Friday, July 13, 2012

SERAT KANDHA BUMI: PITUTUR UNTUK NGAWULA KEPADA RAJA


Serat Kandha Bumi adalah karya Ki Padmasusastra, 1924. Mengisahkan seorang pemuda yatim piatu, Raden Sapartitala, murid Resi Rasatala di padepokan Lebu Pasir. Orang tuanya sebelum meninggal telah menitipkan kepada Resi Sapartitala yang kemudian mengasuh dan mendidik Raden Sapartitala bersama adiknya, Endang Siti Pasir.

Menyadari bahwa kalau ia tetap tinggal bersama Resi Rasatala di desa, maka ilmu yang diperolehnya akan membusuk di situ dan akan terkubur dibawa mati tanpa pengamalan, Oleh sebab itu Raden Sapartitala pada akhirnya menghadap sang resi, menyampaikan maksudnya untuk mengabdi pada raja supaya ilmunya bermanfaat.

Resi Rasatala memang menganggap Raden Sapartitala sudah cukup ilmunya, tetapi pada saat Raden Sapartitala berpamitan, masih menambahkan 12 butir pesan sebagai bekal dalam pengabdiannya kepada raja, seperti di bawah ini (termasuk terjemahannya):

1.    Setya tuhu ing pangawulan, tegese tresna ing gusti trus lahir batin, sirik gedhe nyatur cacading gusti, senadya mung ngethuki bae iya aran ala (Terjemahan: Setia dan menurut dalam pengabdian, artinya mencintai raja lahir batin, pantang mencela kejelekan raja, bahkan membuat perumpamaan pun tidak baik)

2.    Sregep marang pagawean kang wus winajibake, nanging ora susah dikatonake ing akeh, becik ora katon rampung tinimbang katon ora rampung (Terjemahan: Rajin dalam melaksanakan tugas yang menjadi kewajibannya, tetapi tidak usah ditun juk-tunjukkan kepada orang banyak. Lebih baik tidak kelihatan selesai daripada kelihatan tidak selesai)

3.    Aja meri marang sihing gusti kang tumiba ing wong liya senadyan wong liya mau ora nyambutgawe kaya kowe, kowe mangsa weruha karsaning gusti kang winadi (Terjemahan: Jangan iri dengan kasih sayang raja kepada orang lain walaupun orang lain tadi tidak bekerja seperti engkau. Engkau kan tidak tahu apa rencana raja yang dirahasiakan)

4.    Rumeksa lan ngowel marang barang kagunganing gusti, dikaya pangreksa lan pangowelmu marang barangmu dhewe (Terjemahan: Menjaga dan menyayangi barang milik raja seperti menjaga dan menyayangi barang milikmu sendiri)

5.    Bisa simpen wadining gusti, ora keprojol marang ing liyan, senadyan marang anak bojo iya ora, supaya kowe diandel marang gusti bisa simpen wadi (Terjemahan: Mampu menyimpan rahasia raja, tidak kelepasan ke orang lain, walaupun kepada anak istri juga tidak, supaya engkau dipercaya raja bahwa mampu menyimpan rahasia)

6.    Sumurup marang unggah-ungguhing tata krama, aja kongsi kurang luwih, tegese ngajeni marang sapadha-padha, angluhurake marang wong gedhe, nanging aja kongsi ora pratitis, yen kurang aran digsura, yen luwih aran wong lamis, iya iku sing diarani golek pendhok (pakandelan) (Terjemahan: Mengetahui sikap dan perilaku tatakrama, jangan kurang dan jangan lebih. Artinya hormat pada sesama, meluhurkan yang kedudukan lebih tinggi. Tetapi jangan sampai tidak pas. Kalau kurang akan dikatakan kurang ajar. Kalau berlebihan dikatakan lamis, yaitu yang dinamakan cari muka)

7.    Andhap asor nanging aja asoring budi, tegese budimu kang ngumala, gelem kalah marang bandha baumu, nanging ora gelem diremehake (Terjemahan: Rendah hati tetapi tidak rendah budi; artinya budimu yang bercahaya, boleh kalah harta dan kekuatanmu tetapi tidak mau diremehkan)

8.    Ngalah basa sakecap laku satindak, nanging aja dadi tukang kalahan (Terjemahan: mengalah kata satu patah langkah satu tindak tetapi jangan menjadi orang yang selalu kalah)

9.    Yen kowe dierang-erang ana ing pajagongan, aja kolawani catur, mung ewanana bae, iku prasasat wis kotapuk raine (Terjemahan: kalau engkau diejek dalam suatu pertemuan, tidak perlu ditanggapi dengan ucapan. Cukup dengan ekspresi tidak senang, itu sudah sama dengan engkau memukul wajahnya)

10.  Yen kowe dikurangajari ing wong aja kok saru., unenana kewan ingkang tanpa budi gadhah tatakrama, cumbu dateng bandaranipun, manungsa boten makaten, dheweke wis ribut atine (Terjemahan: Kalau kamu dikurangajari orang tidak usah ditanggapi. Katakan binatang saja yang tidak punya budi masih punya tatakrama, setia kepada tuannya. Manusia tidak demikian. Hatinya sudah ribut) 

11.  Yen diwaoni gaweanmu kang wis korasa bener, aja kopadoni, wangsulana: leres karsa sampeyan, menggahing sampeyan, boten menggahing gusti (Terjemahan: Kalau dicela  pekerjaanmu yang sudah engkau anggap baik, tidak usah dibawa dalam pertengkaran.  Jawab saja benar kata anda, menurut anda, tetapi tidak untuk raja) 

12.  Tutuping pituturku disregep marang pasuwitan, senadyan pintera bisa anjara langit yen kesed, iya ora dadi dandanan. (Terjemahan: Pituturku yang penutup, rajinlah dalam pengabdianmu; walaupun pandai setinggi langit kalau pemalas ya tidak akan jadi orang yang baik)

Raden Sapartitala berangkat ke Kotaraja sendirian. Adiknya tidak diberitahu. Duabelas butir pitutur gurunya benar-benar ditaati dan akhir ceritera, Raden Sapartitala dalam pengabdiannya meningkat kariernya menjadi Patih di kerajaan Bantala Rengka tempatnya mengabdi. Adiknya, Endang Siti Pasir dalam perjalanan sulit dan panjang bertemu sang raja dan diperistri. Kisah purna dengan happy ending.

Pertanyaannya adalah: Pada jaman sekarang apakah nilai-nilai ini masih relevan? Kalau masih, apakan masih mewarnai kehidupan kita sehari-hari? (IwMM)

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST