Melanjutkan
tulisan ORANG YANG “BEGJA” DAN “TAMBAH KEPENAK” DALAM PARIBASAN JAWA (1) dimana kita bahas A. KABEGJAN
(KEBERUNTUNGAN) YANG LANGKA,
maka pada tulisan ini kita lanjutkan ke:
B. UKURAN KEBERUNTUNGAN
Semua
tentu ada ukurannya. Dulu kita sering menggambarkan ukuran besar dengan “sak gajah abuh”. Gajah mewakili
binatang yang sangat besar, masih ditambah abuh (bengkak). Ada lagi yang
mengatakan “Sak hohah”. Seberapa
besarkah “sak hohah” itu? Pokoknya gede banget sehingga dalam kamus pun sampai
tidak bisa dimuat.
Dalam
paribasan Jawa ukuran keberuntungan diwakili dengan kata KEJUGRUGAN
(keruntuhan), KEBANJIRAN dan NYANDHUNG (tersandung). Kejugrugan, Kebanjiran dan
Nyandhung apa, tentunya harus barang yang baik.
Kita
kenal (1) KEJUGRUGAN GUNUNG MENYAN,
(2) KEJUGRUGAN GUNUNG KEMBANG, (3) KEBANJIRAN SEGARA MADU dan (4) NYANDHUNG CEPAKA SAWAKUL.
Keterangan
Menyan:
kemenyan; Segara: Lautan; Wakul: Bakul kecil tempat nasi. Biasanya dibuat dari
anyaman bambu.
Cepaka
ada dua pengertian: Yang pertama adalah “bunga cempaka” sehingga “cepaka
sawakul” adalah bunga cempaka sebanyak satu wakul. Sedangkan yang kedua adalah
Barang-barang perak seperti mangkuk, bokor dan sejenisnya. Dalam hal ini
pengertiannya adalah barang-barang kerajinan (seperti disebutkan di atas) yang
ukuran besarnya satu bakul
C SUDAH ENAK TAMBAH ENAK
Siapa
yang tidak ingin? Sudah hidup enak, masih ditambah enaknya sehingga semakin
kepenak saja. Di bawah adalah tiga paribasan terkait yang dapat saya
inventarisir
1. ENDHAS GUNDHUL DIKEPETI
Endhas:
Kepala (Salah satu pisuhan atau makian Jawa adalah: ENDHASMU); Gundhul
mempunyai dua arti: Pertama adalah “kepala” (Salah satu pisuhan atau makian
Jawa adalah: GUNDHULMU); Sedangkan yang kedua berarti rambut yang dicukur
plonthos. Jadi pengertian “endhas gundhul” adalah kepala yang tidak berambut.
Kepala
gundul itu enak (Jangan dikaitkan dengan demonstran yang rame-rame menggunduli
kepalanya). Setidak-tidaknya dalam bahasa Jawa orang gundul dikatakan “isis”.
Endhas
Gundhul juga tidak gatal karena tidak ada kutu maupun ketombe. Cuplikan
geguritan dalam sesorah Ki Dwijawiyata (Yogyakarta, 1937) ini dapat dijadikan
rujukan:
Prayoga
ambuwang rema; bisa ngilangake tuma; bara-bara arang lara; tur sarigak kaya
Lônda
Terjemahan:
Lebih baik membuang rambut; bisa
menghilangkan kutu; juga jarang sakit; dan sarigak (maksudnya: sigrak, serba
cekatan) seperti belanda (geguritan ini produk tahun 1937 sehingga belanda
dijadikan contoh)
Jadi
“endhas gundhul” yang sudah enak karena isis dan tidak gatal ini masih ditambah
dengan “dikepeti” (kepet: kipas; dikepeti: dikipasi). Bayangkan uuuenaknya.
Contohnya silakan dicari sendiri.
2. TURU KASUR DIKEBUTI
Pengertiannya
sama dengan “endhas gundhul dikepeti”di atas. Dikebuti sama dengan dikipasi.
Alat yang dipakai untuk kebut-kebut tentu ukurannya lebih besar dari kipas.
Jadi semakin isis saja. Tidur di kasur pasti enak (jaman dulu belum banyak
orang tidur di atas kasur). Jaman sekarang kita hari-hari tidur di kasur yang
nyaman. Orang masuk diklat saja bisa mengeluh karena kasurnya tidak nyaman, apalagi
masuk penjara.
3. MUBRA-MUBRU BLABUR MADU.
Mubra-mubru:
serba kecukupan. Dalam hal ini sudah serba cukup masih “blabur madu” (berlabur
madu). Bayangkan enaknya.
LIDING DONGENG
Orang
beruntung dan kenikmatannya selau ditambah, semuanya adalah nikmat Allah yang
harus disyukuri. Mereka umumnya berkecukupan bahkan kaya. Dan orang seperti itu
memang ada. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang tahu mensyukuri nikmat
Allah dan melaksanakan perintah-perintahNya.
Kebalikan
dari mereka adalah orang yang selalu sial, dapat dibaca pada tulisan Orang-orang sengsara dan apes dalam paribasan Jawa.
Kita
tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan: BEGJA atau CILAKA.
Secara
fisik dalam tulisan Urip, Mangan dan Nyambutgawe, Kartawibawa kurang-lebih menyebutkan: Yen pengin URIP kudu
MANGAN yen pengin MANGAN kudu NYAMBUTGAWE. Jadi jangan Njagakake endhoge si
blorok. Karena si blorok (ayam kampung) belum tentu tiap hari bertelur. Kita
harus bekerja. Karena ORA NYAMBUTGAWE bisa diartikan ORA URIP.
Secara
spiritual, dalam Serat Kalatidha,
R.Ngabehi Ranggawarsita menyebutkan: Sakbegja-begjane wong kang lali, isih
begja wong kang eling lan waspada. ELING (ingat) kepada siapa? Kepada Allah SWT
dengan beribadah dan melaksanakan perintah-perintahNya. WASPADA terhadap siapa?
Waspada terhadap manusia dan kehidupan manusia.
No comments:
Post a Comment