Namanya
manusia, bisa saja terjadi silang pendapat, bahkan antara saudara kandung
seayah seibu pun hal ini bisa terjadi. Bisa rukun dengan sendirinya bisa pula
memerlukan seorang mediator untuk melerai. Sepanjang semangat kekeluargaan kita
junjung tinggi maka semua akan baik-baik saja.
Tulisan
ini adalah lanjutan dari Hubungan kekeluargaan dan persahabatan dalam paribasan Jawa (1)
KERETAKAN HUBUNGAN
KEKELUARGAAN
CACA UPA arti harfiahnya
adalah butir nasi (upa) yang retak atau renggang (caca). Butir nasi (upa) yang
dari sononya sudah menyatu bisa juga menjadi “caca” (retak). Pengertiannya
adalah: Meretakkan hubungan persaudaraan (termasuk persahabatan). Banyak hal
yang membuat hubungan antar manusia retak, mulai dari yang sepele sampai yang
complicated.
Persaudaraan
yang tidak bisa rukun digambarkan dalam bebasan yang juga ada dalam bahasa
Indonesia: KAYA ASU KARO KUCING
(seperti anjing dengan kucing) dan KAYA BANYU
KARO LENGA (seperti air dengan minyak)
Adalah satu kondisi dimana begitu
alerginya seseorang pada orang yang lain, dibaratkan dalam bebasan: DADIYA GODHONG EMOH NYUWEK, DADIYA BANYU
EMOH NYAWUK, DADIYA DALAN EMOH NGAMBAH, DADIYA SUKET EMOH NYENGGUT. Andaikan daun tidak mau menyobek, air
tidak mau menciduk, jalan tidak mau melewati dan rumput tidak mau mencabut, betul-betul
sudah tidak mau “sapa-aruh” lagi. Apakah betul-betul tidak akan “wawuh” lagi?
Selama ini tidak ada kata-kata DADIYA SEGA EMOH MANGAN dan DADIYA BANYU EMOH
NGOMBE. Berarti kurang dan lebihnya, keretakan hubungan bukanlah sesuatu yang
sifatnya menetap.
PERTENGKARAN DALAM
KELUARGA
Pertengkaran
dalam keluarga umumnya tidak akan lama, pasti segera rukun kembali. Ceritera
dalam peribahasa jaman dulu mengatakan: KAYA
BANYU PINERANG atau dengan kalimat yang lebih jelas lagi: BANYU PINERANG ORA BAKAL PEDHOT. Arti
harfiahnya adalah: Air dipotong (pinerang: memotong pakai pisau atau parang)
tidak akan putus. Memotong air adalah perbuatan mustahil. Mungkin air akan
tersibak sebentar kalau kita gunakan kekuatan besar. Tetapi tidak lama kemudian
akan menyatu kembali.
Saudara
yang bertengkar dengan semangat “banyu
pinerang ora bakal pedhot” tentunya harus difasilitasi agar rukun kembali.
Oleh sebab itu kita kenal bebasan NYAMBUNG
WATANG PUTUNG (watang: kayu panjang semacam galah, atau tombak tanpa ujung
tajam). Dalam ungkapan Jawa tidak dikenal peribahasa semacam PATAH ARANG
(hubungan yang sudah tidak bisa dipulihkan kembali)
Perselisihan
boleh saja memuncak, tetapi pada akhirnya akan kembali pada ungkapan dalam
peribahasa: TEGA LARANE ORA TEGA PATINE.
Bagaimanapun juga masih saudara. Kita bisa tega sampai batas-batas tertentu
(dalam peribahasa ini: tega sakitnya). Tetapi pada akhirnya kita akan membela
juga.
JANGAN TERLENA DENGAN
KEDEKATAN
Hubungan
keluarga dan persahabatan janganlah menjadikan kita terlena. Setidaknya ada tiga
peribahasa/bebasan yang perlu kita perhatikan guna dijadikan “pepeling”.
“Cangklakan” (ketiak) merupakan bagian tubuh
kita yang amat dekat ke jantung. SATRU
MUNGGWING CANGKLAKAN arti harfiahnya adalah: Musuh berada di ketiak (satru:
musuh; munggwing: mungguh ing, berada di; cangklakan: ketiak). Pengertiannya:
Orang dekat, termasuk keluarga bisa juga menjadi musuh. Kita sering lupa
mengenai hal ini, bahwa orang yang paling kita percaya bisa saja menjadi musuh
yang paling berbahaya. Dapat dibaca di posting Satru munggwing cangklakan.
Kunang-kunang yang dalam bahasa Jawa disebut “Konang” adalah serangga malam
yang punya lampu kelap-kelip, mengibaratkan orang punya gebyar. KADANG KONANG adalah bebasan Jawa yang
punya arti: Yang diakui sebagai saudara (kadang) hanyalah orang-orang yang
punya kedudukan, kaya, punya kelebihan, priyayi dll yang hebat-hebat. Selain
yang itu tidak direken. Demikian pula nasib “konang” kalau sudah kehilangan
cahayanya. Tidak diakui lagi sebagai kadang. Sifat tidak baik ini dapat dibaca
pada posting: Kadang Konang.
Yang
terakhir ini populer untuk jaman sekarang sebagai salah satu unsur KKN yaitu
bebasan: NGIKET-IKETI DHENGKUL, NGOPYAHI
DHENGKUL atau NASABI DHENGKUL. Tulisan lebih panjang mengenai dengkul dapat
dibaca di posting: Ungkapan bahasa Jawa dengan “dhengkul”. Arti harfiahnya
adalah: Memberi tutup kepala pada dengkul. Dengkul adalah bagian tubuh kita,
ikat kepala/tutup kepala melambangkan kedudukan. Pengertiannya adalah memberi
jabatan pada anggota keluarga kita sendiri.
Hati-hati dengan perilaku "ngiket-keti dhengkul" karena ada satu lagi bebasan dengan
“dhengkul” di luar konteks judul tulisan ini, yaitu: DHENGKUL IKET-IKETAN. Pengertian iket sama dengan yang di atas,
tetapi untuk “dhengkul” berbeda. Disini dhengkul adalah barang tumpul (masa ada
orang yang dengkulnya tajam). Karena pakai ikat kepala, berarti dengkul
dianggap kepala yang otaknya tumpul. Tentunya akan mencoreng nama keluarga
kalau kita “ngiket-iketi dengkul”
dengan pertimbangan “bacin-bacin iwak,
ala-ala sanak” ternyata hasilnya “dhengkul
iket-iketan”.
LIDING DONGENG
Terhadap
saudara atau teman yang memang tidak baik, diibaratkan dalam bebasan CUPLAK ANDHENG-ANDHENG ORA PRENAH
PANGGONANE. Cuplak adalah sejenis penyakit kulit yang menimbulkan
binti-bintil, andheng-andheng adalah tahi lalat (yang dalam keadaan tertentu
bisa berubah jadi kanker) Kalau tempatnya tidak tepat (ora prenah panggonane)
biarpun saudara atau teman lebih baik disingkirkan saja.
Hubungan
kekeluargaan dan persaudaraan seharusnya tidak seperti peribahasa EMBAN CINDHE EMBAN SILADAN, atau
disebut juga AMBAU KAPINE yang
artinya adalah pilih kasih, memperlakukan orang secara berbeda. Kita semua
bersaudara. Semangat kita seharusnya sesuai dengan peribahasa DUDU SANAK DUDU KADANG, YEN MATI MELU
KELANGAN, yang artinya: Walaupun orang lain, kalau menderita harus kita
bela. (IwanMM)
No comments:
Post a Comment