Tuesday, February 28, 2012

CANGKRIMAN 2a: JENIS DAN KAIDAH (WANCAHAN, PEPINDHAN DAN BLENDERAN)




 

Melanjutkan Cangkriman 1:  Penggunaan Sehari-hari Cangkriman” bukanlah sekedar olah tutur yang “waton nyatur” (asal bunyi) karena disamping ada beberapa jenis cangkriman, eksekusinya pun  juga pakai kaidah.

Jadi tidak terlalu gampanglah orang membuat cangkriman. Supaya kita  mampu merakit sebuah  cangkriman termasuk menjawabnya, diperlukan kecerdasan, kreativitas dan wawasan. Ada empat jenis “cangkriman” yaitu “cangkriman wancahan, pepindhan, blenderan dan tembang”


1. CANGKRIMAN WANCAHAN

Wancahan” dalam bahasa Indonesia adalah singkatan. “Cangkriman wancahan” adalah cangkriman “akronim”. Tapi ada rumusnya, yaitu yang dipakai adalah satu atau dua suku kata terakhir. Bukan suku kata terdepan, tengah, atau campuran. Kita tentu tahu akronim “Gakin dan Maskin”. Yang satu “keluarga miskin” dan satunya “masyarakat miskin”. Mana yang benar menurut tatacara Jawa? Tentusaja “Gakin” karena menggunakan suku kata terakhir dari tiap kata. Beberapa contoh “cangkriman wancahan” antara lain:
  • Kabaketan: “Nangka tiba ning suketan” (Nangka jatuh di rerumputan). Perhatikan yang digunakan adalah satu dan dua suku kata terakhir
  • Wiwawite lesbadhonge jatos lempuk: “Uwi dawa wite tales amba gdhonge jati atos pelem empuk. Biarpun panjang, akronim tetap mampu menggunakan suku kata terakhir saja. (catatan: Uwi sejenis umbi yang menjalar)
  • Ling cik tu tu ling ling yu: Mirip ucapan Cina, tetapi tetap akronim dengan suku kata terakhir. “Maling mancik watu, watu nggoling maling mlayu”. (Maling naik batu, batu terguling maling lari”. Dewasa ini banyak akronim yang dimirip-miripkan bahasa Cina tetapi perhatikan akronimnya pasti campuran suku kata depan dan akhir.

2. CANGKRIMAN PEPINDHAN

Pepindhan” adalah analogi. Jadi kita menyebutkan sifat suatu barang atau keadaan untuk dijawab. Pada umumnya “cangkriman pepindhan” disampaikan dalam satu kalimat. Sebagai contoh antara lain:
  • Yen esuk sikile papat, awan sikile loro bareng sore sikile telu (waktu pagi kakinya empat, siang kakinya dua, ketika sore kakinya tiga). Jawabnya “Manusia” Masih bayi merangkak, kakinya empat, setelah dewasa bisa jalan kakinya dua dan setelah tua pakai tongkat, kakinya empat.
  • Yen mandheg sikile sepuluh yen mlaku sikile loro (kalau berhenti kakinya sepuluh ketika jalan kakinya dua). Jawabnya Orang jualan makanan dengan pikulan. Contohnya orang jualan sate ayam yang dipikul. Ketika berjalan,pikulan diangkat maka kaki yang 4X2 tidak menapak di tanah, tinggal kaki yang jualan. Pengembangan dari “cangkriman” ini adalah “yen mandheg sikile 14” jawabnya orang jualan bawa dingklik untuk duduk. Dingkliknya berkaki empat.
  • Dikethok malah tambah dhuwur (dipotong malah tambah tinggi). Jawabnya celana
  • Mboke dielus-elus anake diidak-idak (ibunya dielus-elus anaknya diinjak-injak). Jawabnya “tangga” yang dipakai untuk memanjat.

3. CANGKRIMAN BLENDERAN (PLESETAN)

Kalimatnya jelas tetapi maksudnya bukan itu. Biasanya tidak terlalu sulit ditebak. Beberapa contoh antara lain:
  • Wong dodol tempe ditaleni (Orang jual tempe ditaleni). Maksudnya yang diikat bukan orang yang jualan tempe tetapi talinya. Di pasar tradisional masih banyak kita jumpai tempe yang diikat daun, bisa daun pisang atau daun jati kemudian supaya bungkus tidak lepas maka perlu diikat.
  • Gajah ngidak endhog ora pecah (Gajah menginjak telur tidak pecah). Jelas yang dimaksud bukan telurnya yang tidak pecah melainkan gajahnya.
  • Yang satu ini agak moderen: Gajah numpak becak ketok apane? (Gajah naik becak kelihatan apanya). Jawabnya: Ketok ndobose (kelihatan membualnya) -IwMM

Monday, February 27, 2012

CANGKRIMAN 1: PENGGUNAAN SEHARI-HARI


Kira-kira sebulan lalu saya di kantor Cipaganti, Bandung, menunggu keberangkatan travel mau kembali ke Jakarta. Masih cukup waktu jadi saya minum kopi di sebelah. Ada laki-laki setengah umur seperti saya menyapa: “Ijin join ya pak, gak ada tempat lagi”.

