Thursday, January 31, 2013

PITUTUR KEPADA PEMBERI PITUTUR (2): PITUTUR TETAP PERLU


Melanjutkan posting Pitutur kepada pemberi pitutur (1): Apakah pitutur perlu? Jawabnya pasti “Perlu”. Kalau tidak diperlukan, mengapa ada begitu banyak buku tentang pitutur, dan pitutur selalu ada pada setiap event kegiatan, misalnya dalam rangkaian acara pernikahan. Demikian pula “Pengarahan” pimpinan selalu ada pada setiap pembukaan acara formal. Bukankah arahan sama saja dengan pitutur?
 
PITUTUR TETAP PERLU
Ki Padmasusastra walaupun mengkritisi masalah pitutur ini, pada akhirnya juga berpendapat bahwa “Pitutur itu perlu. Beliau menulis:
Wong kang ora anggugu piwulang bêcik, iku prasasat nadhahi rubuhe kayu gurda, ngandêle yèn wis anglakoni, apa kowe dhêmên mangkono.
TERJEMAHAN: Orang yang tidak mengindahkan nasihat baik, ibarat ditimpa robohnya pohon beringin (gurda). Dia baru percaya kalau sudah mengalami. Apa kamu mau seperti itu?
 
DIBUTUHKAN KEBERANIAN
Ralph Waldo Emerson (1803-1882), seorang penyair Amerika mengatakan bahwa apapun  yang kita lakukan, butuh keberanian. Selalu ada yang mengatakan bahwa yang kamu katakan adalah salah. Selalu ada tantangan bahwa kritik (kalau pitutur boleh kita samakan dengan kritik) yang kita berikan adalah benar. Untuk ini kita perlu keberanian seorang prajurit. Lengkapnya sebagai berikut:
Whatever you do, you need courage. Whatever course you decide upon, there is always someone to tell you that you are wrong. There are always difficulties arising that tempt you to believe your critics are right. To map out a course of action and follow it to an end requires some of the same courage that a soldier needs. Peace has its victories, but it takes brave men and women to win them.
TIPS UNTUK PEMBERI DAN PENERIMA PITUTUR
Adlai Stevenson II (1900-1965), Gubernur Illonis yang dua kali menjadi kandidat presiden Amerika Serikat mengatakan supaya kita hati-hati dalam memberikan pitutur apalagi kalau kita sendiri tidak menjalani pitutur itu. Lebih baik tidak usah memberikan pitutur. Lengkapnya sebagai berikut: 
We should be careful and discriminating in all the advice we give. We should be especially careful in giving advice that we would not think of following ourselves. Most of all, we ought to avoid giving counsel which we don't follow when it damages those who take us at our word.
Adlai Stevenson masih berumur 12 tahun ketika Serat Madubasa dicetak. Dalam Serat tersebut Ki Padmasusastra menulis:
Pituturing wong tuwa marang wong ênom, sayogya dilakoni, amarga si tuwa wis tau ngalami yèn lakune si ênom mangkana iku nyimpang saka garising bênêr, bakal tumiba marang luput, balik si tuwa ênggone awèh pitutur aja mung saka gampange ngobahake lambe bae, yèn kalakuane dhèk ênom, mangan, nginum, madon, madat sarta main durung dimarèni, sayoga ora pitutur bae, dene wong ênom kang anduwèni watêk kaya watêke wong tuwa, iku musthikaning budi, amêsthi bakal ora kêduwung uripe.
TERJEMAHAN: Orang muda sebaiknya mengindahkan pitutur orang yang lebih tua, karena yang tua pernah mengalami kalau perilaku si muda yang seperti itu menyimpang dari jalan yang benar. Sebaliknya bagi yang tua, dalam memberi pitutur jangan sekedar menggerakkan bibir. Kalau kelakuannya pada masa muda (dalam hal ini diberikan contoh “Ma Lima”) belum dihentikan, sebaiknya tidak usah memberi pitutur. Disisi lain orang muda yang sudah memiliki sifat orang tua (yang baik), budinya laksana permata. Hidupnya tidak bakalan menyesal.
 
LIDING DONGENG
Ternyata untuk memberikan pitutur tidak sekedar dibutuhkan kepandaian mengolah kata. Kredibilitas harus berada di depan didukung keberanian menyampaikan. Saya ingat pimpinan saya dulu mengatakan. Kalian jangan cuma bilang: Ya, Bapak atau siap, bapak saja. Harus berani ngomong Bapak jangan begini, harus begitu.
Di luar forum saya beranikan diri untuk bertanya: hal seperti itu apa namanya bukan memberi pitutur kepada pimpinan, yang dalam etika Jawa rasanya tidak pas? Sambil ketawa beliau mengatakan: "Itu namanya bukan pitutur tetapi saran staf. Pimpinan bisa mendengar, bisa pula mengabaikan".
Yang jelas, kepada siapapun kita bertutur, Ki Padmasusastra memberikan tiga kata kunci: Menyampaikan sesuatu yang “Temen” (sungguh-sungguh) disampaikan secara “Jujur” dari hati yang “Tulus” (IwMM).

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST