Anak
muda sekarang banyak yang tidak tahu apa itu “emplek-emplek ketepu”. Sebenrnya
adalah makanan kecil jaman dulu yang terbuat dari parutan ketela pohon dan
tepung bekatul (ketepu) kemudian diemplek-emplek lalu dikukus. Ada juga teman yang mengatakan bukan dikukus tetapi dipanggang di atas api. Supaya gurih, cukup diberi garam. Untuk ukuran sekarang mungkin tidak
enak sehingga resep emplek-emplek ketepu jaman sekarang parutan ketela pohonnya
dicampur tepung ketan. Pemanisnya pakai gula merah, “topping”nya kelapa parut.
Mungkin juga diberi “topping” keju atau lainnya yang lebih moderen. Namanya
tetap emplek-emplek ketepu tetapi tanpa “ketepu” (bekatul).
TEMBANG LAMA DARI DESA
Lamun menek aja dha mencit |
Jaman dulu disamping sebagai “nyamikan” sederhana pengganjal perut orang-orang yang bertempat tinggal “adoh ratu cedhak watu” (maksudnya di perifer atau di desa-desa marginal), juga mengenal lagu “emplek-emplek ketepu”. Lagunya amat sederhana tetapi maknanya dalam. Entah siapa yang menulis liriknya. Yang jelas kelihatan sekali bahwa merupakan pitutur dari mereka untuk mereka yang tinggal jauh di sana. Inilah kurang-lebihnya kata-kata yang pernah saya dengar:
Plek-emplek ketepu; Wong lanang goleka kayu; lamun golek aja dha menek; lamun menek aja dha mencit; lamun mencit aja dha tiba; lamun tiba aja nganti lara; lamun lara aja nganti mati.
Terjemahannya:
Plek-emplek ketepu; Laki-laki carilah kayu; kalau cari jangan memanjat; kalau
memanjat jangan tinggi-tinggi; kalau tinggi jangan sampai jatuh; kalau jatuh
jangan sampai sakit; kalau sakit jangan sampai mati.
PITUTUR WONG CILIK YANG
BERMAKNA DALAM
Mengapa
“orang kecil?” Karena kata pembukanya adalah “emplek-emplek ketepu” makanan sederhana yang tidak dikenal orang
kota. Dilanjutkan dengan “wong lanang
goleka kayu”. Maksud sebenarnya adalah laki-laki carilah pekerjaan. Pekerjaan
cari kayu umumnya dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di dekat hutan. Jadi
jelas pesan ini dibuat dalam nuansa kehidupan di “remote area” atau daerah-daerah
yang “adoh ratu cedhak watu” tadi.
Kalimat
berikutnya adalah “lamun golek aja dha
menek”. Jadi cari yang bisa dijangkau dengan mudah saja, tidak usah
memanjat. Pemahamannya kalau bekerja
tidak usah ngaya dan melakukan sesuatu yang berisiko tinggi. Yang penting kita “obah”
(bergerak) dan mendapat hasil secukupnya selanjutnya pulang selamat. Dewasa ini banyak orang yang “ngaya”
mau cari lebih banyak. Perlambangnya dalam lagu ini adalah “menek” (memanjat). Pitutur
pertama disini adalah: Nrima lah dengan apa yang ada. Tidak usah ngaya.
“Menek” (memanjat) memang ada risikonya.
Sehingga dikatakan dalam lagu tersebut: “Lamun
menek aja dha mencit” dan “lamun
mencit aja dha tiba”. Memang dapat dipahami kalau kayu yang berserakan di
bawah tidak ada, mau tidak mau ya harus memanjat. Seorang nelayan kalau laut
sedang ganas ya tidak usah melaut. Seorang pegawai akan mendapat tambahan
penghasilan kalau kerja lembur. Tetapi apa ya harus cari lemburan tiap hari.
Risikonya celaka atau sakit. Maka pesannya: Kalau memanjat jangan
tinggi-tinggi. Kalau toh tinggi jangan sampai jatuh. Pitutur kedua adalah:
Segala sesuatu supaya dipertimbangkan pakai deduga, prayoga, watara dan reringa. Demikian pesan Sri Pakubuwana IV dalam Serat Wulangreh yang disebutkan berlaku untuk semua orang yang masih bernapas.
Selanjutnya
dikatakan: “Lamun tiba ja nganti lara;
lamun lara ja nganti mati”. Kalau jatuh jangan sampai sakit dan kalau sakit
jangan sampai mati. Hasil pertimbangan kita harus diikuti dengan upaya
preventif (pencegahan). Banyak kita lihat pekerja yang pekerjaannya
panjat-memanjat tidak pakai alat pengaman, misalnya tali pengikat. Nelayan
melaut dengan perahu sederhana tanpa bawa pelampung. Pegawai kerja lembur tanpa
diimbangi makan dan istirahat cukup, justru rokoknya tambah banyak. Risikonya
adalah “jatuh” bisa celaka bisa sakit. Kemudian katau terjadi sakit, banyak
yang tidak mempunyai persiapan seandainya terjadi sakit. Misalnya jaminan
kesehatan. Malah dipaksa kerja, dianggapnya sakit ringan-ringan saja. Padahal
sakit berat umumnya diawali gejala ringan yang diabaikan. Adapun pitutur ke
tiga: Sikap hati-hati kita harus didukung dengan tindakan pencegahan yaitu
upaya-upaya supaya tidak menjadi sakit (promotif dan preventif) dan upaya-upaya
pengobatan dan pemulihan (kuratif dan rehabilitatif) kalau sakit.
Dalam ilmu kesehatan moderen kita kenal empat upaya kesehatan menyeluruh yaitu: Promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Empat upaya ini telah diterjemahkan sendiri oleh kawula alit yang bermukim di tempat sulit.
WALJINAH
Sentuhan
lebih moderen diberikan oleh biduanita langgam Jawa senior, Waljinah. Liriknya
nyaris sama. Saya coba mendengarkan dengan saksama melalui youtube, hasilnya
sebagai berikut:
1. Didahului “bawa” dengan sekar Kinanthi
bait pertama, dari Serat Wulangreh sebagai berikut: padha
gulangên ing kalbu | ing sasmita amrih lantip | aja pijêr mangan nendra | ing
kaprawiran dèn kèsthi | pêsunên sariranira | cêgahên dhahar lan guling ||
2. Diberi “senggakan” setiap ganti baris.
Misalnya setelah “wong lanang goleka kayu” disisipi “(ala wayah golek-golek
kayu)2X, o-e-o, golek kayu, o-e o” demikian seterusnya dapat didengarkan
sendiri.
3. Baris terakhir setelah “lamun lara aja nganti mati” ditutup
dengan “lamun mati la aja ditangisi”.
“Lamun
mati aja ditangisi” inilah bukti sikap sabar tawakal bahwa apapun yang kita
lakukan kalau Allah sudah menghendaki maka manusia tidak akan bisa mengubahnya.
Sri Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama pupuh Pocung bait ke 10 dan 11
menyebutkan tentang Triprakarapegangan ksatria Jawa, sebagai berikut:
(10)
basa ngèlmu mupakate lan panêmu | pasahe lan tapa | yèn satriya tanah Jawi |
kuna-kuna kang ginilut tri prakara
||
(11) lila lamun kelangan nora gêgêtun | trima yèn kataman | saksêrik samèng dumadi | tri lêgawa nalôngsa srahing bathara ||
Sehingga
pitutur ke empat yang kita dapatkan adalah: Lila, trima dan legawa, semua milik
Allah dan kepada Allah semata semua akan kembali.
Gending
Emplek-emplek ketepu diiringi suara Waljinah, juga Nyi Tukinem. Ervina juga
menyanyikan ini. Disini Bapak Ibu dapat mendengarkan apa yang disampaikan
Waljinah melalui youtube dari situs Ki Demang sebagai berikut:
EPILOG
Kali
ini saya sedang bersama Ridwan, diskusi tentang makanan dari ketela pohon yang
ada di hadapan kita. Dia menyebut “Luk guluk” sementara saya menamai “Cothot”.
Lalu saya tanya kalau “emplek-emplek ketepu” tahu enggak? Dia mendengarkan cerita saya. Akhirnya dia tanya: “Untuk
jaman sekarang barangkali bisa diartikan kalau kerja gak usah korupsi, kalau
korupsi gak usah banyak-banyak, kalau banyak ......”
Kata-katanya
saya potong: “Filosofinya enggak gitu. Tembang itu dibuat di tempat yang kata
korupsi dan perilaku korup samasekali tidak dikenal. Tembang itu adalah pesan
orang tua kepada anaknya atau mungkin juga pesan istri pada wong lanang, yaitu suaminya. Gak
usah ngaya mas, yang penting kau selamat”. (IwMM)
Dilanjutkan ke: Tembang Emplek-emplek Ketepu (2): Tetap memberi pitutur walau jaman sudah berubah
Dilanjutkan ke: Tembang Emplek-emplek Ketepu (2): Tetap memberi pitutur walau jaman sudah berubah
No comments:
Post a Comment