Tuesday, March 13, 2012

GAJAH 1: CANGKRIMAN, DOLANAN DAN DONGENG

Saya mulai berpikir untuk menulis tentang gajah beberapa waktu yang lalu ketika mau boarding di Bandara Soekarno Hatta. Rupanya pesawat parkir di “remote area” sehingga boarding tidak lewat garbarata (belalai) melainkan naik bis. Seorang ibu di belakang saya berkata pada anak yang di gandengnya: “Ayo nak turun, kita tidak lewat tlale”. Saya sampai noleh, senyum-senyum kecil sendiri. Ibu itu melihat ke saya. Wah jangan-jangan saya dikira orang tua mau usil. Langkah saya perlambat lalu saya sampaikan: “Sudah lama sekali tidak dengar kata tlale, Bu”. Ibu itu tertawa. “Lha tlale kan sama saja dengan belalai, Rama”, katanya. Tak ada komunikasi lebih lanjut. Namanya orang mau naik pesawat ya sibuk sendiri-sendiri.


Gajah memang bukan binatang asli Jawa. Rasanya agak aneh kalau badak ada di Sumatra dan Jawa tetapi Gajah hanya di Sumatra, walaupun fosil nenek moyang gajah, Mammoth, dapat kita lihat di Museum Purbakala, Sangiran, Sragen.

Bukan asli Jawa tetapi akrab dalam kehidupan orang Jawa. Mungkin karena gajah dari jaman dulu menjadi binatang piaraan raja-raja di Jawa, termasuk  jadi kendaraan kavaleri untuk perang. Ronggolawe, Bupati Tuban pada era Majapahit juga digambarkan berkendaraan gajah. Prabu Baladewa dalam pedhalangan Jawa juga dikenal sebagai raja yang tunggangannya gajah, bernama "Puspadhenta". sementara raja-raja yang lain lebih suka naik kereta.

Seberapa akrabkah gajah di hati orang Jawa? Kalau sekarang karena ada kebun binatang dan taman safari termasuk pawang gajahnya, maka pastilah manusia akrab dengan gajah. Di Alun-alun Kidul Yogyakarta pun saat ini gajah peliharaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sudah membaur dengan masyarakat termasuk anak-anak.Tetapi jejak keakraban pada jaman dulu bagaimana? Kita bisa melacaknya lewat beberapa pintu, antara lain tembang, cangkriman, dolanan, dongeng dan paribasan.



CANGKRIMAN

Cangkriman yang jawabannya “Gajah” sudah saya posting dalam Cangkriman 2b: Cangkriman dengan Tembang. Ingat kan?: Bapak pucung dudu watu dudu gunung; Sangkamu ing sabrang; Ngon-ingone sang Bupati; Yen lumaku si pucung lembehan grana (tidak saya terjemahkan lagi)

DOLANAN

Ingat Hompimpah dan Hompingsut? Dalam pingsut kita gunakan jari-jari tangan mewakili manusia, semut dan gajah. Gajah kalah sama semut. Ceritera gajah dan semut akrab di dunia anak-anak entah asli Indonesia atau bukan. Tapi kalau ada kancilnya, kira-kira banyak asli Indonesianya.


DONGENG

Yang asli Jawa mungkin dongeng Kancil dan Gajah dalam Serat Kancil Kridhamartana karya Raden Panji Natarata, dimana kancil yang terperosok dalam lobang berhasil menipu gajah. Dikatakan oleh kancil bahwa langit akan ambruk, gajah bisa tidak selamat kecuali masuk ke dalam lobang tempat kancil terperosok. Gajah pun terjun ke lobang dan kancil keluar dari lobang setelah menggunakan punggung gajah sebagai batu loncatan.


Yang ini “wisdom story” sepertinya bukan ceritera asli Indonesia, tetapi waktu SD dulu guru saya pernah berceritera tentang orang buta dan gajah. Masing-masing menggambarkan gajah berbeda-beda sesuai dengan apa yang dia raba waktu memegang gajah. Yang meraba kuping akan berbeda pendapatnya dengan yang meraba Badan, belalai, kaki dan ekor. Nyaris sama dengan penggambaran guna mengenalkan gajah pada anak-anak yang disampaikan melalui tembang dolanan pada posting setelah ini (IwMM)

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST