Melanjutkan
tulisan Bungah lan susah (3): Menanam “karep” panen “bungah” dan “susah” sampailah dokar yang dinaiki Baskara dan Sadrana di depan rumah sederhana
Sadrana Melihat dokar berhenti di depan
rumahnya, seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh keluar. Ia heran melihat
suaminya turun dari dokar. Lebih heran lagi ``ketika mengamati sosok laki-laki
tampan empatpuluhan yang menyertai. “Panjenengan ...... Ndara Baskara?” tanyanya ragu-ragu.
MBOK SADRANA
“Betul Mbok, kok tahu saya?”
Mbok Sadrana mau jongkok, tetapi dicegah Baskara. (Jongkok adalah perilaku orang Jawa dulu untuk menghormati orang yang lebih tinggi). “Saya pernah diajak teman bantu masak waktu ada hajatan di rumah panjenengan. Malah setelah selesai, saya diparingi kain sama ndara putri”
“Den Baskara mau menginap di rumah kita, mbokne”, sambung Sadrana. Tentusaja mbok Sadrana “njondhil”. (njondhil: terjingkat kaget)
“Gubuk kami seperti ini, apa pantas ndoro?”
Baskara menjelaskan tak ada masalah baginya. Kalau pak Sadrana dan mbok Sadrana bisa tidur disitu, dia juga bisa. Ambin di depan bisa dia pakai tidur. Untuk makan malam, di dokar ada perbekalan yang disiapkan isterinya. Dengan rendah hati ia meminta mbok Sadrana menerima sejumlah uang untuk beli kebutuhan yang diperlukan. Pak Jadipa, sais dokar, disuruh pulang, ia diminta kembali besok pagi-pagi.
Beruntung Sadrana punya sumur sendiri yang agung airnya. Dilengkapi bilik mandi, walaupun tidak ada kakus. Beberapa orang tetangga terlihat menimba air di sumur itu. “Kami hanya bisa berbagi air”, kata mbok Sadrana waktu ditanya Baskara. Menambah keyakinan Baskara bahwa mbok Sadrana juga mempunyai hati semulia suaminya.
UKURAN BUNGAH DAN SUSAH
Malam itu mereka bertiga duduk di lincak depan rumah. Ada wedang jahe dan pisang goreng disediakan. Baskara yang datang mau “ngangsu kawruh” melontarkan pertanyaan: “Bungah itu seperti apa?” ia sadar pertanyaan ini terlalu sulit untuk dijawab. Sudah ia diduga, mbok Sadrana yang menjawab. Wanita setengah tua ini memang tampak cerdas, sebagai bakul di pasar, dan sering ikut buruh kemana-mana, pergaulannya pasti lebih luas dibandingkan Sadrana yang ngarit dan sendirian.
“Tidak gampang menjawab itu ndara. Bungah dan susah selalu bergantian. Saya bungah ndoro kersa nginap disini. Tapi berganti susah karena tidak mampu memberi layanan yang baik. Kemudian saya bungah lagi ketika ndara ternyata bisa manjing ajur ajer dengan wong cilik”
“Tapi seperti apa. Apa beda antara bungah saya dengan bungah pak Sadrana, misalnya” Baskara melanjutkan pertanyaannya. Ia sadar pertanyaannya tolol karena mbok Sadrana tidak pernah merasakan jadi orang kaya. Tapi mbok Sadrana bisa menjawab dengan baik,
“Menurut saya, sama saja. Yang namanya bungah maupun susah, biar raja atau kere sama rasa lan suwene bungah (rasa dan lama bungahnya)”. Mbok Sadrana terdiam sejenak. “Tetapi ada bedanya juga .....” ia ragu-ragu melanjutkan kata-katanya.
“Teruskan mbok ...” pinta Baskara
Mbok Sadrana melanjutkan: “yang beda tuntutannya. Maksudnya, tuntutan apa yang dibungahi dan apa yang disusahi”.
Mbok Sadrana memberi contoh bungah dan susah dengan mengambil orang dan peristiwa yang ada di sekitar kehidupannya, sebagai berikut:
MBOK SADRANA
“Betul Mbok, kok tahu saya?”
Mbok Sadrana mau jongkok, tetapi dicegah Baskara. (Jongkok adalah perilaku orang Jawa dulu untuk menghormati orang yang lebih tinggi). “Saya pernah diajak teman bantu masak waktu ada hajatan di rumah panjenengan. Malah setelah selesai, saya diparingi kain sama ndara putri”
“Den Baskara mau menginap di rumah kita, mbokne”, sambung Sadrana. Tentusaja mbok Sadrana “njondhil”. (njondhil: terjingkat kaget)
“Gubuk kami seperti ini, apa pantas ndoro?”
Baskara menjelaskan tak ada masalah baginya. Kalau pak Sadrana dan mbok Sadrana bisa tidur disitu, dia juga bisa. Ambin di depan bisa dia pakai tidur. Untuk makan malam, di dokar ada perbekalan yang disiapkan isterinya. Dengan rendah hati ia meminta mbok Sadrana menerima sejumlah uang untuk beli kebutuhan yang diperlukan. Pak Jadipa, sais dokar, disuruh pulang, ia diminta kembali besok pagi-pagi.
