“Wong Jawa panggonane semu”, sehingga orang Jawa dulu kalau memberi pitutur tidak langsung mengatakan: “Jangan .... karena ....” atau “jangan .... nanti ....”. dengan alasan yang jelas.
Banyak “gugon tuhon” yang kalau dikupas dicari logikanya, mengandung kebenaran. Walau ada juga yang memang tidak masuk akal. Saya mulai dengan perlakuan terhadap “bantal”. Bagi orang Jawa kamar tidur dan perlengkapan tidur merupakan barang terhormat, dan perilaku tidur merupakan bagian dari subasita atau tatakrama. Di bawah adalah contoh gugon tuhon tersebut sekaligus reasoningnya, why?
1. AJA
SOK LUNGGUH ING BANTAL MUNDHAK WUDUNEN
Jangan suka duduk di bantal, nanti bisulan.
Karena bisulan itu sakit, maka saya tidak akan berani duduk bertengger di atas
bantal. Jelasnya, bantal adalah pengganjal kepala, sementara kepala bagi orang
Jawa adalah sesuatu yang dihormati. Sebaliknya pantat dianggap kurang
terhormat, demikian pula celana yang kita kenakan tentunya telah dipakai untuk
duduk di berbagai tempat yang belum tentu bersih. Menduduki bantal, disamping
tidak menghormati kepala yang akan pakai bantal itu, walau kepala sendiri, juga
mengotori bantal yang notabene tempat pengganjal kepala. Perlu diingat juga
bahwa hidung dan mulut kita yang juga berfungsi sebagai pintu keluar masuk
penyakit, letaknya juga di kepala.
2. AJA
SOK NEKUK BANTAL, ORA ILOK
Yang ini langsung “ora ilok” untuk yang suka
menekuk bantal. Lha bantal bantal saya sendiri kok tidak boleh ditekuk, ini
jawaban anak yang “ngeyelan”. Alasannya bukan tidak ada kalau ibu atau eyang
putri menegur demikian. Menekuk bantal tujuannya tak lain membuat bantal lebih
tinggi. Dalam pelajaran kesehatan sebenarnya kita juga diajari untuk tidur
tidak menggunakan bantal terlalu tinggi. Kalau terlalu lama tidurnya, dan
posisi kepala tidak berubah, bangun tidur leher bisa kaku dan untuk menoleh
terasa sakit. Orang Jawa menyebut “tengeng” (bahasa kedokteran: torticollis).
Demikian pula orang yang tidur dengan bantal ditekuk (dilipat), karena saluran
napas menjadi tidak lurus, sering tidurnya “ngorok”, hal ini mengganggu teman
sekamar kalau satu kamar digunakan lebih dari satu orang. Masih ada satu
alasan, bantal dilipat meningkatkan risiko kainnya sobek. Kalau kain pembungkus
robek, dan jaman dulu umumnya bantal isinya “kapuk”, maka kapuk akan
berhamburan kemana-mana
3. AJA
SOK TURU NGANGGO BANTAL DHUWUR
Jangan suka tidur dengan bantal tinggi. Sama
dengan butir 2 di atas. Bedanya disini bantal bukan dilipat tetapi ditumpuk.
Jadi menggunakan lebih dari satu bantal. Reasoningnya juga sama, hanya disini
ditambah bahwa orang seperti ini rasa sosialnya kurang besar. Kalau jumlah
bantal terbatas kemudian ia menggunakan dua bantal, dalam bahasa Jawa dikatakan
“ora ngumani kancane”.
4. AJA
SOK TURU BANTAL LAYANG, MUNDHAK KETHUL ATINE
Jangan suka tidur di atas buku (layang), nanti tumpul
perasaannya. Mungkin dulu karena bantal kapuk jumlahnya terbatas, orang bisa
saja menggunakan apa saja untuk alas kepala. Tidur berbantal buku akan
menyebabkan buku cepat rusak, apalagi kalau yang tidur keluar liurnya. Liur
menimbulkan noda dan pembasahan oleh liur, akan mengaburkan huruf-huruf dalam
buku; apalagi buku jaman dulu mutu tintanya juga kurang bagus. Padahal buku
adalah sumber ilmu. Oleh sebab itu dikatakan “akan tumpul perasaannya”
KESIMPULAN
Bantal harus diperlakukan dengan baik.
Demikian pula kita harus menggunakan
bantal yang betul dan dipakai secara benar. Bila hal ini kita lakukan maka
bantal akan awet, kesehatan tidak terganggu, tatakrama pun terjaga (IwMM)
No comments:
Post a Comment