Inilah ungkapan yang amat gagah. Ada
saatnya kita bertempur habis-habisan. Biarpun cuma “sadumuk bathuk dan sanyari
bumi”, kita bela dengan “pecahing dada wutahing ludira" (pecahnya dada dan
tumpahnya darah), kalau perlu, nyawa kita pertaruhkan “ditohi pati”. Tetapi
bukan berarti langsung tawuran untuk semua masalah. Nanti kembali ke “kalah
wirang menang ora kondang”.
SADUMUK
BATHUK
Kata “dumuk” berarti menyentuh dengan
jari, biasanya jari telunjuk. Adapun “bathuk” adalah jidat. Bagi orang Jawa,
kepala adalah bagian yang paling terhormat. Tidak sebarang orang bisa menyentuh
kepala orang lain (tentusaja kecuali “tukang potong rambut”, itupun biasanya
pakai “nuwun sewu" dulu). Bahkan duduk di atas bantal dikatakan “ora ilok”.
Bantal adalah alas kepala. Menduduki bantal sama dianggap sama dengan menduduki
kepala.
Bayangkan saja kalau “bathuk” kita
ditonjok pakai “ujung jari telunjuk”, wah rasa hati pasti sakit. Di belahan
dunia yang lain mungkin memegang kepala teman adalah hal biasa. Tapi tetap
tidak pakai ujung jari. Jadi “sadumuk bathuk” berarti kehormatan. Kalau
diinjak-injak, kita pantas ngamuk.
SANYARI
BUMI
“Sak nyari” berarti sejengkal. “Bumi”
sudah jelas, artinya tanah. Jadi “sanyari bumi” maksudnya sejengkal tanah.
Biarpun hanya sejengkal, kalau itu milik kita dan mau direbut orang lain ya
harus dibela mati-matian. Banyak contoh pertikaian hidup dan mati dalam hal
“sanyari bumi” ini.
KONFLIK
AKIBAT “SADUMUK BATHUK DAN SANYARI BUMI”
Beberapa contoh perselisihan yang
berakibat peperangan akibat urusan “sadumuk bathuk sanyari bumi” yang “dibela
dengan “pecahing dada wutahing ludira” yang sampai “ditohi pati” ini. Yang
masalah perorangan misalnya, seorang laki-laki isterinya diganggu
laki-laki lain, atau perebutan tanah, yang satu mau merebut sedangkan yang lain
merasa tanah itu miliknya. Contoh yang lebih besar misalnya:
1.
RAMAYANA:
Sri Rama dengan balatentara keranya, menyerbu Ngalengkadiraja untuk merebut
kembali Dewi Sinta yang diculik Rahwana. Awalnya memang bukan urusan “sanyari
bumi” melainkan “sadumuk bathuk”. Rahwana telah menginjak-injak kehormatan Sri
Rama dengan melarikan isterinya. Kumbakarna yang tidak setuju dengan tindakan
kakaknya yang angkara, maka ia terjun dalam peperangan bukan karena membela
keangkaraan Rahwana, melainkan karena niat “bela negara” demi "sanyari bumi" yang diserbu
balatentara kera. Kumbakarna adalah satu contoh dari tiga ksatria utama yang
dapat dibaca dalam Serat Tripama, anggitan KGPAA Mangkunegara IV.
2.
MAHABHARATA:
Pandawa yang secara sportif taat pada komitmen waktu main dadu, yaitu siapa
kalah dibuang ke hutan 12 tahun, ketika selesai masa pembuangan ternyata
kerajaan tidak dikembalikan oleh Kurawa. Setelah usaha damai melalui Sri Kresna
ternyata gagal, maka tidak ada pilihan lain, ini tidak hanya “sanyari bumi”
tetapi sebuah kerajaan. Terjadilah perang Bharatayuda dengan korban besar di
kedua belah pihak.
3. 1O
NOPEMBER: Indonesia yang sudah merdeka dan berdaulat, ternyata Kota Surabaya
diserbu balatentara Inggris yang diboncengi NICA. Bung Tomo dan arek-arek
Surabaya, walau kalah dalam segala hal dengan semangat “rawe-rawe rantas
malang-malang putung” tidak tinggal diam. Terjadilah pertempuran yang heroik. Kedaulatan
tidak dihormati dan tanah air telah diinjak-injak. Tanggal 10 Nopember setiap
tahun diperingati Bangsa Indonesia sebagai Hari Pahlawan
Walau hanya “sedumuk” tetapi kalau itu
adalah “bathuk” dan walau hanya “senyari” kalau “bumi” milik kita maka harus dibela
mati-matian. Skalanya bisa kecil di tingkat perorangan dan rumah tangga, bisa
menjadi besar kalau sampai pada martabat dan kedaulatan suatu bangsa. (IwMM)
2 comments:
Terima Kasih,artinya dalam banget di kehidupan :3
Nice share gan...
Post a Comment