Melanjutkan
tulisan Bungah lan Susah (2): “Karep” selalu “mulur” dan “mungkret” rupanya
“karep” sahabat kita yang kaya ini masih punya hasrat untuk “mulur”. bedanya sekarang ini yang mulur adalah “karep” untuk
membantu orang. Bukan “karep” keduniawian untuk kepentingan pribadi. Baru hari ini ia menyadari. bahwa
kebahagiaan yang seharusnya dia kejar adalah “self esteem” atau kepuasan batin.
Menolong orang dan melihat yang ditolong senang adalah kepuasan batin. Ia tidak
akan “mulur-mulur” lagi dalam mencari keduniawian.
KE RUMAH SADRANA
Si orang kaya tadi pagi sudah pamit kepada isterinya, bahwa hari ini mungkin ia pulang malam, atau pulang besok pagi. Ia hanya mengatakan mau mengikuti jejak-jejak “sejatining urip”. Isterinya yang bijak segera menyiapkan perlengkapan yang kira-kira diperlukan. Makanan, minuman dan pakaian ganti. Keluar dari rumah Jayeng, Teman kita yang kaya berkeras untuk mengantar Sadrana pulang naik dokarnya.
“Rumah saya jelek, den Baskara”, kata Sadrana. Ia tidak pernah berani menanyakan namanya. Tapi nama itu lah yang disebut Jayeng, nama orang kaya yang tinggal di desa lain dan kondang berbudi luhur.
“Tapi sampeyan suka tinggal disitu kan, Pak?”
“Remen (senang), remen sanget den”. Jawaban ini tidak mengagetkan Baskara.
Rumah Sadrana kira-kira 1 km dari rumah Jayeng. Pelan-pelan dokar menyusuri jalan desa sesuai petunjuk Sadrana.
“KAREP” BERDAHAN “DRAJAT SEMAT DAN KRAMAT” BERBUAH “BUNGAH DAN SUSAH”
Di perjalanan, Baskara merenungkan kembali pengalaman hidup hari ini. Hidup manusia memang diisi dengan menanam pohon yang namanya “karep”. Batangnya ada tiga: “Drajat, semat dan kramat”. Sedangkan buahnya dua macam: “bungah dan susah”.
KE RUMAH SADRANA
Si orang kaya tadi pagi sudah pamit kepada isterinya, bahwa hari ini mungkin ia pulang malam, atau pulang besok pagi. Ia hanya mengatakan mau mengikuti jejak-jejak “sejatining urip”. Isterinya yang bijak segera menyiapkan perlengkapan yang kira-kira diperlukan. Makanan, minuman dan pakaian ganti. Keluar dari rumah Jayeng, Teman kita yang kaya berkeras untuk mengantar Sadrana pulang naik dokarnya.
“Rumah saya jelek, den Baskara”, kata Sadrana. Ia tidak pernah berani menanyakan namanya. Tapi nama itu lah yang disebut Jayeng, nama orang kaya yang tinggal di desa lain dan kondang berbudi luhur.
“Tapi sampeyan suka tinggal disitu kan, Pak?”
“Remen (senang), remen sanget den”. Jawaban ini tidak mengagetkan Baskara.
Rumah Sadrana kira-kira 1 km dari rumah Jayeng. Pelan-pelan dokar menyusuri jalan desa sesuai petunjuk Sadrana.
“KAREP” BERDAHAN “DRAJAT SEMAT DAN KRAMAT” BERBUAH “BUNGAH DAN SUSAH”
Di perjalanan, Baskara merenungkan kembali pengalaman hidup hari ini. Hidup manusia memang diisi dengan menanam pohon yang namanya “karep”. Batangnya ada tiga: “Drajat, semat dan kramat”. Sedangkan buahnya dua macam: “bungah dan susah”.
1. Drajat: Semula diterima jadi buruh
hatinya sudah senang sekali; lama-lama “mulur” ingin jadi Juragan. Ya, manusia
memang harus meningkatkan hidupnya
2. Semat: Mula-mula diberi upah sedikit
sudah senang sekali. Lama-lama “mulur” ingin kenaikan upah. Atau cari tempat
lain yang upah lebih besar. Tetapi bukankan manusia harus meningkatkan
kesejahteraannya?
3. Kramat: Mula-mula menguasai ternak
sebagai “pangon” (penggembala) sudah senang. Lama-lama ingin punya ternak
sendiri dan menguasai gembalanya. Siapa tahu suatu saat ingin jadi Kepala Desa?
Tetapi apa tidak boleh? Yang penting jangan sewenang-wenang.
Baskara
tersenyum sendiri. Mengejar tiga hal di atas, hasilnya hanya satu diantara dua: "bungah atau susah". Apa yang dia renungkan adalah gambaran Jayeng, bekas
buruhnya yang kini telah mandiri hidup berkecukupan.”Mudah-mudahan Jayeng benar-benar
sadar bahwa hidup itu tidak sendirian dan harus berbagi kepada sesama. Mulur
itu perlu; tapi harus siap memakan buahnya, yang berupa bungah atau susah”.
LIDING DONGENG
Seuntai
kalimat bijak masuk dalam otak Baskara: “Mulur ya mulur ning aja mulur-mulur”.
Dengan rumus itu manusia bisa mengatur “creative tension”nya guna mengendalikan
rasa “bungah dan susah”. Tiba-tiba ia ingin menggali lebih dalam pendapat
Sadrana tentang “bungah dan susah ini”. Ia ingin tahu isteri Sadrana seperti
apa. Tidak mungkin Sadrana menjadi orang yang benar-benar “Sabar Darana” kalau
tidak ada pengaruh dan dukungan isterinya.
“Sampun
dumugi (sudah sampai), Den”. Kata Sadrana ketika dokar berhenti di depan sebuah
rumah sederhana di pinggir desa”.
Dilanjutkan
ke BUNGAH DAN SUSAH (4): TIAP ORANG UKURANNYA TIDAK SAMA
No comments:
Post a Comment