Mangga pak”, lidah sudah terlanjur lebih mudah ngomong “mangga” daripada “silakan”. Bagaimanapun saya tetap ingat Yitna yuwana lena kena walaupun kemudian saya merasa bersalah karena orang ini ternyata orang baik-baik.

Bapak Jawa ya”, mungkin karena “monggo” saya tadi. “dari mana Pak?”

Jogja, Pak”, jawab saya pendek.

Saya juga Jogja. Tapi Jogja kemringet”. Kemringet adalah berkeringat. Maksud bapak adalah dia berasal dari desa di wilayah Jogja, cukup jauh dari Jogja.

Selesai berbasa-basi beliau berceritera bahwa jaman dulu permainan anak desa dan anak kota hampir sama. Disebutkan antara lain gobag sodor, sepak sekong, benthik dan beberapa lagi. Termasuk “Cangkriman”.

Cangkriman” atau disebut pula “bedhekan”, bisa juga “badhean” adalah teka-teki atau tebakan. Anak kota dulu juga suka cangkriman. Kalau sore “jagongan” sama teman, pas tidak bermain dengan tenaga fisik, maka kita main tebak-tebakan.

Burnaskopen?” Tiba-tiba bapak itu mulai dengan cangkrimannya.

Bubur panas kokopen”, jawab saya (dikokop: Mulut langsung nempel bibir mangkuk, tanpa sendok). “Itu sih gampang sekali”.

Beliau ketawa keras sekali. “Hanya ngetes anak kota”, katanya. Jadilah setengah jam waktu tunggu dihabiskan untuk bernostalgia perkara “cangkriman”.

Cangkriman adalah peristiwa tutur dalam suasana santai. Perlu berfikir tetapi bukan fikiran yang berat. Unsur permainan dan hiburannya besar tetapi juga ada unsur pendidikannya sekaligus melatih kecerdasan dan kreativitas. Bisa dilakukan dimana saja dan tanpa biaya kecuali kalau sambil makan minum di warung.

Cangkriman perlu “provokator”. Ketika seorang mulai dengan cangkrimannya: “Apa bedane balapan jaran karo balapan pit?” (Pit: Sepeda). Maka gayung pun bersambut. Mulai ada yang menjawab, ada yang salah, ada juga yang betul. Kalau tidak ada yang menjawab dengan benar maka si pemberi cangkriman akan menjawab sendiri: “Kalau balapan jaran (kuda) ada penitipan sepeda tetapi kalau balapan sepeda tidak ada penitipan kuda”. Lalu yang lain gantian memberikan cangkriman. Perlu pencetus, tanpa direncanakan tetapi “gayeng”

Karena bisa menimbulkan tawa, maka para pelawak khususnya yang bernuansa Jawa, seperti Dhagelan Mataram dan Ludruk banyak menggunakan cangkriman, utamanya yang bernuansa plesetan. Kalau ditanya: “Iwak kucing karo iwak pitik enak endi?” (daging kucing dan daging ayam enak mana?). Hati-hati, kalau kita jawab enak daging ayam maka akan diteruskan dengan: “Kalau begitu kamu pernah makan daging kucing?”.

Memang ada cangkriman yang tidak terlalu santai, misalnya cangkriman yang disampaikan dalam bentuk “tembang”. Bahkan ada cangrkiman sayembara, khususnya di dunia Pedhalangan. Raden Sadewa berhasil memperistri Dewi Srengginiwati putri Raja Bhadawanganala karena mampu menebak cangkrimannya.

Demikian pula begawan Wisrawa berhasil “mbatang” (menebak) cangkriman Dewi Sukesi. Begawan Wisrawa sebenarnya ikut sayembara atasnama putranya, Prabu Danaraja dari Kerajaan Lokapala. Dari sini masalah tumbuh. Dewi Sukesi tidak mau diperistri Prabu Danaraja, Dia hanya mau diperistri orang yang berhasil menebak “cangkriman”nya. Bagaimanapun Begawan Wisrawa menolak, Dewi Sukesi tetap bersikeras.

Saya tidak berceritera wayang disini, singkat ceritera dari peristiwa "mbatang cangkriman" Dewi Sukesi tidak menjadi isteri Danapati tetapi menjadi istri Begawan Wisrawa, bapaknya Danapati, dan putra yang dilahirkan dari pasutri Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi adalah: Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka dan Gunawan Wibisana [dapat dibaca di  Sabda Pandita Ratu (2): Kisah Wisrawa dan Dewabrata] IwMM

Sunday, February 26, 2012

PITUTUR KUMPULAN 15: SIFAT RAJIN DAN PEMALAS

Adalah empat hal yang tidak boleh hilang dari manusia: Kewasisan, taberi, budi rahayu dan kasarasan. Taberi adalah sifat rajin dan kebalikannya adalah sifat “kesed” atau pemalas. Demikian dikatakan oleh Ki Padmasusastra Ngabehi Wirapustaka di Surakarta dalam Layang Madubasa, 1912.

Dalam Pitutur Kumpulan 15 ini disampaikan mengenai sifat rajin dan pemalas tersebut yang bersumber dari Serat yang sama, yaitu Layang Madubasa, anggitan Ki Padmasusastra. Tulisan asli dalam bahasa Jawa dicetak dalam huruf miring dan terjemahan setengah bebasnya dapat dibaca di bawahnya. Silakan mengikuti, kiranya ada manfaat yang dapat dipetik.
 
 
1. JANGAN MALAS MENGERJAKAN PEKERJAAN BERAT
 
Aja wêgah anglakoni pagawean abot, awit yèn kotalatèni kalawan sabaring ati, suwe-suwe saya ènthèng, wusana nganti tanpa bobot: rampung.
 
TERJEMAHAN: Jangan malas mengerjakan pekerjaan berat. Karena kalau kita kerjakan dengan sabar dan telaten, lama kelamaan terasa ringan, akhirnya terasa tidak berat: Selesai.
 
 
2. MALAS: SUMBER PENYAKIT

Garumbuling lêlara saka kêsèd, sabên wong dhêmên nganggur adhakane ngantuk, banjur turu kang dudu mangsane, barêng nglilir karasa lêsu, malah mapan turu manèh karo ngrasakake ora kapenak ing awak, sarèhning tansah digagas, iya banjur lara têmênan, zie srêgêp.

TERJEMAHAN: Belantara penyakit berasal dari malas. Orang yang suka menganggur umumnya ngantukan lalu tertidur padahal belum waktunya. Ketika bangun badan terasa lesu, dilanjutkan tidur lagi dengan membawa pikiran tidak enak badan. Karena selalu dipikirkan akhirnya jadi sakit betulan.
 
3. ORANG MALAS MAUNYA DISUAPI
Wong kêsèd marang pagawean, iku kaya upamane manuk lagi nêtês, uripe mung kalawan diloloh.
TERJEMAHAN: Orang pemalas ibarat anakmburung yang baru menetas. Hidupnya hanya disuapi
 
4. JANGAN KELUH KESAH ATAS BERATNYA PEKERJAAN
Para garaping parentah aja sêsambat kakehan gawe utawa sugih pagawean: mundhak digêguyu, satêmêne iya iku kang kok golèki.

TERJEMAHAN: Kalau diberi tugas jangan berkeluh-kesah kebanyakan pekerjaan karena hanya akan ditertawakan. Sebenarnya itulah yang kita butuhkan.
 
5. PEKERJAAN PALING BERAT ADALAH PEKERJAAN YANG TIDAK DIKERJAKAN
Pagawean kang abot dhewe iku pagawean kang ora dilakoni, nganti sakêsêling ati ora bisa rampung saka awang-awangên, dene pagawean abot têmênan kang dilakoni, suwe-suwe nganti tanpa bobot nganggur ora duwe pagawean. Iya iku bedaning wong kêsèd karo wong srêgêp, si kêsèd malah kêrêp asêsambat kabotan gawe, si srêgêp rumasane kenthengan gawe, têgêse: ora ana pagawean abot, yèn linakonan amêsthi dadi ènthèng, kosokbaline sanadyan pagawean ènthèng yèn ora linakonan iya dadi abot, dening ora bisa rampung.
TERJEMAHAN: Pekerjaan yang paling berat adalah pekerjaan yang tidak dilaksanakan. Sampai capek tidak akan selesai karena merasa gamang atas tugas yang harus dilakukan. Akhirnya malah menganggur tidak punya pekerjaan. Itulah bedanya antara orang pemalas dengan orang rajin. Yang pemalas banyak keluh kesah atas beratnya pekerjaan, sedangkan yang rajin merasa yang dilakukan adalah ringan, artinya: semua pekerjaan walau berat, kalau dijalani pasti jadi ringan; sebaliknya walaupun pekerjaan itu ringan kalau tidak dikerjakan akan menjadi berat karena tidak terselesaikan.
 
6. ORANG RAJIN: MAU KERJA, TELATEN DAN PANTANG KELUH KESAH
Aja sok sambat kakehan pagawean, satêmêne iya mung saukure bae, sisaning pagawean ditindakake sawise mari kêsêl, utawa seje dina, padha bae karo wong kang nganakake pagawean (ora duwe pagawean) panggagase iya mung saukure bae, nganti sakêsêling ati, tutuge dipikir sawise mari kêsêl. Kabungahane priyayi narapraja kang sugih pagawean, yèn pagaweane wis rampung mangkono uga ki pujôngga kang nganakake pagawean, kabungahane yèn olèhe anggolèki têmbung bisa kêtêmu. Liding catur: ora ana wong kakehan utawa kasathithikên pagawean, anggêr manungsa urip gêlêm nyambut gawe: padha bae, beda karo si tabêri lan si kêsèd, sing siji têlatèn anggarap pagawean, sijine: ora.
TERJEMAHAN: Jangan suka berkeluh kesah kebanyakan pekerjaan, sebenarnya dikerjakan sesuai kemampuan kita saja, sisanya dilanjutkan setelah lelahnya hilang, atau lain hari. Sama juga dengan orang yang tidak punya pekerjaan, dia hanya berpikir secukupnya saja sampai capek berpikir. Dilanjutkan lagi setelah kelelahan pikirannya hilang. Kesenangan para pegawai adalah setelah pekerjaan selesai; demikian pula kesenangan ki pujangga (maksudnya: Ki Padmasusastra) adalah kalau berhasil menemukan kalimat yang diperlukan. Kesimpulan: Tidak ada orang kelebihan atau kekurangan pekerjaan. Untuk manusia yang mau bekerja, semua sama saja. Yang beda hanya si rajin dan si malas. Yang satu telaten dalam pekerjaannya, satunya lagi tidak
 
7. RAJIN: MATA AIR KEBERUNTUNGAN
Tabêri iku tuking kabêgjan, watêke arang lara, rijêkine tutut, akèh kang bisa kacukupan, pirabara sugih saka pitulunging Allah.
TERJEMAHAN: Rajin adalah mata air keberuntungan. Sifatnya: jarang sakit, rejeki lancar, banyak yang hidupnya berkecukupan dan bisa kaya karena pertolongan Allah
 
8. RAJIN: MATA AIR KESEHATAN
Witing kawarasan saka srêgêp, sasuwene nyambut gawe: wis krasa ngêlèh, dening anggane kabèh obah mèlu nyambut gawe, dadi wong nyambut gawe iku prasasat anggawa tômba kawarasaning awak,
TERJEMAHAN: Kesehatan berasal dari kerajinan. Selama bekerja, semua otot tubuh bergerak, menimbulkan rasa lapar. Orang yang bekerja ibaratnya membawa obat untuk menyehatkan badan.
 
9. RAJIN: MENDAPAT IMBALAN DAN PUJIAN
Wong srêgêp nyambut gawe olèh kasênêngan rampunging pagaweane sarta nampani pituwasing kangelane, tarkadhang olèh pangalêming akèh, suprandene wong akèh sing kêsèd.
TERJEMAHAN: Orang rajin bekerja memperoleh kesenangan dari selesainya pekerjaan dan imbalan dari jerih-payahnya. Kadang-kadang malah mendapat pujian dari banyak orang. Walau demikian tetap banyak orang yang malas
 
10. SEMUA RINGAN BAGI ORANG SABAR
Ora ana pagawean abot kang ora bisa rampung yèn ditandangi kalawan sarèhing ati. Yagene kowe ora angrampungake pagawean ènthèng dening kasusuning ati sêlak arêp lèrèn, èlinga yèn tètèsing banyu bisa anggêmpalakê laleyan.
TERJEMAHAN: Tidak ada pekerjaan berat yang tidak terselesaikan sepanjang dikerjakan dengan hati sabar. Mengapa kita tidak segera menyelesaikan pekerjaan ringan hanya karena kita ingin cepat istirahat? Ingat bahwa tetesan air bisa melobangi pagar bata.
 
