Teman
saya, Toni, pernah bertanya: “Pak, orang Jawa itu efektif atau efisien?”
Pertanyaannya mengingatkan saya ke peristiwa lebih 30 tahun yang lalu, ke teluk
Kao di Maluku Utara. Ada permukiman transmigrasi dari Jawa, di sana. Seorang
pegawai Puskesmas menyampaikan kepada saya: “Orang Jawa itu kalau membersihkan
rumput dia cabuti satu persatu. Kan kerja jadi lama.”
Ini
komentar bagus sekali, pikir saya. “Betul, tapi rumput tercabut sampai ke
akar-akarnya. Lama baru tumbuh kembali. Lain dengan kamu, satu jam kerja selesai
karena langsung dibabat dengan parang. Tapi tiga hari sudah rumput panjang
lagi”.
Kesimpulannya
memang sifat dasar orang Jawa itu efektif tetapi dari segi waktu menjadi kurang
efisien. Saya sampaikan pada Toni bahwa sekarang karena pergaulan sudah luas,
sifat-sifat dasar tersebut sudah tidak kelihatan. Tetapi intinya
ketidak-efisienan dari segi waktu tersebut sebenarnya karena sifat hati-hati.
Di
bawah adalah beberapa contoh sifat kehati-hatian tersebut dalam paribasan Jawa
yang nyaris semuanya menggunakan “purwakanthi” sebagai pemanis sekaligus memudahkan
untuk diingat:
MENGAPA LEBIH BAIK
“RINDHIK” (PELAN)
ALON-ALON WATON KLAKON
dalam bahasa Indonesia juga kita kenal kalimat serupa: BIAR LAMBAT ASAL SELAMAT
demikian pula dalam bahasa Inggris kita kenal: BETTER LATE THAN NEVER.
Kelihatannya paribasan ini bersifat “universal”
Alon, lambat dan late disini maksudnya bukan terlambat, tetapi
mengerjakannya tidak perlu grusa-grusu kesusu. Demikian pula kata “waton
klakon” bukan berarti “asal sampai”. Tetapi “sampai” sesuai waktu yang
direncanakan. Dalam peribahasa yang lain dikatakan bahwa segala sesuatu harus
dikerjakan dengan TATA, TITI, TATAS dan TITIS. Jadi: Maksudnya “alon-alon” adalah
mengerjakan dengan “tata dan titi” sedangkan “klakon-nya” secara “tatas dan
titis” yang artinya selesai tepat waktu.
GLIYAK-GLIYAK TUMINDAK. Maknanya sama. Gliyak-gliyak
adalah jalan santai, dan tumindak adalah bertindak. Mengapa berani
gliyak-gliyak? Karena sudah diperhitungkan “time frame” nya dengan perencanaan
yang “tata dan titi”.
GREMET-GREMET SLAMET. Maknanya sama
dengan alon-alon dan gliyak-gliyak, hanya lebih disangatkan dengan menggunakan
kata “gremet”. Nggremet adalah merambat. Lha kapan sampainya? Perlu dijelaskan
disini bahwa pilihan kata “nggremET” adalah untuk padanan purwakanthi bagi kata
“slamET”. Tidak ada hubungannya dengan slamet tapi telat misalnya bila lalulintas
padat merambat.
MENGAPA TIDAK PILIH “RIKAT”
(CEPAT)
KEBAT KLIWAT (Kebat: cepat;
Kliwat: lelewatan). Cepat bukannya jelek. Yang dimaksud dengan “kebat” disini
adalah ketergesa-gesaan. Sebagai contoh kalau pada awal kita leha-leha kemudian
setelah waktunya mepet kita baru bergerak, yang pasti jadi tergesa-gesa dan pasti ada yang kelewatan. Untuk orang yang mau bepergian, ada barang yang
ketinggalan. Untuk yang mengerjakan proyek, kalau dikebat karena tutup tahun
sudah dekat, pasti hasilnya banyak kekurangan.
GANCANG PINCANG (Gancang:
tergesa-gesa; Pincang: timpang). Orang berjalan kalau tergesa-gesa, banyak
peluang untuk menjadi pincang. Mulai dari kaki lecet, terantuk batu sampai
ketabrak becak. Mengerjakan sesuatu dengan “gegancangan” hasilnya bisa “mislek”
kata orang Jawa yang mencoba berbahasa Belanda.
KESUSU KESARU (Kesusu:
tergesa-gesa; kesaru: tiba-tiba kedatangan yang lain, bisa orang, bisa
pekerjaan, bisa masalah). Bisa dibayangkan bahwa orang tergesa-gesa mengerjakan
sesuatu yang nyaris terlambat kemudian kedatangan pekerjaan lain atau masalah
baru. Pasti yang dikerjakan dengan kesusu tidak selesai atau mutunya tidak
baik, dan yang “nyaru” tiba-tiba datang tidak tertangani.
LIDING DONGENG
Bukan
sekedar permainan kata. Mau pilih mana? Kebat tetapi ada yang kelewatan,
Gegancangan tetapi pincang dan kesusu tetapi kesaru? Atau alternatif satunya:
Gliyak-gliyak, alon-alon, bahkan nggremet tetapi tumindak, klakon dan slamet
yang berarti terlaksana, tepat waktu dan tepat sasaran?
Kata
kuncinya adalah kita harus “sabar”. Tidak tergesa-gesa, tidak grusa-grusu,
tidak nabrak-nabrak. Perhitungkan semua dengan “tata dan titi” termasuk
kemungkinan kelambatan sehingga hasil akhirnya “tatas dan titis”. SAREH PIKOLEH berarti mengerjakan apa saja
harus sabar, jangan tergesa-gesa, karena SABAR
SUBUR.
Rindhik
yang tidak ditolerir dalam budaya Jawa adalah NGULER KAMBANG. Yang satu ini betul-betul alon yang tidak klakon,
dan di luar ranah sifat sabar atau sareh. “Nguler kambang adalah sifat pemalas
yang dapat dibaca pada posting Nguler kambang dan kebat kliwat.
Bagaimana
bertindak hati-hati menurut paribasan Jawa dapat dibaca pada lanjutan tulisan
ini: TINDAK HATI-HATI DALAM PARIBASAN JAWA (2): OPERASIONALISASINYA
No comments:
Post a Comment