Susur adalah tembakau yang disumpalkan di
mulut dan dikulum pelan-pelan, umumnya dipakai sebagai penutup makan sirih.
Kebanyakan yang nyusur adalah ibu-ibu atau nenek-nenek. Dewasa ini sudah jarang
kita melihat wanita “nyusur” walaupun di desa sekalipun. Susur mungkin tidak
lama lagi tinggal kenangan. Kalau orang ditanya tentang susur, maka banyak yang
mengatakan “O itu mbah putri saya dulu nyusur”.
Konon kata yang empunya ceritera, terjadilah
perdebatan antara sirih, pinang, gambir, kapur dan tembakau. Semua mengatakan
dirinya yang paling hebat. Terakhir tembakau mengatakan: “Tidak ada yang lebih
hebat daripada aku. Tanpa aku, nginang (makan sirih) mu tidak sempurna”. Hampir
tembakau menang kalau tidak keburu dilerai Batara Guru, bahwa semuanya adalah
tim yang “All for one, one for all”. Tanpa keberadaan salah satu, maknanya pun
hilang. Demikian pernah saya tulis dalam Bekerja dalam tim: Tuladha dari “kinang”
Saya teringat posting lama tersebut ketika
teman saya, dr. Toto Andriono, SpA memposting di wall Facebook gambar wanita
nyusur yang ada di samping. Entah beliau ambil dari mana, langsung saya minta.
Susur yang di Jawa Timur sebelah barat, dari Blitar sampai Pacitan disebut “jegul” kelihatannya tidak lama lagi hilang dari
peredaran. Sisi baiknya kalau kita kaitkan dengan bahaya tembakau. Sisi
buruknya tidak ada, kecuali kisah-kisah tentang susur bisa-bisa ikut ditelan
jaman. Saya coba gali dari kelompok FaceBook Nguri-uri Basa Jawa, ternyata
betul, banyak kisah menarik dari susur.
SUSUR
DAN CANGKRIMAN
Orang Jawa suka cangkriman. Dua dari tulisan
saya tentang cangkriman sampai sekarang kurang lebih satu tahun, tetap menduduki
10 besar dalam posting terbanyak dibaca. Cangkriman Jawa selalu bersumber
dari hal-hal yang akrab dengan kehidupan, dan cangkriman yang berkaitan dengan “susur”
ternyata cukup banyak.
dalam Cangkriman: Kumpulan (Maret: 2012) baru satu tentang susur yang saya tulis, yaitu “Surlespenen” (Susur teles pepenen).
Terjemahan Indonesianya: Susur basah jemurlah. Memang susur kalau sudah lama
diisap-isap dan terlalu basah oleh ludah, sering dijemur untuk nanti diisap
lagi. Di bawah adalah Cangkriman berbau "susur" lainnya, umumnya cangkriman wancahan (akronim) dan tidak melanggar kaidah (menggunakan suku kata terakhir).
1. Surdhegwer: Susur neng gedheg
pating klewer (Dulu biasanya susur yang mau dipakai ulang dislempitikan di celah-celah
bambu penjepit dinding gedheg. Ada untungnya karena menjadi tidak gampang kabur
ditiup angin. Tetapi ya tetap pating klewer).
2. Surdhegwerweren: Susur neng gedheg
ewer-eweren (Hampir sama dengan di atas, bedanya yang di atas iris-irisan
tembakau susurnya pating klewer dengan sendirinya, yang ini kita yang aktif
mengewer-ewer)
3. Surdhegtasen: Susur neng gedheg
entasen (Ngentas: mengambil sesuatu yang selesai dijemur. Celah-celah dinding
gedheg memang tempat yang paling strategis untuk menjemur susur).
4. Suritjopih: Susur pahit aja
dilepih (susur pahit jangan diludahkan. Susur memang pahit. Tapi justru
pahitnya itu yang enak, katanya. Jadi jangan “dilepih” atau dibuang dari
mulut).
5. Surmbahlangsu: (Susure simbah
dianggo mbalang asu. Susurnya simbah dipakai melempar anjing. Kalau yang ditanya
agak “lemot” si pelontar akan memberi petunjuk dengan menambahkan kata “kaing-kaing”)
6.
Surmbahdirabon: (Susure simbah
dikira abon. Abon bikinan rumah jaman dulu tidak halus dan lembut seperti
sekarang. Mirip-mirip empal yang disuwir-suwir dan warnanya coklat kehitaman).
Ada satu lagi cangkriman yaitu “Susur gumantung”. Orang Jawa
menyebut buah-buahan yang di atas tanah sebagai “pala gumantung” sedang yang
tertanam di dalam tanah (sebenarnya bukan buah tetapi umbi-umbian) sebagai pala
kependhem). Jadi kalau dikatakan “susur gumantung” jawabannya tidak lari
jauh-jauh dari buah-buahan: Rambutan.
DIPAKAI
MEROKOK
Namanya juga tembakau, mestinya bisa dipakai
merokok juga. Pernah terjadi seorang bapak yang perokok kehabisan rokok, mau beli
sudah kemalaman. Kebetulan isterinya “nyusur” dan tidak keberatan kalau
suaminya nempil sedikit untuk merokok. Bukannya si bapak tenggang-rasa sehingga
minta “mbako susur” yang sudah beberapa kali diisap-jemur. “Mbako susur itu
keras sekali. Daripada mabok, si bapak minta yang bekas kunyah-kulum
saja.
Anak-anak kecil jaman dulu yang mau coba-coba
merokok tentu kesulitan mencuri tembakau bapaknya. Yang paling mudah adalah
mencuri susur neneknya. Kalau ketahuan sama saja dimarahinya: “Awas nanti saya
suruh minum jamu dubang”. (dubang: ludah berwarna merah karena nginang dan
nyusur)
INTERVENSI KE MAKANAN
Karena susur bisa diletakkan dimana-mana,
jaman dulu banyak juga nenek-nenek lupa menaruh susurnya dimana. Salah satu
filem lama almarhum Benyamin S kalau tidak salah juga ada yang menampilkan
episod ini. Si nenek kehilangan susur, cari punya cari ternyata masuk ke dalam
minuman Benyamin.
Yang namanya makanan, kemasukan rambut saja
bisa membuat kita hilang selera. Pada jaman masih banyak wanita “nyusur” bukan
barang aneh kalau “susur” mengkontaminasi makanan. Bisa tidak kelihatan, bisa
kelihatan. Ada susur nyasar di jadah (juadah), ini mudah kelihatan. Tapi ada
seorang bapak ngamuk waktu di warung makan gudheg karena ada susur di dalamnya.
Kok awas betul beliau. Mungkin gumpalan susur.
PARIBASAN
Tidak begitu umum, kemungkinan bersifat
lokal, tetapi dapat dipahami oleh orang yang mengerti bagaimana caranya orang
nyusur”. Seorang anak minta uang kepada bapaknya, tetapi tidak dikasih, katanya:
“Kowe ki kok kaya ora ngerti umete susur”.
Apakah yang dimaksud dengan “umete susur?” Kita
kembali ke perilaku “nyusur” sebagai penutup “nginang”. “Susur” selain
diisap-isap juga akan selalu digerak-gerakkan memutari mulut. “Susur” sebagai
penutup “nginang” mendapat tugas membersihkan sisa-sisa kinang (kapur, jambe,
pinang dan sirih). Jadi “Ora ngerti umete susur” maksudnya tidak
mengerti situasi bagaimana susahnya orang mencari uang (kalau dikaitkan dengan
minta uang).
PENUTUP
Susur sudah tidak begitu dikenal saat ini.
Tetapi nama susur masih diabadikan di tempat lain. Kita kenal “tahu susur” yang
maksudnya sama dengan tahu isi, tahu berontak, tahu bunting, tahu buntel dan
mungkin masih banyak lagi.
Matur nuwun dumateng para kadang sutresna
Nguri-uri Basa Jawa. Seratan radi panjang punika saking sumbangsih panjenengan
sadaya.
Seorang teman pembela susur mengatakan:
Karena orang “nyusur” sudah tidak ada lagi, maka tidak heran sekarang banyak orang yang suka “nyosor”
dan “nyasar”. Wah, ya jangan gitu. Jadi orang mbok ya yang sabar. (IwMM)
1 comment:
Selamat siang salam bloger.
bapak ada buku tentang susur dan ke budayaan jawa ?
terimakasih
Post a Comment