Kalau
kita ditanya: “Gambar bunga di sebelah warnanya apa?” Bingung juga menjawabnya.
Apakah kuning, merah, rose atau oranye. Dalam bahasa inggris mungkin akan saya
katakan “yellowish atau reddish flower”. Dalam bahasa Indonesia barangkali
merah kekuningan atau kuning kemerahan bergantung mana yang dominan. Kata
“semu” muncul dalam bahasa Jawa: “abang semu kuning”. Kalau begitu “semu”
berarti sesuatu yang tidak jelas.
Bila
kita membaca Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939 dapat kita temukan kata “disemoni” yang pengertiannya diberi
pitutur dengan kata-kata yang “disamun”.
Pengertian “samun” sendiri salah
satunya adalah “tidak jelas atau tidak kentara” Ada juga kata “pasemon” yang berarti “perlambang atau
pepindhan”. Bila kita mendengar kata “sinamun ing samudana” maka maksudnya
walaupun kita tidak senang atau marah, tutur kata kita harus tetap halus, tanpa
melupakan basa basuki, didukung dengan ekspresi wajah yang tetap lembut dan
teduh.
Semu
dalam khasanah perilaku Jawa lebih banyak mengarah pada tutur kata yang tidak
langsung. Sehingga orang Jawa amat akrab dengan “sanepa, pepindhan, bebasan,
saloka, perlambang dan lain-lain (pada saatnya akan saya posting). Kita berikan
“pasemon” dengan harapan yang “disemoni” dapat menangkap maksudnya.
DARI
MANTRI SAMPAI MENTERI
Tahun
1978 awal saya mendapat penugasan sebagai dokter Inpres di Maluku Utara. Umur
saya 27 tahun dan pak Mantri (perawat) Puskesmas berusia 54 tahun. Persis dua
kali umur saya. Saya pernah kumpulkan pegawai puskesmas dan saya marahi.
Setelah selesai, pak Mantri, yang asli Maluku Utara dan pernah merasakan
sendiri pemboman oleh tentara Amerika waktu ia jadi Heiho di Morotai menemui
saya: Pak Dokter kalau marah jangan seperti orang Jawa. Mereka tidak mengerti”.
Pak Mantri tidak mengerti kata “semu” dan “samudana” tetapi ia dapat merasakan.
Ia kemudian berceritera bagaimana Napoleon Bonaparte kalau sedang marah. Sebenarnya ia
telah menasihati saya secara tidak langsung dengan “pepindhan” yaitu Napoleon.
Lain
lagi ceriteranya dengan Menteri Kesehatan, yang waktu itu dijabat oleh Ibu DR.
dr. Siti Fadilah Supari, SPJP. Beliau mendefinisikan “semu” secara sederhana:
“Kamu harus bisa ngomong itu tanpa mengatakan itu tapi orang tahu maksudmu”.
Beliau juga menambahkan “Pada situasi tertentu”.
Saya
simpulkan sendiri bahwa bicara “semu” harus empan papan juga. Sebagai contoh,
seorang pejabat sebaiknya tidak bicara “semu” bila sedang bicara dihadapan
orang banyak. Apalagi sekarang ini jamannya multitafsir. Yang “tidak semu” saja
tafsirannya macam-macam apalagi yang ”semu”
LIDING
DONGENG
“Semu”
termasuk “basa basuki” dengan tujuan
tidak memberikan ucapan yang menyakitkan. Yang perlu diperhatikan adalah “empan
papan” yang merupakan basa basuki juga. Bicara memang harus hati-hati: Kepada
siapa (Person), kapan (Time) waktunya dan dimana (Place) tempatnya. “Semu”
kelihatannya lebih pas pada suasana informal. (IwMM)
No comments:
Post a Comment