Saya
ceriterakan pada tulisan sebelum ini bahwa jaman sekarang sudah tidak banyak lagi
orang yang kenal dengan makanan yang bernama “Emplek-emplek Ketepu”. Katul
(ketepu) yang di emplek-emplek. Lagunya pun sudah tidak banyak yang tahu,
mungkin hanya oleh orang-orang yang sudah dewasa pada saat Waljinah
menyanyikannya.
Ngaturaken gunging panuwun dumateng Kelompok FB "Nguri-uri Basa Jawa. Saya mendapat komentar atas posting saya sehingga saya bisa melanjutkan tlisan sebelum ini, Tembang “Emplek-emplek Ketepu”(I): Tuladha untuk urip nrima, ora ngaya dan ngati-ati.
Ngaturaken gunging panuwun dumateng Kelompok FB "Nguri-uri Basa Jawa. Saya mendapat komentar atas posting saya sehingga saya bisa melanjutkan tlisan sebelum ini, Tembang “Emplek-emplek Ketepu”(I): Tuladha untuk urip nrima, ora ngaya dan ngati-ati.
“MAKANAN” EMPLEK-EMPLEK
KETEPU: DULU DAN SEKARANG
Kalau
Bapak Ibu browsing di internet, akan mendapatkan resep Emplek-emplek Ketepu
yang menurut pendapat saya hanya pinjam nama saja. Bahannya lumayan moderen,
cara buatnya tidak sulit:
Parutan
singkong, dicampur tepung ketan, irisan kasar gula jawa, beri air, aduk sampai
bergumpal tetapi jangan diremas, taruh di atas daun pisang lalu dikukus.
Selesai sudah. Setelah masak dan dingin, dipotong-potong, sajikan dengan
“topping kelapa parut yang sudah digarami. Bentuknya cakep dan pasti mengundang
komentar “mak nyuss”.
Tidak
ada bunyi “katul” (ketepu) samasekali. Padahal
dulu betul-betul “katul doang”. Saya
sampaikan terimakasih kepada Ibu Waliatie dari Kelompok FB Nguri-uri Basa Jawa
yang telah memposting cara membuat Emplek-emplek Ketepu yang betul-betul “ketepu”
sebagai berikut:
Katul
diuleni (dicampur dan diaduk) dengan air, lalu bubur padat katul yang
dihasilkan diemplek-emplek di atas daun pisang, selanjutnya dipanggang di atas bara
api. Supaya terasa gurih, dicampur sedikit garam.
Mungkin
katul jaman sekarang sudah 100 persen bergeser untuk makanan ayam. Itupun ayam
kampung di kampung, bukan ayam ras atau ayam kampung yang dibudidayakan seperti
ayam ras.
TEMBANG EMPLEK-EMPLEK KETEPU: DULU DAN SEKARANG
TEMBANG EMPLEK-EMPLEK KETEPU: DULU DAN SEKARANG
Sejalan
itu pula tembang “Emplek-emplek ketepu yang tadinya “polosan” saja, jadi ikut bersolek. Yang tadinya hanya dendang kawula
alit yang betul-betul “adoh ratu cedhak watu”, mulai tersentuh modernisasi dan
lebih berani.
Kalau
boleh saya ulang tulis versi “Djadoel”nya yang polosan:
Plek-emplek ketepu; Wong
lanang goleka kayu; lamun golek aja dha menek; lamun menek aja dha mencit;
lamun mencit aja dha tiba; lamun tiba aja nganti lara; lamun lara aja nganti
mati.
Terjemahannya:
Plek-emplek ketepu; Laki-laki carilah kayu; kalau cari jangan memanjat; kalau
memanjat jangan tinggi-tinggi; kalau tinggi jangan sampai jatuh; kalau jatuh
jangan sampai sakit; kalau sakit jangan sampai mati.
Catatan:
Penjelasan pituturnya dapat dibaca pada tulisan pertama. Ringkasnya merupakan pitutur
supaya seorang laki-laki (kepala rumah tangga) kalau mencari nafkah nggak usah
ngaya, nggak usah mengambil risiko, kalau toh harus ambil risiko ya harus
dilandasi kehati-hatian supaya selamat.
Yang
namanya tembang Jawa dari dulu pun memang banyak yang pakai senggakan. Tapi tembang
Emplek-emplek Ketepu terlalu sederhana untuk disenggaki. Mungkin sentuhan
Waljinah di pita rekaman, barangkali tahun 1970an, telah memodernisasi tembang
Emplek Ketepu dengan senggakan.
Sungguh
mengherankan bahwa Emplek-emplek Ketepu plus senggakan justru menjadi sindiran
untuk laki-laki yang umumnya tidak mau dinasihati, mau maunya sendiri. Kalau
dulu merupakan ucapan selamat jalan, pesan dan doa seorang isteri kepada suami
yang mau makarya, maka dengan “senggakan” kelihatan sekali bahwa laki-laki
sekarang memang “bandel”.
Matur
sanget nuwun dumateng Bapak Suparnawa Suratmadja yang telah berbagi lirik
simpanannya melalui kelompok FB Nguri-uri
Basa Jawa, sebagai berikut (yang di dalam kurung huruf miring adalah
“senggakan”nya)
Ala .. wayah .. tak mencit-mencit sisan |
Emplek-emplek ketepu, wong lanang goleka kayu ...
(Ala
.. wayah ... tak golek-golek sisan ...) 2X
Lamun golek, wong
lanang mbok aja menek .....
(Ala
.. wayah ... tak menek-menek sisan ...)
Lamun menek, wong
lanang mbok aja mencit ....
(Ala
.. wayah, tak mencit-mencit sisan ...)
Lamun mencit, wong
lanang mbok aja niba ...
(Ala
.. wayah ..., tak niba-niba sisan ...)
Lamun niba, wong lanang
mbok aja mati ...
(Ala
.. wayah ..., tak mati-mati sisan ...)
Lamun mati, wong lanang
tak tinggal rabi ...
(Ala
.. wayah ..., tak urip-urip sisan ...)
Kelihatan sentuhan
humornya, tetapi tidak seronok. Terasa pula sindirannya: Bahwa laki-laki
kalau “dituturi” malah tambah ndableg.
EPILOG
Ridwan masih bersama
saya. “Saya jadi membayangkan dua skenario,
pak. Yang pertama perempuan jaman dulu melepas suami mau cari kayu, dengan
pesan hati-hati ya mas, anak istri nunggu di rumah. Yang kedua perempuan
sekarang, sama-sama melepas suami dengan
nasihat tetapi yang namanya laki-laki sekarang, kalau diberi nasihat ya
seperti itu, ngeyel. Hanya begitu keluar kata-kata kalau mati ditinggal rabi
(maksudnya kawin lagi), mikir juga si
lelaki, ia gak mau mati”.
Saya seneng Ridwan bisa
serius. “Makanan dan lagu bagaimanapun pasti menyesuaikan dengan selera jaman”,
komentar saya dengan serius pula. “Nilai emplek-empleknya tetap ada walau tanpa
ketepu lagi. Demikian pula pitutur luhurnya tidak hilang, walau sekarang yang
dituturi ngeyel”.
“Ngomong-omong, pak”,
Ridwan tersenyum. “Emplek-emplek ketepu ini pasti makanan orang Jawa, bukan
makanan orang Madura”. Saya belum sempat menanyakan reasoningnya, dia sudah
menjawab sendiri: “Dulu orang Madura kan makan jagung, jadi tidak ada katul
disana. Bagaimana bisa punya cukup
ketepu yang bisa diemplek-emplek”. (IwMM).
No comments:
Post a Comment