Beberapa hari yang lalu saya ketemu teman
lama yang hampir 30 tahun tidak jumpa, di ruang tunggu Bandara Adisucipto,
Yogyakarta. Waktunya cukup lama karena kita datang agak awal dan pesawat delay.
Bicara ngalor-ngidul lama-lama sampai ke Serat Wedhatama dan Wulangreh. Ada
pertanyaan dari teman saya yang intinya adalah: “Dalam Serat Wedhatama dan
Serat Wulangreh, Sunan Pakubuwana IV dan KGPAA Mangkunegara IV berbicara
sebagai siapa? Seorang Bapak atau seorang Raja?
Saya agak ragu menjawabnya. Teman yang satu
ini dulu terkenal suka eyel-eyelan dan eyelannya selalu “evidence base”,
berbasis bukti. Kalau disini penyakit lamanya kambuh, bisa-bisa tidak dengar
panggilan naik ke pesawat. Ia melanjutkan kata-katanya: “Gini, Wan. Kalau
beliau bicara sebagai Raja, apa ya diikuti sama rakyatnya. Jaman dulu dan jaman
sekarang rasanya nggak beda. Kalau sekarang Presiden bicara tidak didengarkan,
mestinya dulu raja bicara juga gak direken”.
“Ah, kamu pasti sudah baca kedua Serat itu,
from A to Z. Kan bisa baca bahwa beliau bicara sebagai seorang bapak sekaligus
sebagai orang dituakan yang kebetulan seorang Raja. Tak ada kalimat perintah
disitu. Yang ada hanya teguran dan himbauan.”
Betul dugaan saya bahwa ia butuh bukti. Dia
keluarkan iPad dari tasnya dan membuka file. “Ini, wan. Tembang yang mana yang
bicara itu. Boarding masih setengah jam dan aku tidak akan ngeyel kali ini”.
SERAT
WEDHATAMA
Jelas sekali bahwa kedua Serat ini adalah
pitutur seorang Bapak kepada anaknya. Serat Wedhatama diawali dengan pupuh
Pangkur, yang pada bait pertama baris pertama dan kedua menyebutkan: “Guna
menghindari (mingkar-mingkur) sifat
angkara, karena keinginan untuk mendidik anak (mardi siwi)”. Maka jelas bahwa tujuan Serat Wedhatama adalah untuk
memberikan pendidikan kepada anak, dan Sri Mangkunegara IV memang senang (karenan) mendidik.
Bila kita lanjutkan ke baris ke 3 dan
seterusnya, disebutkan bahwa pitutur yang diberikan ditata dalam keindahan
sebuah tembang (sinawung rêsmining
kidung) yang amat dihormati (sinuba sinukarta), dalam upaya memperoleh
ilmu yang luhur. Yang di tanah Jawa, agama merupakan “agêming aji” (pegangan tertinggi).
Intinya, pitutur yang merupakan ilmu luhur
tersebut ditata dalam sebuah tembang
indah sehingga yang mempelajari akan senang dan merasa mudah. Dasar dari ilmu
tersebut adalah agama, karena di tanah Jawa, agama adalah yang paling tinggi
dan paling dihormati. Semua karena keinginan dan kesenangan mendidik anak,
supaya terhindar dari sifat angkara.
Lengkapnya pupuh Pangkur bait pertama
tersebut sebagai berikut:
mingkar-mingkuring
angkara | akarana
karênan mardi siwi | sinawung
rêsmining kidung | sinuba sinukarta | mrih krêtarta pakartining ngèlmu luhung | kang tumrap nèng tanah Jawa | agama agêming aji
|| (Serat
Wedhatama, Pangkur: 1)
|
SERAT
WULANGREH
Berbeda dengan Serat Wedhatama, bahwa pitutur
tersebut berasal dari seorang Bapak kepada anak-anaknya pada Serat Wulangreh
kita dapatkan pada pupuh terakhir, yaitu pupuh Girisa, bait ke 1, 21 dan 22.
Pada bait pertama disebutkan: Anak cucu supaya
memperhatikan pitutur si Bapak, jangan ada yang sembrono dengan piwulang orang
tua, pakailah secara lahir dan batin, supaya sentausa dan teguh di hati (tyas, nala).
Intinya: kepada anak cucu supaya
memperhatikan, jangan sembrono, pakailah dan terapkan lahir batin supaya jiwa
sentausa.
Lengkapnya bait pertama pupuh Girisa sebagai
berikut:
anak putu dèn èstokna | warah wuruke si bapa | aja na ingkang sêmbrana | marang wuruke wong tuwa | ing lair batin dèn
bisa | anganggo wuruking bapa | ing tyas
dèn padha santosa | têguhêna jroning nala || Serat Wulangreh, Girisa: 1
|
Pada bait ke 21 dijelaskan mengapa Sri
Pakubuwana IV memberikan pitutur: Saya ini semisal matahari, sudah hampir
tenggelam di sebelah barat. Sudah jauh dari tempat terbitnya. Berapa lama orang
hidup di dunia, umur manusia tidak sampai seratus tahun.
Dapat kita lihat bahwa dalam hal ini Sri
Pakubuwana IV merasa sudah tua. Pitutur harus tinular. Oleh sebab itu Sri
Pakubuwana IV memberikan pitutur. Kita baca bait ke 22 pupuh Girisa: Oleh sebab
itu saya ajarkan kepada semua anak-anakku. Saya tulis dalam sebuah tembang,
supaya semua senang membacanya, serta dapat merasakan ceriteranya. Hapalkan,
jangan bosan, ingatlah baik siang maupun malam.
Lengkapnya bait ke 21 dan 22 pupuh Girisa
adalah sebagai berikut:
21.
wak ingsun upama surya | lingsir kulon wayahira | pêdhak mring surupe uga |
atêbih maring timbulnya | pira lawase nèng dunya | ing kauripaning janma |
môngsa nganti satus warsa | iya umuring manungsa ||
22.
mulane sun muruk marang | kabèhe atmajaningwang | sun tulis sun wèhi têmbang
| darapon padha rahaba | ênggone padha amaca | sarta ngrasakkên carita | aja
bosên dèn apalna | ing rina wêngi elinga ||
Wulangreh,
Girisa: 21-22
|
KESIMPULAN
Jelas sekali bahwa Serat Wedhatama dan Serat
Wulangreh keduanya diarahkan untuk mendidik anak. Sebagai Bapak, kita tidak
perlu ragu-ragu untuk menerapkannya. Pertama, secara umum memang pituturnya
amat baik, dan kedua supaya anak-anak kita tidak kehilangan “raos Jawi”nya.
“Kalau sebagai pimpinan kepada bawahan
bagaimana, Wan?” Dia bertanya bersamaan dengan panggilan kepada penumpang GA
217 tujuan Jakarta untuk naik pesawat.
Saya jawab sambil mengemasi bawaan: “Sepanjang
anak buah masih panggil Bapak kepadamu, do it!”
“Memangnya panggil Oom?”. Dia berikan kartu
nama yang ada alamat emailnya: “Kalau masih belum selesai, kamu email saja, Wan”.
Memang masih ada yang kurang, kami duduk tidak bersebelahan. Disamping waktu
check in tidak bareng, dia duduk di kelas Bisnis sementara saya duduk di kelas
Ekonomi. Di udara saya tulis apa yang masih harus saya sampaikan kepadanya: PITUTUR DALAM SERAT WEDHATAMA DAN SERAT WULANGREH (2): NYREMPET ORANG TUA (IwanMM)
Catatan: Pitutur-pitutur kepada orang muda
dapat dibaca pada link Kawula Muda
1 comment:
Saya kepo², ternyata yang saya cari sudah saya temukan
Post a Comment