yang bersangkutan juga tidak sedap dipandang mata.
 
 
3. AJA LUNGGUH ANDHA, MUNDAK KEWIRANGAN
 
“Andha” adalah tangga yang biasa kita pakai untuk memanjat. Biasanya “andha” disandarkan di dinding, lalu anak tangganya kita duduki. Kalau kita tidak waspada terhadap posisi sandar dan tempat pijakan tangga bisa-bisa terjadi kecelakaan. Kalau hanya tangga yang jatuh masih untung. Kalau tangga menjatuhi sesuatu, bisa terjadi kerusakan terhadap barang yang kejatuhan. Yang paling apes kalau tangga jatuh menimpa kita. Berlakulah peribahasa “jatuh dihimpit tangga”. Apa tidak malu? Makanya dikatakan “kewirangan” yang artinya dipermalukan.
 
 
4. AJA SOK NGLINGGIHI KRAMBIL, IKU PRASASAT NGLINGGIHI ENDHASE WONG TUWA
 
“Krambil” atau kelapa memang bentuknya menyerupai kepala manusia. Disisi lain kelapa adalah bahan makanan dan orang Jawa umumnya menaruh hormat kepada bahan makanan. Duduk di atas kelapa disamakan dengan duduk di atas kepala orang tua yang berarti penghinaan. Selain itu kelapa mudah tergulir karena bentuknya yang bulat. Kalau diduduki kurang stabil.
 
 
5. AJA LUNGGUH LEMEK GODHONG GEDHANG, NEK LELUNGAN MUNDHAK KEPESING
 
Daun pisang banyak dipakai sebagai pembungkus atau alas makanan. Kalau kita pakai duduk berarti kita akan mengotori makanan yang akan dibungkus atau dialasi daun pisang tersebut. Demikian pula kalau yang kita duduki adalah daun pisang bekas pembungkus atau alas makanan. Bagian pantat pakaian kita yang akan kotor. Ancamannya: kalau bepergian akan kebelet berak atau terberak-berak (kepesing) di perjalanan.
 
 
6. AJA LUNGGUH TAMPAH, MUNDHAK DUWE LARA AYAN
 
Mengingat tampah adalah tempat menaruh makanan, maka kalau kita duduki berarti kurang hormat pada makanan. Ancamannya: akan sakit ayan.
 
 
7. AJA LUNGGUH LEMEK TEPAS, YEN ANA PASAR MUNDHAK DITARKA NGUTIL
 
“Tepas” adalah kipas yang terbuat dari anyaman bambu, biasanya kita gunakan untuk mengipasi bara api supaya menyala. Berarti “tepas” banyak beroperasi di dapur. Kalau kita pakai alas duduk, kasihan yang kerja di dapur, mereka bisa kelabakan mencari alat yang amat diperlukan tersebut. Ancamannya: Kalau ke pasar akan didakwa mencopet (mengutil). Risikonya dipukuli massa.
 
 
8. AJA LUNGGUH LEMEK SAPU, MUNDHAK ORA ILOK
 
Sapu adalah alat pembersih lantai. Kotoran di lantai bisa macam-macam. Mulai sekedar debu, sisa makanan sampai barang busuk termasuk tahi. Kalau kita pakai duduk tentunya pantat kita akan ketempelan kotoran.
 
 
KESIMPULAN
 
Posisi duduk kita disamping menunjukkan tingkat kesantunan dan tepaselira kita pada orang lain juga berpengaruh terhadap kesehatan kita. Apa yang kita duduki bisa membahayakan kalau barangnya tidak stabil. Barang yang kita duduki bisa kita kotori maupun mengotori kita. satu hal lagi, tidak hanya makanan, tetapi tempat makanan pun perlu kita hormati. Semua dikemas dalam “wewaler” dengan ancaman yang bisa tidak masuk akal tapi membuat orang takut melanggar.  Dengan adanya ancaman yang didengar dan diikuti tanpa reserve maka jadilah “gugon tuhon” (IwMM)

 

Most Recent Post


POPULAR POST