Beruntung Sadrana punya sumur sendiri yang agung airnya. Dilengkapi bilik mandi, walaupun tidak ada kakus. Beberapa orang tetangga terlihat menimba air di sumur itu. “Kami hanya bisa berbagi air”, kata mbok Sadrana waktu ditanya Baskara. Menambah keyakinan Baskara bahwa mbok Sadrana juga mempunyai hati semulia suaminya.
UKURAN BUNGAH DAN SUSAH
Malam itu mereka bertiga duduk di lincak depan rumah. Ada wedang jahe dan pisang goreng disediakan. Baskara yang datang mau “ngangsu kawruh” melontarkan pertanyaan: “Bungah itu seperti apa?” ia sadar pertanyaan ini terlalu sulit untuk dijawab. Sudah ia diduga, mbok Sadrana yang menjawab. Wanita setengah tua ini memang tampak cerdas, sebagai bakul di pasar, dan sering ikut buruh kemana-mana, pergaulannya pasti lebih luas dibandingkan Sadrana yang ngarit dan sendirian.
“Tidak gampang menjawab itu ndara. Bungah dan susah selalu bergantian. Saya bungah ndoro kersa nginap disini. Tapi berganti susah karena tidak mampu memberi layanan yang baik. Kemudian saya bungah lagi ketika ndara ternyata bisa manjing ajur ajer dengan wong cilik”
“Tapi seperti apa. Apa beda antara bungah saya dengan bungah pak Sadrana, misalnya” Baskara melanjutkan pertanyaannya. Ia sadar pertanyaannya tolol karena mbok Sadrana tidak pernah merasakan jadi orang kaya. Tapi mbok Sadrana bisa menjawab dengan baik,
“Menurut saya, sama saja. Yang namanya bungah maupun susah, biar raja atau kere sama rasa lan suwene bungah (rasa dan lama bungahnya)”. Mbok Sadrana terdiam sejenak. “Tetapi ada bedanya juga .....” ia ragu-ragu melanjutkan kata-katanya.
“Teruskan mbok ...” pinta Baskara
Mbok Sadrana melanjutkan: “yang beda tuntutannya. Maksudnya, tuntutan apa yang dibungahi dan apa yang disusahi”.
Mbok Sadrana memberi contoh bungah dan susah dengan mengambil orang dan peristiwa yang ada di sekitar kehidupannya, sebagai berikut:
· Buruh
seperti pak Sadrana kalau upahnya naik ya bungah sekali. Kalau dipotong tentu
amat sedih
· Penjual
di pasar seperti saya kalau dagangan laris dan bisa cepat pulang bungahnya
bukan main. Sebaliknya kalau tidak laku akan susah sekali.
· Orang
miskin kalau berkurang miskinnya akan bungah. Kalau tambah miskin makin
nelangsa
· Penipu
kalau berhasil akan amat bungah, kalau ketahuan dan dilaporkan polisi menjadi
sebaliknya.
· Orang
bodoh akan bungah kalau ada yang memberi penerangan
· Orang
pelit kalau bisa ngirit akan bungah. Kalau keluar uang akan susah.
Baskara memotong penjelasan mbok Sadrana. “Lha kalau orang seperti saya ini kira-kira bungahnya apa mbok?”
“Sulit membayangkan untuk orang yang sudah kajen keringan (kaya dan disegani) seperti ndara. Barangkali bungahnya sudah habis, tapi takut dapat susah”.
Jawaban spontan dari mbok Sadrana membuat Baskara terhenyak. “Persis mbok dengan yang saya alami. Lalu apa yang harus saya lakukan supaya saya bungah, mbok?”
LIDING DONGENG
“Ada
tembang Sinom, terkenal, dalam serat Wedhatama, pasti panjenengan tahu. Wong
saya orang dusun yang cobolo (bodoh) juga
tahu. Kisah Panembahan Senapati yang
selalu amemangun karyenak tyasing sesama
(membuat tenteram hati semua orang). Panjenengan sudah membuat Sadrana dan saya
amat bungah, apa panjenengan tidak bungah?”
“Iya,
iya ,, mbok. Ternyata saya bungah kalau bisa membuat orang lain senang. Saya
hanya ingin meyakinkan diri saya saja, bahwa apa yang saya lakukan sudah
benar.” Dalam hati ia berpikir, mbok Sadrana ini bukan orang kebanyakan. Sesuai
peribahasa Jawa, ia ibarat “kencana katon
wingka” (emas berlian yang tampil seperti gerabah), janma tan kena ingina. Di rumah sederhana ini ia menemukan "Bathok bolu isi madu"
Malam
belum terlalu larut, tetapi Baskara sadar bahwa pak dan mbok Sadrana perlu
istirahat. Besok dini hari mbok Sadrana harus ke pasar dan pak Sadrana mencari
rumput untuk ternak Jayeng. Tapi Baskara masih punya pertanyaan satu lagi: kapan
lagi kalau tidak ditanyakan sekarang.
(IwMM)
Dilanjutkan
ke BUNGAH LAN SUSAH (5): DIRUSAK OLEH “MERI” DAN “PAMBEGAN”
No comments:
Post a Comment