Wednesday, December 14, 2011

TEMBANG DHAYOHE TEKA

Masih anak-anak dulu kalau sedang “kumpul bocah” kemudian belakangan muncul lagi satu teman, bisa saja permainan berhenti sejenak dan kita sambut rame-rame dengan menyanyikan:

Eee dhayohe teka; Eee gelarna klasa; Eee klasane bedhah; Eee tambalen jadah; Eee jadahe mambu; Eee pakakna asu: Eee asune mati; Eee buwangen kali; Eee kaline banjir; Eee kelekna pinggir”.

Terusnya apa lagi? Ingat saya berhenti sampai disini. Kadang-kadang ada yang bisa meneruskan sampai lebih panjang atau memplesetkan, misalnya: “ ... Eee jadahe mambu: Eee panganen dhewe ...” bahkan ada yang lebih konyol lagi. Dulu saya tertawa mendengar orang-orang kreatif yang suka mlintir-mlintir lagu ini. Sekarang saya merasa sayang, karena makna lagu menjadi sirna.

Semula saya pikir tembang ini sekedar tembang dolanan bocah saja, mana nyanyiannya amat sederhana, hampir tanpa nada walaupun ada guru lagunya. Hanya setelah ketemu teman-teman, berdiskusi, dan dasar orang Jawa suka othak-athik kalau bisa gathuk maka semua akan mathuk, tenyata ada juga piwulang (pelajaran) di dalamnya.

Dalam hal ini ada EMPAT KUBU yang pendapatnya beda walaupun pada akhirnya sampai ke tempat yang sama.

ADA YANG RAWUH: TIGA "UH"

Yang pertama berpendapat bahwa sudah menjadi watak orang Jawa kalau kedatangan tamu rumusnya adalah “tiga UH” yaitu “lungguh, gupuh dan suguh”. Banyak rumah orang Jawa ada tulisan "sugeng rawuh" dalam huruf Jawa di ruang tamunya. Tamu jangan dibiarkan berdiri terlalu lama, segera diaturi lenggah (lungguh). Karena tembang ini tembangnya rakyat jelata ya digelarkan klasa (tikar) sudah hormat sekali. Setelah tamu “lungguh” maka tuan rumah akan “gupuh” (sibuk) untuk menyiapkan “suguh” (suguhan makanan minuman). Dalam tembang ini “gupuh”nya makin menjadi-jadi ketika ternyata tikarnya sudah jebol dan seterusnya.

HARUS SELALU SIAP MENERIMA TAMU

Lalu yang kedua lebih analitik dan antisipatif. Dia melihat ada masalah dengan tikar yang ternyata jebol dengan rentetannya. Mungkin lama tidak ada tamu, tikar tidak pernah digelar. Bahkan jadah pun sudah bau. Intinya tuan rumah kita tidak siap menerima tamu. Bisa juga tuan rumah memang jarang menerima tamu. Tetapi apapun argumentasinya, namanya  tetap tidak siap juga. Dengan demikian tembang ini membawa pesan, bahwa kita harus siap menerima tamu kapan saja. Saya ingat dulu kalau liburan di rumah eyang. Disana selalu ada makanan kecil demikian pula cangkir minum dan piring kue sudah standby. Kala itu eyang ngendika, supaya kalau ada tamu bisa cepat nyuguhi. Kalau tidak ada tamu? Ya nanti pasti ada yang makan, itu jawaban eyang.

TAMU JADI TERLANTAR

Adapun yang ketiga adalah pandangan agak sinis tapi benar. Lalu dhayohnya kan tidak ditemui karena kita menjadi sibuk membuang bangkai anjing di kali yang ternyata banjir. Si tuan rumah adalah orang yang tidak punya visi dan misi. Hidup  tak tentu tujuan, mana yang prioritas mana yang bukan; mulai dari dayoh, klasa, jadah, anjing sampai ke kali banjir. Semua jadi sia-sia kalau hidup tanpa rencana.

APESLAH KITA KALAU TAMUNYA  MALAIKAT PENCABUT NYAWA

Terakhir yang ke empat, mungkin ini pendapat orang yang sudah usia senja. Dhayohnya melambangkan malaikat pencabut nyawa, malaikat Izrail.  Kita harus siap menerima kedatangannya, tapi tidak segampang itu (baca “Tembang Ilir-ilir”). Dalam tembang “Dhayohe teka” ini ketidak-siapan kita digambarkan sebagai “klasa yang bedhah” dan seterusnya. Klasa yang bedhah melambangkan Iman dan taqwa kita masih bolong-bolong; kalau seperti ini, apa ikita ya siap menghadap Al Chaliq?

KESIMPULAN

Empat pendapat ini sebenarnya bisa dirangkum jadi satu: Hidup harus punya visi dan misi jelas, yang ditindak-lanjuti dengan strategi dan langkah-langkah yang operasional. Ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan selalu ada. Kita harus antisipatif, jangan reaktif. menangani masalah sebelum masalah terjadi. Dhayoh bisa siapa saja. Manusia, mulai sanak saudara, sahabat karib sampai penagih hutang. Tapi diingatkan, bisa juga malaikat pencabut nyawa. Begitu sederhana tembangnya tetapi kalau kita mau merenungkan maknanya begitu dalam. Kita harus siap hidup dan siap mati. Makanya saya kurang pas kalau lagu ini dipleset-plesetkan. (IwMM)

1 comment:

Ary oprex said...

Luar biasa...jd ingt m mbah kakung,mbah trsayang yg slalu mensupportku smp jd kya skrg.tp justru d saat kprgian beliau aku g ada dsmpingny.dg nafas ter engah2 dia mlantunkan lagu e dayohe teko.slesai lagu itu beliau cm brkata "MAKNANNO LAGU KUI NGGER..."

Thanks min pnjlsnny😥😥


Most Recent Post


POPULAR POST