Tuesday, April 3, 2012

SUBASITA JAWA (2): PERILAKU JARI DAN TANGAN


 
Anggota badan bagian atas kita adalah bagian yang banyak dilihat orang selain kepala. Lebih khusus lagi adalah tangan dan jari-jari kita. Tiap hari kita ketemu orang dan tiap hari pula kita bersalaman dengan orang. Oleh sebab itu banyak diantara kita yang mengecat kuku dan menghiasi jari-jemari kita dengan cincin. Bahkan tidak cuma satu cincin saja di jari manis. Sayangnya perilaku jari-jari kita sering tidak semahal hiasan yang bertengger disitu.

Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, dalam Serat Subasita, 1914 menyampaikan seperti di bawah ini. Apakah masih relevan untuk abad sekarang, kita baca bersama:


KUKU HITAM

Ujung kuku yang hitam kotor membuat tidak nyaman orang yang melihat. Sebaiknya dipotong pendek, jangan biarkan kuku menjadi panjang karena pasti lebih mudah kemasukan kotoran. Kalau memang piara kuku panjang ya harus rajin membersihkan. Orang bertamu kalau kelihatan kukunya kotor dianggap “degsura” (kurang ajar).

PERILAKU JARI-JARI TANGAN

Tidak boleh garuk-garuk di depan umum apalagi di pertemuan. Bisa disangka tubuh kita banyak kutu atau jamur oleh orang yang melihat. Kalau ada yang terasa gatal dan ingin menggaruk, menyingkirlah sebentar ke tempat lain, atau ditekan saja pada pakaian di tempat yang gatal dengan jari.

Perilaku lain dari jari-jari tangan kita yang sering di luar kesadaran adalah menggosok-gosok mata (Jawa: ucek-ucek). Mungkin ada yang mengganjal, atau terasa gatal, atau ada kotorannya (Jawa: blobok). Orang yang melihat merasa tidak enak. Kalau terpaksa, gunakan saputangan atau tissue bersih.

Demikian pula lubang telinga, merupakan sasaran tidak sadar jari-jari kita. Mengorek lubang telinga dengan jari memang nyaman bagi si empunya jari. Lobang telinga memang sering gatal. Mungkin karena ada kotorannya (Jawa: Cureg). Orang yang melihat, rasanya pasti “eneg”, kata orang Jawa.

Satu lagi lobang yang amat sering jadi tujuan jari adalah lobang hidung. Kita sering membersihkan kotoran di hidung (Jawa: upil) dengan jari.Ini juga perilaku “degsura” yang kira-kira paling banyak kita lakukan di luar kesadaran. Sampai ada “cangkriman” Jawa: Apa sing mlebune lenceng metune bengkong? (apa yang masuknya lurus keluarnya bengkok? Jawabannya tentusaja orang mencari “upil”. Demikian pula pernah saya baca teka-teki bahasa Indonesia, mengapa kayu di bagian bawah meja permukaannya kasar? Jawabannya: Karena banyak upil dileletkan disitu.

Yang ini mungkin tidak terlalu menjijikkan tetapi tidak sopan. Yaitu bila muka kita terasa berminyak kemudian kita usap pakai tangan. Pakailah saputangan atau tissue. Sedapat mungkin sebelum kita bertemu seseorang kalau muka kita berminyak, kita bersihkan dulu. Saya ingat pernah mendampingi pimpinan ke suatu desa di atas bukit yang harus ditempuh dengan jalan kaki. Sebelum masuk rumah pak Kades, boss saya bilang: “Bersihkan muka dulu, sisir rambut, supaya tidak kelihatan nggilani”.

Perilaku di atas menunjukkan hal-hal yang tidak pantas karena ada unsur “menjijikkan”. (Blobok, Cureg, Upil). Bayangkan saja kita sedang bincang-bincang dengan orang, orang itu kuku jarinya kotor, kemudian selama perbincangan dia sempat uthik-uthik upil”. Selesai bicara, dia berpamitan, mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Mau tidak diterima, kita yang jadi tidak sopan (degsura), kalau diterima kita merasa jijik.

MEMBERIKAN SESUATU

Memberikan sesuatu yang ada pegangan atau pangkalnya maka yang kita hadapkan pada si penerima adalah bagian pangkal atau pegangan. Bagian ujung atau bagian tajam menghadap ke diri kita. Bila kita melakukan sebaliknya, termasuk perilaku “degsura”, tidak sopan. Contoh: memberikan pisau, tongkat, payung.

GERAK TANGAN SAAT BICARA

Dalam budaya Jawa, berbicara dengan tangan bergerak kesana-kemari (Jawa: tangan srawean) dianggap perilaku tidak sopan. Mungkin ini agak spesifik Jawa karena di tempat lain hal ini tidak menjadi masalah. Dalam hal ini kita tidak boleh begitu saja “nggebyah uyah” bahwa orang yang bicara dengan tangan “srawean” adalah orang “degsura”.

MENUNJUKKAN SESUATU

Menunjukkan sesuatu sebaiknya dengan ibu jari (jempol) jangan dengan jari telunjuk, karena hal ini termasuk perilaku “degsura”. Apalagi dengan mengacungkan kaki, amat tidak sopan. Sering kita tidak sadar, saat sedang berdiri sementara tangan masih pegang sesuatu, kemudian kita menunjukkan sesuatu yang letaknya di lantai dengan ... ujung kaki kita.

Bulan Maret lalu ada reuni teman-teman FK UGM yang usianya sebagian besar di atas 55 tahun. Ada yang iseng mengumpulkan foto “olah jari” mereka. Ternyata banyak yang menggunakan “jari telunjuk” untuk menunjukkan sesuatu. Komentarnya kurang-lebih: Perilaku jari orang yang pernah jadi boss. Sayang saya tidak hadir waktu itu. (IwMM)

Sambungan dari: Subasita Jawa (1): Mengantuk dan Menguap
Dilanjutkan ke: Subasita Jawa (3): Kentut, Berak dan Kencing

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST