Perilaku
berbahasa Jawa (solah muna-muni) bagi
orang Jawa dalam pergaulan Jawa yang masih kental jawanya, memang seharusnya
menggunakan “basa basuki”. Pengertian lebih mendalam dari “basa basuki” adalah
penguasaan bahasa yang baik dan benar. Tidak semua kata yang bergandengan
seperti dalam tulisan Kata majemuk (1): Banyak yang punya mana filosofi, jangan dibolak-balik penggunaannya (dan dua tulisan berikutnya) punya makna filosofis.
Banyak juga yang memang sudah begitu gandengannya.
Sebagai
contoh kata “Lanang wedok” (laki-laki
perempuan) seyogyanya jangan dibalik menjadi “wedok
lanang”. Yang tahu menjadi tidak sreg karena ada makna dibalik kata, yaitu
laki-laki lebih kuasa daripada perempuan. Sampai menjadi “kaki-kaki dan nini-nini”
pun jangan dibalik menjadi “nini-nini
dan kaki-kaki” karena biar sudah
menjadi “kaki-kaki” (laki-laki tua
renta) konon masih lebih heboh daripada “nini-nini”
(perempuan tua renta). Tetapi kalau kita mengatakan “jaka prawan” (jejaka dan gadis) maka gandengannya memang demikian
adanya dan tidak perlu dicari-cari maknanya karena memang tidak ada. Bolehlah
kalau ada yang “ngeyel” bahwa jejaka kan laki-laki sehingga disebut duluan,
karena bakalan lebih kuasa. Tetapi mohon maaf, kita tidak bicara “kelak
bagaimana”, kita bicara saat ini kondisinya adalah “jaka” dan “prawan” yang
dalam pergaulan muda-mudi tidak kelihatan siapa yang lebih kuasa.
Contoh
“gandhenging basa” yang tidak menyimpan makna filosofis banyak pada bumbu
dapur, misalnya pete jengkol, pete rese,
dll
BAGAIMANA
RUMUSNYA?
Sampai
disini Darman menginterupsi: “Rumusnya gimana, Mas. Bahwa sebuah kata
bergandengan tidak menyembunyikan makna?”. Darman memang selalu eksak dalam
berpikir. “Bahasa kok mau dimatematiskan, apalagi bahasa Jawa”, pikir saya
dalam hati.
“Ya
nggak ada Man, rumusnya. Tapi saya punya patokan sederhana. Ada dua langkah. Pertama,
kalau diothak-athik tidak gathuk, berarti memang sekedar
bergandengan saja. Kedua, kalau sudah tidak gathuk,
jangan terlalu digathuk-gathukkan.
Semua akhirnya akan gathuk kalau
terlalu digathuk-gathukkan” (othak athik gathuk: dikutak-katik terkait)
DAFTAR
KATA MAJEMUK YANG MEMANG “GANDHENGING TEMBUNG”
Adalah
kelebihan Darman, ia selalu ingin menyerap pengetahuan sebanyak-banyaknya. Ia
minta daftar kata bergandengan yang memang bergandengan tetapi tidak menyimpan
makna filosofis. Untuk yang ini kebetulan “vocabulary” saya tidak terlalu
banyak. Pernah saya baca di Serat Warnasari, disitu Ki Padmasusastra juga
menyebut “sawetara” (beberapa) itupun banyak yang sudah tidak saya kenal.
Daftar
di bawah adalah contoh kata majemuk yang memang sudah merupakan gandengannya.
Tidak perlu dicari apakah apa makna yang tersirat dibalik kata yang terucap.
BUMBU
DAPUR DAN JAMU
Bila
kita pergi ke pasar tradisional (yang asli tradisional), atau ke dapur (yang
asli dapur Jawa, bukan restoran dapur Jawa di metropolis) kata-kata ini sering
kita dengar:
Bendha
laos; botor kêdhawung; brambang lempuyang; brambang bawang; dringo bêngle; gula
asêm; jae sunthi; kêmbang borèh; kluwak kêmiri; kunir asêm; kunir ênjêt; salam
laos; slèdri kapri; slèdri prèi; sunthi kêncur; tumbar jintên;tumbar trawas;
cabe cêngkèh; cabe lêmpuyang
MAKANAN
MINUMAN TERMASUK KINANG DAN ROKOK
Bongko
pelas; gula bubuk; Gambir bako; gambir jambe; gula tèh; jadah jênang; jambe
suruh; jambu jêruk; kinang rokok; kobis boncis; kupat gudhêg; ladha pindhang; lêgi
gurih; tape êmpog; Uwi gêmbili kimpul
LAIN-LAIN
Dom
bolah; godhong kayu; jaka prawan; lor kidul; padhas pèrèng; purwa duksina
(utara selatan); wetan kulon; padhang hawa; pèn mangsèn; pinggir têngah; rajabrana;
sabuk klambi; wiwitan lan wêkasan; tai uyuh; tapih kêmbên; tukar padu
PENUTUP
Bicara
menggunakan bahasa Jawa sebenarnya gampang. Tetapi pemahaman bahasa Jawa memang
tidak segampang itu. Sebagai contoh kita mengatakan “Uwi gembili” memang padanannya begitu dan tidak menyimpan makna
apa-apa selain eksistensi dari uwi dan gembili.
Di
tempat lain, sama-sama pala kependhem, kata kentang
dan kimpul mempunyai makna lain di luar makna filosofis. Mohon dibandingkan
dua kalimat dibawah:
1. Suguhan pala kependhem-nya (umbi-umbian) komplit, Mas. Uwi, gembili, kimpul ada semua
2. Wong
ora ngerti kenthang kimpule
sing dibahas kok interupsi.
Mengapa
kentang disebut dahulu sebelum kimpul tidak ada analisisnya. Keduanya sama-sama
pala kependhem. Sesuai patokan kedua yang telah disebutkan di atas: Kalau sudah
tidak gathuk jangan terlalu digathuk-gathukkan. Sebaiknya kita berhenti sampai
di titik ini. Salah-salah nanti keluar jawaban bahwa kentang didahulukan karena
kentang adalah tanaman yang berasal dari luar negeri.
“Kalau
ARUM JAMBAN masuk yang mana, Mas?” Darman melanjutkan pertanyaannya.
“Wah
kalau yang itu, ibarat sebuah tulisan, bukan ganti alinea tetapi ganti bab
baru. Masuk di SANEPA. Kita bahas lain kali saja.
Dilanjutkan
ke SANEPA: MEMBANDINGKAN SECARA TERBALIK (1)
1 comment:
permisi, maaf sebelumnya pak,
bapak punya buku tentang kata majemuk bahasa jawa tidak?
biasanya buku kata majemuk bahasa jawa itu atas karangan siapa?
terima kasih
Post a Comment