11. MENYELESAIKAN PEKERJAAN: DAPAT PUJIAN DARI HATI DAN ORANG LAIN
Ngrampungake pagawean, si awak wis olèh alêm saka si ati, nuli olèh alêm manèh saka wong liya, apa ora wis aran bêgja yèn wong tabêri ing gawê apêse olèh alêm ping pindho, tinimbang karo wong kêsèd, sanadyan atine trêsna marang awake, iya ora bisa ngalêm aja manèh wong liya.
TERJEMAHAN: Bila kita berhasil menyelesaikan pekerjaan, badan akan mendapat pujian dari hati kemudian mendapat pujian dari orang lain. Apa bukan keberuntungan? Bahwa orang rajin mendapat pujian minimal dua kali. Tidak demikian halnya dengan orang pemalas. Betapapun sayangnya hati kepada badan kita tetapi tidak bisa memuji, apalagi orang lain.
 
12. JERIH PAYAH ADA IMBALANNYA
(a) Ora ana wong kangelan tanpa pituwas, êmbuh enggal lawase: mêsthi. bonggan sira dhêmên nganggur, liding sanepa: aja kêsèd.
TERJEMAHAN: Tidak ada orang bersusah-payah tanpa memperoleh hasil; hanya cepat atau lambat kita tidak tahu, tetapi pasti. Salah sendiri kalau malas. Jadi jangan malas.
(b) Ora ana wong kangelan tanpa pituwas, lupute awake: iya anak putune kang tômpa, yagene suthik kangelan, dipilaur nganggur, apa ana janjine wong nganggur olèh ganjaran.
TERJEMAHAN: Tidak ada orang bersusah-payah tanpa mendapat hasil. Kalau bukan diri kita yang memperoleh, ya anak cucu yang akan menikmati. Kenapa malas susah dan pilih menganggur, tidak ada janji bahwa penganggur akan memperoleh ganjaran
 
13. BERSUSAH-PAYAH DULU, BUAHNYA KEMUDIAN
Gampang iku dadi angèl, saupama winalik kêpriye, dhêmên kangelan dhisik, kira-kira bakal ana wohe kang matêng mirasa: gampang undhuh-undhuhane, bok coba kok lakoni. Kang nganggit layang iki wis tau ngundhuh wohing kangelan rambah-rambah, malah ana sing sakrupyukan, f. 1225 rupiyah, aja maido.
TERJEMAHAN: Gampang menjadi susah. Misalnya dibalik bagaimana? Kita bersusah-payah dahulu. Kira-kira akan membuahkan hasil yang mudah memetiknya. Kenapa tidak dicoba? Yang menulis buku ini (Ki Padmasusastra) berkali-kali memetik buah dari hasil bersusah-payah
 
KESIMPULAN
Pemalas ditambah suka keluh kesah adalah sejelek-jelek orang dan tidak ada apapun yang bisa kita peroleh dari orang pemalas. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh orang yang hanya mau disuapi tanpa jerih payah. Lebih-lebih di jaman sekarang yang semuanya serba cepat dengan persaingan yang makin ketat. Tentunya yang terpilih adalah si rajin yang mau kerja, telaten dan tanpa keluh kesah.
Banyak keuntungan dan kelebihan orang rajin. Rajin adalah mata air keberuntungan sekaligus kesehatan. Orang rajin tidak hanya mendapat imbalan tetapi juga pujian. Tidak ada jerih payah tanpa imbalan. Syaratnya adalah ketelatenan, kesungguhan dan kesabaran. (IwMM)

PITUTUR KUMPULAN 14: ORANG TUA DAN ANAK

Semua orang pernah menjadi anak dan pada saatnya nanti akan menjadi orang tua. Demikian pula orang tua pernah juga menjadi anak. Alangkah indahnya bila orang tua dan anak melakukan yang terbaik untuk diri mereka pada masa mereka menjadi orang tua maupun anak supaya tidak menyesal di kemudian hari.
 
Pitutur ini dicuplik dari Layang Madubasa, Ki Padmasusastra Ngabèi Wirapustaka di Surakarta, 1912. Pitutur asli dalam bahasa Jawa dapat dibaca dengan tulisan berhuruf miring sedang terjemahan agak bebasnya ada di bawahnya. Selamat membaca, kiranya bermanfaat.
 
 
1. AYAH DAN IBU INGIN ANAKNYA MENJADI ORANG UTAMA
 
Bapa biyung iku kêtêmpuh mikir marang anake supaya ing têmbe bisa dadi wong mursid, ora cukup mung ngrupakake bôndha bau dipitayakake marang guru bae, iya uga kudu mikir marang kadadiyaning têmbe gone ngomah-omahake bisaa olèh bocah bêcik, yèn bocah lanang amiliha bocah wadon kang ayu rupane, bêcik atine, yèn anak wadon olèha bocah lanang kang pintêr trahing kartiyasa (= priyayi).
 
