Friday, October 5, 2012

TEMBANG “EMPLEK-EMPLEK KETEPU” (2): TETAP MEMBERI PITUTUR WALAU JAMAN SUDAH BERUBAH

Saya ceriterakan pada tulisan sebelum ini bahwa jaman sekarang sudah tidak banyak lagi orang yang kenal dengan makanan yang bernama “Emplek-emplek Ketepu”. Katul (ketepu) yang di emplek-emplek. Lagunya pun sudah tidak banyak yang tahu, mungkin hanya oleh orang-orang yang sudah dewasa pada saat Waljinah menyanyikannya.

Ngaturaken gunging panuwun dumateng  Kelompok FB "Nguri-uri Basa Jawa. Saya mendapat komentar atas posting saya sehingga saya bisa melanjutkan tlisan sebelum ini,  Tembang “Emplek-emplek Ketepu”(I): Tuladha untuk urip nrima, ora ngaya dan ngati-ati.
 
 
“MAKANAN” EMPLEK-EMPLEK KETEPU: DULU DAN SEKARANG
 
Kalau Bapak Ibu browsing di internet, akan mendapatkan resep Emplek-emplek Ketepu yang menurut pendapat saya hanya pinjam nama saja. Bahannya lumayan moderen, cara buatnya tidak sulit:
 
Parutan singkong, dicampur tepung ketan, irisan kasar gula jawa, beri air, aduk sampai bergumpal tetapi jangan diremas, taruh di atas daun pisang lalu dikukus. Selesai sudah. Setelah masak dan dingin, dipotong-potong, sajikan dengan “topping kelapa parut yang sudah digarami. Bentuknya cakep dan pasti mengundang komentar “mak nyuss”.
 
Tidak ada bunyi “katul” (ketepu) samasekali.  Padahal dulu betul-betul “katul doang”.  Saya sampaikan terimakasih kepada Ibu Waliatie dari Kelompok FB Nguri-uri Basa Jawa yang telah memposting cara membuat Emplek-emplek Ketepu yang betul-betul “ketepu” sebagai berikut:
 
Katul diuleni (dicampur dan diaduk) dengan air, lalu bubur padat katul yang dihasilkan diemplek-emplek di atas daun pisang, selanjutnya dipanggang di atas bara api. Supaya terasa gurih, dicampur sedikit garam.
 
Mungkin katul jaman sekarang sudah 100 persen bergeser untuk makanan ayam. Itupun ayam kampung di kampung, bukan ayam ras atau ayam kampung yang dibudidayakan seperti ayam ras.


TEMBANG EMPLEK-EMPLEK KETEPU: DULU DAN SEKARANG
 
Sejalan itu pula tembang “Emplek-emplek ketepu yang tadinya “polosan” saja, jadi ikut  bersolek. Yang tadinya hanya dendang kawula alit yang betul-betul “adoh ratu cedhak watu”, mulai tersentuh modernisasi dan lebih berani.
 
Kalau boleh saya ulang tulis versi “Djadoel”nya yang polosan:
 
Plek-emplek ketepu; Wong lanang goleka kayu; lamun golek aja dha menek; lamun menek aja dha mencit; lamun mencit aja dha tiba; lamun tiba aja nganti lara; lamun lara aja nganti mati.
 
Terjemahannya: Plek-emplek ketepu; Laki-laki carilah kayu; kalau cari jangan memanjat; kalau memanjat jangan tinggi-tinggi; kalau tinggi jangan sampai jatuh; kalau jatuh jangan sampai sakit; kalau sakit jangan sampai mati.
 
Catatan: Penjelasan pituturnya dapat dibaca pada tulisan pertama. Ringkasnya merupakan pitutur supaya seorang laki-laki (kepala rumah tangga) kalau mencari nafkah nggak usah ngaya, nggak usah mengambil risiko, kalau toh harus ambil risiko ya harus dilandasi kehati-hatian supaya selamat.
 
Yang namanya tembang Jawa dari dulu pun memang banyak yang pakai senggakan. Tapi tembang Emplek-emplek Ketepu terlalu sederhana untuk disenggaki. Mungkin sentuhan Waljinah di pita rekaman, barangkali tahun 1970an, telah memodernisasi tembang Emplek Ketepu dengan senggakan.
 
Sungguh mengherankan bahwa Emplek-emplek Ketepu plus senggakan justru menjadi sindiran untuk laki-laki yang umumnya tidak mau dinasihati, mau maunya sendiri. Kalau dulu merupakan ucapan selamat jalan, pesan dan doa seorang isteri kepada suami yang mau makarya, maka dengan “senggakan” kelihatan sekali bahwa laki-laki sekarang memang “bandel”.
 
Matur sanget nuwun dumateng Bapak Suparnawa Suratmadja yang telah berbagi lirik simpanannya melalui  kelompok FB Nguri-uri Basa Jawa, sebagai berikut (yang di dalam kurung huruf miring adalah “senggakan”nya)
 
Ala .. wayah .. tak mencit-mencit sisan

Emplek-emplek ketepu, wong lanang goleka kayu ...
(Ala .. wayah ... tak golek-golek sisan ...) 2X
Lamun golek, wong lanang mbok aja menek .....
(Ala .. wayah ... tak menek-menek sisan ...)
Lamun menek, wong lanang mbok aja mencit ....
(Ala .. wayah, tak mencit-mencit sisan ...)
Lamun mencit, wong lanang mbok aja niba ...
(Ala .. wayah ..., tak niba-niba sisan ...)
Lamun niba, wong lanang mbok aja mati ...
(Ala .. wayah ..., tak mati-mati sisan ...)
Lamun mati, wong lanang tak tinggal rabi ...
(Ala .. wayah ..., tak urip-urip sisan ...)
 
Kelihatan sentuhan humornya, tetapi tidak seronok. Terasa  pula sindirannya: Bahwa laki-laki kalau “dituturi” malah tambah ndableg.
 
 


EPILOG
 
Ridwan masih bersama saya.  “Saya jadi membayangkan dua skenario, pak. Yang pertama perempuan jaman dulu melepas suami mau cari kayu, dengan pesan hati-hati ya mas, anak istri nunggu di rumah. Yang kedua perempuan sekarang, sama-sama melepas suami  dengan nasihat tetapi yang namanya laki-laki  sekarang, kalau diberi nasihat ya seperti itu, ngeyel. Hanya begitu keluar kata-kata kalau mati ditinggal rabi (maksudnya kawin lagi), mikir  juga si lelaki, ia gak mau mati”.
 
Saya seneng Ridwan bisa serius. “Makanan dan lagu bagaimanapun pasti menyesuaikan dengan selera jaman”, komentar saya dengan serius pula. “Nilai emplek-empleknya tetap ada walau tanpa ketepu lagi. Demikian pula pitutur luhurnya tidak hilang, walau sekarang yang dituturi ngeyel”.
 
“Ngomong-omong, pak”, Ridwan tersenyum. “Emplek-emplek ketepu ini pasti makanan orang Jawa, bukan makanan orang Madura”. Saya belum sempat menanyakan reasoningnya, dia sudah menjawab sendiri: “Dulu orang Madura kan makan jagung, jadi tidak ada katul disana. Bagaimana bisa  punya cukup ketepu yang bisa diemplek-emplek”. (IwMM).

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST