A. WARIH
“Warih” adalah dasanama (sinonim) dari “banyu”.
1. Ngangsu
apikulan warih”. “Ngangsu” adalah
menimba. Kata menimba selalu dikaitkan dengan ilmu. Jadi kalau kita menimba
sudah membawa air (warih), artinya kita menuntut ilmu (ngangsu kawruh) sudah
membawa bekal dasar-dasar ilmu tersebut. Kalau sudah punya dasar-dasar ilmunya
tentu tidak akan kesulitan menyerap ajaran-ajaran yang akan diberikan.
2. Angin silem ing warih: Angin menyelam
di air. Berbuat buruk dengan sembunyi-sembunyi
B. TIRTA
“Tirta” juga dasanama air. Kata “Tirta”
umumnya digunakan untuk sesuatu yang yang dianggap suci
1. Tirta
perwita sari: Air
yang digunakan untuk siraman calon pengantin dalam adat Jawa. Diambil dari
tujuh sumber yang berbeda
2. Tirta
amreta: Air yang menyebabkan
tidak bisa mati (A: Tidak; Mreta: Mati). Para dewa dalam dunia pewayangan konon
tidak bisa mati karena sudah meminum tirta amreta ini. Dalam konteks sekarang
mungkin air yang tidak terkontaminasi kuman adalah “tirta amreta” Sering juga
disebut “amerta”. Bukannya yang minum terus tidak bisa mati tetapi terhindar
dari penyakit-penyakit yang ditularkan melalui air. Seperti tifus, kolera,dll.
3. Tirta
candra geni raditya:
Gambaran pengadilan yang adil, tidak berat sebelah. Tegak rata seperti “tirta” (air). Cara menanyai halus
seperti “Candra” (rembulan).
Menjatuhkan vonis tegas seperti “geni”
(api). Memeriksanya terang terbuka seperti “Raditya”
(matahari)
C. SAGARA
“Sagara” adalah lautan. Umumnya menggambarkan sesuatu yang besar atau luas
1. Jembar
sagarane: Luas
lautannya. Menggambarkan seorang yang pemaaf, lapang dada
2. Rupak
sagarane: Rupak
adalah sempit. Kebalikan dari “jembar sagarane” maka orang yang “rupak
sagarane” adalah orang yang tidak mudah memberi maaf kesalahan orang lain
3. Ati
sagara: Hampir mirip
dengan “jembar sagarane”, orang yang berhati seperti lautan, berarti daya
tampungnya besar. Ia adalah orang yang pandai ”momong” perasaan orang banyak.
Orang yang akomodatif.
4. Uyah
kecemplung sagara:
Laut airnya sudah asin, dimasuki garam. Gambaran memberi sesuatu pada orang
kaya. Ungkapan serupa adalah “Nguyahi segara”
D. SUMUR
Sumur
adalah sumber air. Sehingga kata sumur digunakan untuk menggambarkan seseorang
yang merupakan narasumber. Bisa ilmu, pertolongan bahkan pemberitaan.
1. Sumur
lumaku tinimba: Ini
ceritera sumur yang bisa berjalan, kemudian sepanjang jalan ditimba airnya.
Menggambarkan seseorang yang kemana-mana selalu ditanya untuk minta petunjuk.
2. Sumur
sinaba: Sumur yang
selalu didatangi orang. Tentusaja sumur yang banyak airnya, bukan sumur kering.
Gambaran seseorang yang menjadi tempat tujuan orang lain untuk dimintai
pertolongan.
3. Sumur
gumuling: Kalau sumur
bisa terguling, tentu airnya tumpah. Ini bukan tumpahan rejeki melainkan
tumpahan omongan. Gambaran seseorang yang samasekali tidak bisa menyimpan
rahasia. Sama dengan “anggenthong umos”, genthong yang rembes.
E. GUSKARA
“Guskara”
adalah dasanama “sumur” dalam bahasa Kawi. Sumur (tanpa kata tambahan di
belakangnya) adalah sumber air yang diam. Dalam pengertian airnya tidak
mengalir. Sehingga kalau orang dikatakan “angguskara”
mengibaratkan orang yang yang punya wewenang (khususnya menggugat) tetapi tidak
dilakukan
F. KEDHUNG
“Kedhung”
adalah bagian sungai yang dalam (palung). Sungai di Jawa betapapun besarnya
tentu tidak sebesar dan sedalam airnya seperti sungai di Sumatra atau
Kalimantan. Adanya kedung mempunyai arti khusus.
1. Dhayung
oleh kedhung: Kalau
ketemu palung, tentunya enak untuk mendayung. Menggambarkan seseorang yang
punya rencana kemudian menemukan jalan yang mudah untuk mencapainya.
2. Kedhung
jero kena dijajagi, balik atine wong sapa sing ngerti: Dalamnya palung bisa dijajagi tetapi
siapa yang tahu dalamnya hati.
3. Kali
ilang kedhunge, pasar ilang kumandhange: Kali hilang palungnya dan pasar hilang gemanya. Gambaran
masyarakat yang hidupnya serba susah. Sungai kering dan pasar sepi.
G. GROJOGAN
“Grojogan” adalah air terjun. Ada ungkapan “kriwikan dadi grojogan”. Selokan kecil
berubah jadi air terjun. Menggambarkan perkara kecil berubah menjadi urusan besar.Oleh
sebab itu selesaikan sebelum masalah menggurita.
H. BUN
“Bun” adalah embun. Tetes-tetes lembut air
yang menempel di dedaunan pada pagi hari. Gambaran sesuatu yang kecil dan belum
tentu ada
1. Adhang-adhang
tetesing bun: Mengharapkan
belas kasihan seadanya dan belum pasti dapat.
2. Ngebun-bun
enjang, njejawah sonten:
Ini wangsalan. “Bun enjang” (embun pagi) dasanamanya adalah “awun-awun”
sedangkan “njejawah sonten” (hujan sore-sore) disebut “rarabi”. Maksudnya:
Nyuwun rabi (minta kawin). Mengenai “wangsalan” dapat dilihat pada Menyampaikan pitutur dengan wangsalan (1)
I. UDAN
“Udan”
adalah hujan: Air yang jatuh dari langit secara merata
1. “Udan
tangis” dan “Udan mimis”: sama dengan hujan tangis
dan hujan peluru
3. Perilaku hujan: Orang Jawa memberi
nama khusus. (a) “Udan kethek” adalah
hujan tetapi matahari kelihatan sinarnya (b) “Udan sinemeni” adalah hujan yang belum turun tetapi suara hujan
sudah terdengar karena hujan masih berada di tempat lain (c) “Udan woh” maksudnya hujan yang
butirannya besar (woh: buah). Bisa disertai es (d) “Udan barat” adalah hujan dengan angin
Demikianlah
ungkapan mengenai macam-macam air. Selanjutnya dalam Air dan ungkapan Jawa(3) akan saya sampaikan mengenai perilaku atau sifat air (IwMM)
No comments:
Post a Comment