Tuesday, March 26, 2013

TINDAK HATI-HATI DALAM PARIBASAN JAWA (2): OPERASIONALISASINYA


Contoh tindak hati-hati dalam kehidupan Jawa dapat dibaca pada tulisan-tulisan terdahulu. Semua berkesan menimbulkan “kelambatan”. Tetapi kalau dari aspek waktu semua sudah direncanakan dengan bai, kelambatan itu pasti tidak akan terjadi.

1.    Dalam melaksanakan segala sesuatu harus melalui pertimbangan matang seperti ajaran dalam Serat Wulangreh, dengan Deduga, Prayoga, Watara dan Reringa.

2.    Tujuan akhir adalah “Titis” yang artinya tepat pada sasaran. Langkah-langkahnya adalah Tata, Titi,Tatas dan Titis.

3.    Apabila menyangkut keuangan, maka harus pandai menyimpan, pandai menggunakan dan berhati-hati. Gemi dan Nastiti adalah rumusnya

 
 
Paribasan yang bernada Alon-alon waton klakon, adalah manifestasi tidak hati-hati, seperti telah ditulis pada Tindak hati-hati dalam paribasan Jawa (1): Mau rindhik atau rikat?. Mengenai pesan-pesan tindak hati-hati dalam paribasan Jawa, dapat dibaca pada beberapa contoh di bawah:
 
 
PARIBASAN DAN OPERASIONALISASI TINDAK HATI-HATI
 
EMBAT-EMBAT CLARAT (Embat-embat: ditimbang-timbang; Clarat: Cleret gombel, bunglon). Warna kulit bunglon pelan-pelan akan berubah seperti warna dasar tempat ia bertengger. Dapat diibaratkan sebagai sikap hati-hati dan waspada kalau dikaitkan dengan kata depannya yaitu “embat-embat”. Dapat kita katakan “embat-embat clarat” sebagai sikap kewaspadaan umum sebelum bertindak. Meminjam istilah yang sering saya dengar tahun 1980an, waspada  terhadap ATHG (Ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan)
 
ANA BAPANG SUMIMPANG (Bapang: Papan dengan tiang yang dipasang di pinggir jalan untuk tanda petunjuk nama desa, nama jalan dan sebagainya).
 
Dalam paribasan ini “bapang" dianggap sebagai papan melintang yang menghalangi perjalanan kita. Lebih baik kita "sumimpang" saja daripada berkeras menerjang bapang.
 
Pengertiannya: Hal-hal yang menimbulkan masalah lebih baik kita singkiri dan cari jalan lain. Pertimbangannya: “Mengapa harus diterjang kalau kita bisa menyimpang”.
 
ANA CATUR MUNGKUR (Catur: pembicaraan; Mungkur: membelakangi, dalam hal ini diartikan sebagai menyingkir).
 
Pengertiannya: Kita tidak perlu ikut-ikut urusan orang lain. Sebagai contoh, jangan gatal kemudian ikut nimbrung kalau ada orang bicara tidak baik tentang orang lain (ngrasani). Risikonya kita bertambah musuh, salah-salah kena perkara. Akibatnya waktu dan energi terbuang hanya untuk mengurusi hal-hal yang seharusnya tidak perlu ada.
 
ANGON IRIBAN (Angon: Momong, mengasuh; Irib: arti harfiahnya adalah “mirip”). Pengertiannya adalah memahami hati atau memahami “mood” seseorang sebelum kita bicara. Kalau “mood” pas tidak baik, lebih baik kita bicara lain waktu saja.
 
ANGON KOSOK (Kosok: membersihkan). Pengertiannya hampir sama dengan “angon iriban” di atas. Sebelum berurusan dengan orang lain, kita harus pahami lebih dahulu perilakunya. Kita “kosoki” (teliti menyeluruh) semuanya, sehingga dalam bertindak kita bisa lebih empan papan.
 
Kosok juga berarti “rebab” (alat musik Jawa yang digesek). Bila kita “niyaga” (penabuh gamelan), harus dengarkan nada “rebab”. Misalnya jangan sampai kita gunakan nada yang beda saat rebab berbunyi “pathet manyura”. Dalam hal ini kita menjadi orang yang ORA ANGON KOSOK.
 
ANGON MANGSA (Mangsa: Waktu). Dalam bertindak apapun, termasuk menemui seseorang, kita harus mencari waktu yang pas.
 
Angon iriban, angon kosol dan angon mangsa termasuk kegiatan memanajemen manusia, yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan ungkapan "mrangkani kudhi". Momong orang sulit.
 
DIKENA IWAKE AJA NGANTI BUTHEK BANYUNE (Tertangkap ikannya tetapi jangan sampai keruh airnya). Tujuan tercapai tetapi tidak membuat heboh. Contoh sederhana misalnya menangkap penjahat dan menaggulangi wabah penyakit. Penyahat tertangkap, wabah tertangani tetapi jangan membuat rakyat (diibaratkan dengan “banyu”) panik.
 
 
LIDING DONGENG:
 
Semua yang “rindhik” dan tidak “rikat” di atas pada dasarnya karena manusia harus “ngati-ati” dalam segala hal. Ngati-ati berarti harus selalu waspada. Oleh sebab itu kita juga diingatkan bahwa orang yang waspada akan selamat, dan orang yang tidak waspada bisa celaka: YITNA YUWANA LENA KENA.
 
PUPUR SADURUNGE BENJUT adalah gambaran bahwa “mencegah lebih baik daripada mengobati”. Mencegah merupakan tindakan rutin dan orang bosan dengan segala sesuatu yang berbau rutinitas. Banyak sekali contohnya: mencegah maling dengan siskamling rutin, mencegah kecelakaan dengan pemeriksan mesin mobil secara berkala, mencegah demam berdarah dengan pembersihan sarang nyamuk seminggu sekali.
 
Manusia biasanya lalai, dan merasa lebih heroik apalagi bisa bisa punya bahan ceritera seru tentang: Mengejar maling, tabrakan dan opname. Manusia ternyata lebih memilih PUPUR SAWISE BENJUT.
 
YUWANA MATI LENA adalah peribahasa yang mengingatkan kita bahwa  orang baik-baik bisa mendapat celaka karena tidak hati-hati atau tidak waspada. Bukankah kita semua orang YUWANA? Eman-eman (sayang) kalau sampai MATI LENA. (IwanMM)
 

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST