Melanjutkan tulisan: Gugon tuhon, tidak sekedar “ora ilok” (7): Perilaku duduk, maka perilaku kebersihan kita pun juga banyak
aturannya, khususnya mengenai kebersihan dan kesehatan perorangan (personal
hygiene).
Di bawah adalah beberapa contoh perilaku yang
perlu diperhatikan setidaknya pada jaman dulu, karena pada masa sekarang
hal-hal tersebut sudah tidak banyak lagi yang kita lakukan terkait dengan
kemajuan kesehatan masyarakat itu sendiri baik di perkotaan maupun pedesaan.
A. CARI KUTU
Sekarang
tidak banyak lagi orang punya kutu di kepalanya demikian pula kutu di pakaian.
Dulu khususnya wanita, cari kutu adalah kegiatan rutin sehari-hari sambil
ngobrol dengan sesama kelompok cari kutu. “Serit” adalah semacam sisir yang
gigi-giginya amat rapat merupakan senjata utama untuk mencari kutu. Dengan
menggunakan serit untuk menyisir dan menyusuri rambut, kutu maupun telurnya
(disebut “lingsa”) akan nyangkut di serit.
1. AJA SOK SASERIT ING WAYAH BENGI, IKU ANDHANDHANG
MATINE WONG TUWA
Mencari kutu
dengan “serit” pada malam hari punya risiko kutunya “mletik” (meloncat) dan
jatuh di kain. Amat susah mencarinya. Disamping penerangan kurang bagus, ukuran
kutu juga amat kecil. Akibatnya kutu juga hidup di pakaian, masalah pun
bertambah. Ancamannya: Dianggap mendoakan orang tua cepat mati.
2. AJA SOK PETAN JARIT UTAWA KATHOK, MUNDHAK NYEBELI
WONG GOLEK DHUWIT
Adanya kutu
di pakaian (kain atau celana) merupakan indikator bahwa pemiliknya pemalas dan
kurang menjaga kebersihan kepala sehingga kutu kepala sempat migrasi ke
pakaian. Bisa juga dikarenakan melanggar larangan berserit di malam hari (butir 1 di atas)
3. ESUK-ESUK AJA PETAN, MUNDHAK NYEBELI WONG GOLEK
DHUWIT
Banyak hal
yang harus dikerjakan pada pagi hari. Kalau pagi-pagi sudah “petan” (cari kutu)
akan banyak pekerjaan penting yang terbengkalai. Oleh sebab itu dikatakan
“nyebeli wong golek dhuwit”
4. AJA NGUWISI YEN PETAN DURUNG MUBENG, MUNDHAK
KETIBAN EPANG
“Petan
mubeng” adalah petan paripurna. Artinya merata di seluruh kepala. Kalau baru
sebelah yang diselesaikan kemudian sebelah kepala yang lain ditunda, berarti
tidak tuntas dalam menyelesaikan pekerjaan. Kutu akan cepat bertambah dalam
tempo yang tidak terlalu lama. Ancamannya: Kejatuhan dahan. Orang kota mungkin
sulit membayangkan risiko kejatuhan dahan pohon. Tetapi orang desa yang masih
akrab dengan kebun dan hutan, dapat memahami hal ini.
5. AJA SOK DHEMEN DHIDHIS, MUNDHAK NGEDOHAKE MALAEKAT
“Dhidhis”
adalah pekerjaan menelusuri rambut satu-persatu, siapa tahu menemukan kutu atau
telurnya. Bukan khusus “petan” (cari kutu). Ada orang yang menjadi terbiasa
“dhidhis”. Sewaktu tidak mengerjakan apa-apa, jari-jari tangannya secara tidak
sadar menyusuri helai-helai rambutnya. Pekerjaan yang kelihatannya sepele,
tetapi dilihat orang kesannya kurang baik. Seolah-olah ia orang pemalas,
hari-hari hanya “dhidhis”. Ancamannya: dijauhi Malaikat.
B. RAMBUT
1. YEN JUNGKATAN AJA AMBUWANG BODHOLAN RAMBUT
SAENGGON-ENGGON; BESUK YEN ANA KANANE, MUNDHAK NGRIBEDI ENGGONMU MLAKU MUNGGAH
NYANG SUWARGA
Saat
sisiran, umumnya ada rambut yang “bodhol” (rontok). Bodholan rambut ini jangan dibuang
sebarangan karena setelah mati nanti, akan mengganggu perjalananmu ke Sorga.
Ancamannya mengerikan, berarti rontokan rambut merupakan masalah besar. Rambut
adalah benda yang amat ringan. Bisa terbang kemana-mana terbawa angin dan bisa
jatuh masuk ke makanan. Saat enak-enaknya makan kemudian menemukan rambut walau
sehelai dalam sayuran, bisa merusak selera. Mengingat rambut bisa rontok kapan
saja dan dimana saja, sekalipun tidak sedang sisiran, sebaiknya kalau kita
sedang memasak makanan memakai tutup kepala yang melindungi semua rambut.
Risiko juru masak adalah menjadi tertuduh utama kalau ada makanan kemasukan
rambut. Oleh sebab itu untuk menakut-nakuti Sorga pun dilibatkan.
