Episode
ke 2 dari 6 tulisan: Kelengkapan Ksatria Jawa Paripurna: Wisma, Wanodya,
Turangga, Kukila, Curiga
Setelah ngalor ngidul membahas 5 kelengkapan seorang ksatria secara harfiah pada episode pertama "Wisma, Wanodya, Turangga, Kulila dan Curiga mari kita “onceki” (kupas) satu-persatu apa yang tersirat dibalik lima perlambang tadi:
WISMA
Seorang ksatria harus punya rumah dalam arti yang sesungguhnya. Tidak harus rumah “gedong magrong-magrong” (rumah besar) yang penting rumah sehat: Ada air bersih, jamban, SPAL, jendela, ventilasi, lanta plester, dapur dan lain-lain kriteria rumah sehat. Rumah sehat akan menjauhkan penghuninya dari gangguan penyakit. Ksatria harus sehat sehingga mampu melaksanakan “dharma” ksatrianya dengan lebih baik.
Disamping itu rumah juga berarti pangkalan atau kantor, tempat kita merencanakan sumberdaya dan langkah-langkah yang akan dilakukan. Dari pangkalan kita bergerak melaksanakan kegiatan dan harus pulang untuk melakukan evaluasi kinerja, selanjutnya melakukan perencanaan lagi, kalau perlu melakukan “re-programming” untuk berangkat lagi meneruskan “netepi laku” ksatrianya.
Ringkasnya harus ada rumah untuk pulang. Rumah untuk pergi, pulang dan pergi lagi. Bukan pergi, pergi dan pergi terus karena rumahnya tidak jelas. Pahlawan Indian kita, Winetou ternyata lebih tahu. Secara periodik ia selalu pulang ke “wigwam”nya. Sementara don Quixote yang tidak pulang-pulang tahu-tahu sampai dengan sendirinya ke rumahnya di desa “la Mancha” dalam keadaan “exhausted”. Ia tidak mampu pergi lagi dan meninggal di rumah. Episode panjang petualangannya pun berakhir tidak enak.
Itulah rumah, tempat kita meningkatkan kesehatan, merencanakan tugas, berangkat tugas, dan pulang untuk evaluasi. Jangan lupa pula di rumah ada seseorang yang menunggu kedatangan kita.
LIDING DONGENG
Adalah seorang laki-laki tua dari desa yang kalau datang ke rumah, ibu saya selalu memberi pekerjaan bersih-bersih. Hebatnya ia selalu bicara krama inggil dengan ibu, tetapi dengan saya ia menggunakan krama madya atau bahkan ngoko. Ilmu kejawennya tinggi dalam pandangan saya yang kala itu (1970an awal) masih mahasiswa.
Sambil duduk di lantai teras ia berceritera tentang “wisma” scara awam: “Sampeyan yen pun cekel gawe apa maneh wis duwe anak bojo kudu duwe omah dhewe, papan kanggo mulih. Aja nganti nunut wong tuwa. Ora ana satriya ngulandara kleyang kabur kanginan, ora duwe papan padunungan. Boten enten satriya nanging luwih aji godhong jati aking” (IwMM)
Disamping itu rumah juga berarti pangkalan atau kantor, tempat kita merencanakan sumberdaya dan langkah-langkah yang akan dilakukan. Dari pangkalan kita bergerak melaksanakan kegiatan dan harus pulang untuk melakukan evaluasi kinerja, selanjutnya melakukan perencanaan lagi, kalau perlu melakukan “re-programming” untuk berangkat lagi meneruskan “netepi laku” ksatrianya.
Ringkasnya harus ada rumah untuk pulang. Rumah untuk pergi, pulang dan pergi lagi. Bukan pergi, pergi dan pergi terus karena rumahnya tidak jelas. Pahlawan Indian kita, Winetou ternyata lebih tahu. Secara periodik ia selalu pulang ke “wigwam”nya. Sementara don Quixote yang tidak pulang-pulang tahu-tahu sampai dengan sendirinya ke rumahnya di desa “la Mancha” dalam keadaan “exhausted”. Ia tidak mampu pergi lagi dan meninggal di rumah. Episode panjang petualangannya pun berakhir tidak enak.
Itulah rumah, tempat kita meningkatkan kesehatan, merencanakan tugas, berangkat tugas, dan pulang untuk evaluasi. Jangan lupa pula di rumah ada seseorang yang menunggu kedatangan kita.
LIDING DONGENG
Adalah seorang laki-laki tua dari desa yang kalau datang ke rumah, ibu saya selalu memberi pekerjaan bersih-bersih. Hebatnya ia selalu bicara krama inggil dengan ibu, tetapi dengan saya ia menggunakan krama madya atau bahkan ngoko. Ilmu kejawennya tinggi dalam pandangan saya yang kala itu (1970an awal) masih mahasiswa.
Sambil duduk di lantai teras ia berceritera tentang “wisma” scara awam: “Sampeyan yen pun cekel gawe apa maneh wis duwe anak bojo kudu duwe omah dhewe, papan kanggo mulih. Aja nganti nunut wong tuwa. Ora ana satriya ngulandara kleyang kabur kanginan, ora duwe papan padunungan. Boten enten satriya nanging luwih aji godhong jati aking” (IwMM)
No comments:
Post a Comment