TERJEMAHAN: Yang selalu dipikirkan kedua orang tua kepada anaknya adalah supaya di kemudian hari menjadi orang yang utama dalam hidupnya. Tidak cukup menyediakan biaya, tenaga dan mempercayakan kepada guru saja. Tetapi juga harus memikirkan saat anak berkeluarga nanti bisa mendapat suami atau istri yang baik. Kalau anak laki-laki hendaknya bisa memperoleh istri yang cantik dan baik hati, kalau anak perempuan bisanya memperoleh suami yang pandai syukur keturunan priyayi.
 
 
2. TANGGUNGJAWAB KEPADA ANAK: SEUMUR HIDUP
 
Suka bungaha yèn kowe ginanjar dening Pangeran: duwe anak, nanging rumasaa yèn anak iku dadi têtanggunganmu gêdhe ing atase kuwajibanmu, mulane aja pêgat ênggonmu nglakoni kuwajiban mau: bapa dadi pangayomaning anak, dibisa murih wêdining anak marang bapa kongsi umur 20 taun, sarta dibisa mardi ngajèni marang bapa kongsi tumêkaning pati. Dene kuwajibaning bapa dadi paguroning anak kongsi umur 10 taun, nglungguhana dadi sudarmaning anak kongsi umur 20 taun, sarta dadia sumitraning anak kongsi tumêkaning pati, yèn lali mung dèn elikake.
 
TERJEMAHAN: Berbahagialah kalau kita kalau Tuhan menganugerahkan anak kepada kita. Tetapi ingatlah bahwa mempunyai anak berarti punya kewajiban untuk bertanggungjawab. Jangan kendor dalam melaksanakan kewajiban tersebut: Ayah adalah pengayom anak. Upayakan supaya sampai umur 20 tahun anak takut kepada ayah dan tetap menghormati ayah sampai mati. Adapun kewajiban bapak sebagai guru adalah sampai anak umur 10 tahun, selanjutnya menempatkan diri sebagai ayah sampai umur 20 tahun, dan terakhir tetap menjadi teman bagi anak sampai mati. Bila anak lupa cukup mengingatkan.
 
 
3. MENYEKOLAHKAN ANAK: TABUNGAN SEUMUR HIDUP
 
Nglêbokake anak marang pamulangan, iku padha uga karo nglêbokake dhuwit marang celengan kang ora binukak ing salawas-lawase sarta bakal olèh uyah-uyahan saka nggone ora motangake.
 
TERJEMAHAN: Menyekolahkan anak sama dengan menyimpan tabungan yang tidak pernah dibuka selama-lamanya dan akan memperoleh bunga dari hasil tidak meminjamkannya.
 
 
4. HASIL MENYEKOLAHKAN ANAK: DINIKMATI BANYAK ORANG
 
Bocah kang pinardi ing kapintêran kalêbokake marang pamulangan akire ora mung gawe kabêgjaning bocah iku bae, iya uga tumular ing akèh.
 
TERJEMAHAN: Anak yang dididik supaya pandai, disekolahkan, pada akhirnya tidak hanya memberi manfaat pada anak itu saja tetapi juga kepada orang banyak.
 
 
5. YANG LEBIH UTAMA: TANAMKAN JIWA PENGABDIAN DAN KESETIAAN
 
Anggêgulanga anak tinanduran wijining kadarman, iku angluwihi utama tinimbang winuruk lakuning tatakrama, sarta pêrdinên anduwèni pambêgan sêtya tuhu, iku angluwihi ajining kawasisan, D. K. 1912. No 87. Piwulang Logevrijmetselaar, Vrijdenker.
 
TERJEMAHAN: Menanamkan nilai-nilai pengabdian lebih utama daripada mendidik tatakrama. Menanamkan sifat setia lebih bernilai daripada kepandaian.
 
 
6. KASIH SAYANG KEPADA ANAK: TIDAK PERLU DIPAMERKAN
 
Kabêcikan sarta katrêsnaning bapa biyung marang anak, aja sok dipamèr-pamèrake marang liyan, mundhak diewani, iku dudu prakara anèh.
 
TERJEMAHAN: Kebaikan dan kasih-sayang ayah ibu kepada anak tidak usah dipamerkan kepada orang lain. Hanya akan menumbuhkan ketidak-senangan. Hal tersebut bukan barang aneh
 
 
7. JANGAN MEMANJAKAN ANAK
 
Kawajibaning bapa marang anak, kajaba awèh sandhang pangan sadurunge mêntas, awèh wiji pitutur bêcik, tinandurake ing angên-angêning bocah, supaya tuwuh budine rahayu, sarta pinrêtêk ing piwulang kang amumpuni, iku bakal langgêng uripe kapenak, nganti tumêka ing pati dadi wong utama, beda karo anak kang dinama-dama, winehan rajabrana agung, inguja sakarêpe, iku ora mêsthi dadi bêcik, luput-luput malah dadi wisaning awake: bisa dadi papa, rajabranane wis andhisiki lunga jrone jibar-jibur.
 
TERJEMAHAN: Kewajiban bapak kepada anak selain mencukupi sandang pangan sebelum anak itu mandiri, juga memberi pitutur yang baik, menanamkan dalam sanubari  supaya menjadi anak yang berbudi baik dan memberikan pendidikan yang mumpuni. Hal ini merupakan bekal sehingga di kemudian hari anak akan hidup senang, menjadi orang utama sampai matinya. Lain halnya dengan anak yang dimanjakan dengan harta benda dan dibiarkan semaunya sendiri. Tidak akan menjadi baik, salah-salah menjadi racun yang mengakibatkan kepapaan. Hartanya pergi lebih dahulu selama ia bersenang-senang.
 
 
8. MEMANJAKAN ANAK: MERACUNI DIRI SENDIRI
 
Anggêdhèkake atining bocah kang marga saka ing pangugung, iku prasasat awèh wisa marang awake dhewe
 
TERJEMAHAN: Menyenangkan hati anak dengan memanjakan sama dengan meracuni kepada diri sendiri
 
 
9. ANAK: TAKUT DAN MENURUT KEPADA AYAH, SAYANG KEPADA IBU
 
Mungguhing anak marang bapa biyung: (1) Marang bapa, diwêdi sarta ambangun turut, iku wis ngènthèngake kuwajibaning bapa. (2) Marang biyung, diasih trêsna, nanging aja ngadi-adi, iku wis mayarake kuwajibaning biyung.
 
TERJEMAHAN: Yang seharusnya dilakukan anak kepada ayah dan ibu: (1) kepada ayah takut dan menurutlah. (2) kepada ibu cintailah sewajarnya. Itu sudah meringankan kewajiban ibu. ke3dua hal tersebut sudah meringankan kewajiban kedua orang tua.
 
 
10. ANAK: MENURUT KEPADA AYAH DAN IBU

Nurut parentahing bapa biyung iku: pait, sumurupe lêgi: yèn wis duwe anak.

TERJEMAHAN: menurut kepadaa ayah dan ibu itu pahit. Tahunya manis kalau sudah punya anak sendiri.
 
11. BAPAK: TIDAK MINTA BALASAN MACAM-MACAM
Katrêsnaning bapa marang anak, ora anjaluk walêsan kang adi aèng, mung jaluk dituruta parentahe, iku wis ngènthèngake têtanggunganing bapa, aja malês ngadi-adi anjaluk diugung, iku ngabotake têtanggunganing bapa.
TERJEMAHAN: Cinta ayah kepada anak tidak meminta balasan yang tinggi dan sulit. Cukup dituruti perintahnya. Hal tersebut sudah meringankan tanggungan ayah. Jangan minta dimanjakan karena akan memberatkan beban ayah.
 
12. AYAH IBU: HANYA MENETAPI KEWAJIBAN
Ala bêciking anak saka panggawening bapa biyung, yèn anak iku dadi ala, bapa biyunge kang luput, yèn dadi bêcik, mung lagi nêtêpi prajanjian, sah utange kang ora bakal disauri (utanging anak marang bapa biyung).
TERJEMAHAN: Baik buruknya anak adalah hasil perbuatan orang tua. Kalau anak menjadi jelek, yang salah kedua orang tuanya. Kalau anak menjadi baik, hanya karena menetapi kewajiban sebagai orang tua. Hutang anak lunas tanpa harus mengembalikan.
 
13. PERTOLONGAN ORANG TUA: TIDAK BISA LANGGENG
Anak kang ngandêlake pitulunganing bapa biyung, amarga koncatan musthikaning kawruh: istiyar lali yèn bapa biyunge bakal ora langgêng trêsna lan rumêksane, dening prakara sapele: mati.
TERJEMAHAN: Anak yang mengandalkan bantuan orang tua karena tidak memiliki bekal ilmu pengetahuan hendaknya ingat bahwa kasih dan pemeliharaan oleh orang tua tidak langgeng karena satu hal: kematian.