2. AJA SOK NGOBONG RAMBUT, MUNDHAK AMBODHOLAKE SING
ISIH.
Bau rambut
dibakar amat menyengat. Baiknya potongan
maupun rontokan rambut dikubur di dalam tanah, supaya tidak beterbangan
kemana-mana. Ancamannya disini: rambut yang masih ada (masih bertengger di
kepala) akan ikut rontok.
Mengisap
jari jelas “ora ilok”. Ini bukan monopoli perilaku anak kecil. Orang dewasa pun
ada yang suka “ngemut driji”. Suka mengigit-gigit kuku termasuk kelompok
“ngemut driji” juga. Jari yang diisap atau kuku yang digigit tentunya berkubang
ludah. OK lah kalau ada yang berkilah: jari jari saya sendiri, ludah ludah saya
sendiri, apa salahnya”. Tapi bagaimana kalau kita kemudian mengambil pisang
goreng di warung, mengambilnya pun tidak sekali ambil. Pegang dan bolak-balik
yang lain cari yang besar? Atau kemudian kita bersalaman dengan teman? Apa
tidak merasa dosa? Bisa saja ludah kita membawa bibit penyakit.
2. AJA SOK NGINGU KUKU NGANTI DAWA, MUNDHAK DIENGGONI
SETAN
Kuku panjang
bisa karena dipiara atau pemiliknya malas memotong. Dipiara atau tidak, kuku
adalah barang tajam. Kalau digunakan untuk menggaruk bisa menimbulkan perlukaan
walau hanya abrasi mikro yang tidak terlihat mata. Luka bagaimanapun kecilnya
membuat kulit tidak intact (utuh) lagi. Bibit penyakit mudah masuk lewat kulit yang
seperti ini. Menggaruk kulit waktu tidur diluar kendali kita, baik menggaruknya
maupun kekuatan garuknya. Tahu-tahu
bangun tidur kulit gurat-gurat merah bekas garukan. Lebih-lebih bagi yang
sedang kena penyakit kudis. Luka tambah lebar, kudis cepat menyebar. Ancamannya
disini: menjadi tempat tinggal setan. Memang benar dihuni setan, yaitu setan
yang mempercepat penyebaran penyakit. Baiknya kita tidak membiarkan kuku
menjadi panjang apalagi kotor kehitaman. Orang lain akan jijik melihat kita.
3. AJA AMBUWANG KUKU ING SAENGGON-ENGGON, BESUK ANA
KANANE MUNDHAK NGRERIBEDI LAKUMU NYANG SUWARGA
Bayangkan kita melihat potongan kuku tersebar
dimana-mana. Pasti timbul rasa jijik. Apalagi kalau kemudian membayangkan bahwa
sebelum jadi potongan kuku barang tersebut digunakan untuk melakukan perilaku
tidak higienis, misalnya: mengorek lobang telinga, menggosok-gosok mata,
garuk-garuk kulit gatal termasuk pantat
dan jangan lupa yang satu ini, “ngupil”. Jadi amankan potongan kuku baik-baik
dengan cara mengubur. Menakut-nakutinya juga tidak main-main: Mengganggu
perjalanan ke Sorga.
D. MELUDAH
AJA SOK DHEMEN NGIDONI, BESUK MUNDHAK SUWING
Jangan suka
meludah sebarangan, dengan ancaman: Nanti bibirmu sumbing (suwing). Meludahi sumur merupakan pantangan berat. Meludah merupakan
perilaku tidak sopan sekaligus tidak sehat. Layak lah kalau ditakut-takuti
dengan “bibir sumbing”. Etika meludah sebenarnya ada, tetapi orang umumnya
tidak mengindahkan. Kalau ingin meludah, ya meludah tanpa “empan papan”
padahal banyak bibit penyakit yang dibawa oleh ludah.
KESIMPULAN
Gugon tuhon
ternyata banyak menyimpan pesan yang benar tentang perilaku hidup bersih dan
sehat. Mulai dari perlakuan kepada bantal, perlakuan kepada tempat tidur,
perilaku tidur, perilaku makan dan minum dan perilaku duduk yang telah dibahas
pada Gugon tuhon, tidak sekedar “ora ilok 1 s/d 8 dan yang dibahas pada judul
khusus “kebersihan dan kesehatan perorangan” di posting ini. Sayang bahwa alasannya banyak tidak masuk
akal, cenderung dilebih-lebihkan. Bisa jadi orang tua kita dulu tahu bahwa sesuatu
hal itu tidak baiik tetapi tidak tahu alasannya, atau yang diberi penjelasan
terlalu bebal sehingga baru menurut kalau ditakut-takuti dengan “ora ilok”.
Bagaimanapun
kita patut bangga bahwa pada masa itu “pesan-pesan kesehatan sudah menjadi isue
utama, dikaitkan dengan tiga hal yaitu: (1) tatakrama (2) Kesehatan perorangan
dan (3) Kesehatan masyarakat. Satu yang kurang pas yaitu tentang makanan. Masih
banyak pantangan atau larangan makan yang tidak seharusnya demikian. Pesan baik
kita adopsi, yang kurang baik kita luruskan. Itulah tugas kita dalam menapaki
tantangan jaman (IwMM)
No comments:
Post a Comment