KESIMPULAN

Mempunyai keturunan adalah anugerah Allah. Orang tua seharusnya tidak menyia-nyiakan anugerah tersebut. Siapkan diri dan siapkan anak sehingga kelak menjadi orang yang utama. Menyekolahkan anak merupakan tabungan yang tidak pernah dibuka seumur hidup. Anak yang berpendidikan akan bermanfaat untuk orang lain disamping untuk diri sendiri. Oleh sebab itu sejak awal jangan kita memanjakan anak, karena buahnya hanya merupakan racun bagi diri sendiri. Amat penting untuk menanamkan nilai-nilai pengabdian dan kesetiaan kepada anak.

Anak harus takut dan menurut dan sayang kepada kedua orang tua. Anak jangan minta dimanjakan. Orang tua tidak meminta balasan macam-macam, karena hanya menetapi kewajiban sebagai orang tua. (IwMM)

Saturday, February 25, 2012

TAMBA TEKA LARA LUNGA


Obat datang penyakit pergi. Mungkin ini harapan orang yang mencari pengobatan. Sakit memang tidak enak. Perilaku orang sakit biasanya ditangani sendiri dulu. Entah kerokan, atau sekedar gosokan minyak kayu putih, minum jamu yang dia tahu atau upaya mandiri lainnya. Kalau diobati sendiri satu dua hari tidak berhasil, barulah ia mencari seseorang yang dipandang mampu memberikan solusi. Bisa ke penyembuh tradisional, mungkin menemui Bidan di Desa. ke Puskesmas Pembantu, atau langsung ke dokter terdekat, bisa di Puskesmas atau Dokter Praktek Swasta. Bahkan ada yang langsung ke Dokter Spesialis, kalau perlu langsung ke luar negeri.

Semuanya dengan harapan amat tinggi yaitu “tamba teka lara lunga”. Inilah salah satu penyebab banyaknya orang minta suntik. Bahkan mau suntik dua, pantat kiri dan pantat kanan sekaligus. Ada seorang pasien yang begitu dramatis menceriterakan: “Begitu jarum masuk, terasa obat mengalir ke seluruh badan, tak lama kemudian saya berkeringat. Adem panas dan ngelu saya langsung hilang”. Itulah sebabnya kalau hanya diberi resep, merasa belum diobati. Apalagi ketika nebus obat di apotik, sudah mahal harganya, sakitnya tidak langsung hilang.

“Tamba teka lara lunga” adalah harapan “sembuh seketika”. Mana ada orang sakit sembuh seketika. Yang bisa hilang seketika hanyalah “gejalanya” sedang sakitnya ya nunggu nanti beberapa-hari lagi. Sakit Flu saja butuh beberapa hari untuk sembuh. Bahkan ada yang minimum 6 bulan sampai setahun seperti Kusta dan Tuberkulosis paru. Demikian pula sebenarnya ada yang perlu dikontrol seumur hidup, seperti kencing manis dan darah tinggi.

Harapan “Tamba teka lara lunga” menjadi kekecewaan ketika yang terjadi "Tamba teka lara ora lunga-lunga". Kalau tidak diiimbangi dengan penjelasan kepada pasien bahwa insyaallah penyakitnya akan sembuh kira-kira sekian hari, sekian bulan, atau perlu kontrol secara berkala dan sebagainya akan menyesatkan dan kasihan si sakit. Kalau ia punya uang ia akan pergi ke tempat lain dan ke tempat lain lagi. Bahayanya ia akan ganti-ganti obat, dan kalau obatnya "antibiotika" ancamannya adalah resistensi obat yang harus dibayar lebih mahal, baik harga obat maupun waktu pengobatannya.

Entah sejak kapan mindset “tamba teka lara lunga” ini ada. Mungkin pada jaman masih banyak orang sakit “panas tis” (panas dan atis atau panas dan dingin) alias malaria dan disuntik kina dan antipirin. Atau pada jaman suntik masih menjadi “icon” pengobatan modern dan orang dengan keluhan pegel linu disuntik obat anti sakit (analgetika).

Tidak semua penyakit perlu suntik. Bila terjadi “tamba teka lara ora lunga-lunga” itu hal yang wajar. Penyakit butuh waktu untuk penyembuhannya. Oleh sebab itu kita lebih baik menjaga kesehatan dengan membudayakan “Perilaku Hidup Bersih dan Sehat” sehingga “ora mertamba nanging lelara ora teka”,  tidak berobat tetapi penyakit tidak datang. Kalau ditimpa sakit memang kita harus berobat, tetapi harus sadar bahwa tidak mungkin ... “ewes ewes ewes penyakit beres” (IwMM)

Most Recent Post


POPULAR POST