Melanjutkan tulisan: Gugon tuhon, tidak sekedar “ora ilok” (4): Perilaku makan (A), maka dalam perilaku makan (B)
tentang apa yang kita makan, keadaannya menjadi lebih rumit. Disini kita akan lebih
banyak mendapatkan “gugon tuhon” yang sulit dicerna akal dan memang tidak masuk
akal, kecuali dalam bahasa perlambang. Beberapa contoh di bawah dapat dijadikan
acuan.
1. AJA SOK SARAPAN SEGA WADHANG, MUNDHAK PETENG ATINE
“Sega
wadhang” adalah nasi sisa tadi malam. Orang Jawa jaman dulu mengatakan “hawa sega wadhang amat dingin”. Kalau kita pagi-pagi sarapan “sega wadhang” kemudian
berangkat kerja atau sekolah, maka hawa dingin akan bertentangan dengan panas
siang hari. Badan kita akan meriang, panas dingin. Otak menjadi tumpul, malas
kerja.
Bagaimanapun
yang satu ini masih masuk akal. Nasi yang sudah menginap semalaman, tidak hanya
keras dan dingin tetapi juga berpeluang tercemar bibit penyakit lebih-lebih
bila tempat menyimpannya tidak aman, dapat dimasuki serangga pembawa penyakit, misalnya kecoak.
Bukannya kita tidak boleh makan sega wadhang. Sepanjang disimpan
baik-baik dan sebelum dimakan dipanasi lebih dahulu sesuai aturan pemanasan,
tentunya aman. Hanya kalau kita tidak bisa menjamin keamanannya, lebih baik tidak usah dimakan.
2. AJA SOK MANGAN IWAK TELAMPIK, MUNDHAK DITAMPIK JAKA
UTAWA PRAWAN
“Telampik”
adalah sayap unggas yang bisa digunakan untuk memukul (ngabruk, nladhung)
musuh-musuhnya. Kata “Telampik” berasal dari kata dasar “Tampik” (tolak) dengan
sisipan “el”. Analoginya sekaligus perlambang,
kalau makan sayap ayam (telampik, chicken wings) nanti saatnya cari jodoh akan
ditampik (ditolak). Tidak hanya ditampik saat cari jodoh, tetapi akan ditolak untuk semua yang urusannya
menggunakan prosedur lamaran. Mencari kerja, mengirim artikel ke koran atau
majalah, dll. Benar apa tidak, sumangga.
3. AJA SOK MANGAN BRUTU, MUNDHAK KEDHUWUNG BURI. LUWIH
BECIK MANGANA ENDHAS UTAWA CAKAR BAE. KAREBEN BISA CUCUK-CUCUK UTAWA
CEKER-CEKER
Yang ini
juga hanya bisa dipahami dengan bahasa perlambang. Brutu (bagian ekor ayam,
chicken ass) rasanya paling gurih, didukung dagingnya yang lunak dengan tulang
amat kecil. Sementara kepala dan ceker ayam tulangnya besar dagingnya pun
sedikit. Otak ayam memang enak, tetapi kita harus memecah tulang kepala lebih
dahulu sebelum menyantapnya.
Bahasa perlambang
disini adalah: sesuai peribahasa “bersakit-sakit dahulu bersenang-senang
kemudian” maka anak muda yang makan brutu ibarat “bersenang-senang dahulu”. Seterusnya bisa
menyesal seandainya di belakang hari yang terjadi adalah “bersakit-sakit
kemudian”. Yang diperlukan sekarang ini adalah: Ceker (kaki ayam) untuk mencari
makanan dan paruh (yang ada di kepala ayam) untuk mematuk makanan.
4. AJA MANGAN IWAK ATI, MUNDHAK SEBEL ING SAMUBARANG
Hati ayam,
sebenarnya termasuk juga alat dalam (jeroan) yang lain seperti usus dan
jantung, termasuk yang tidak boleh dimakan. Yang jelas “jeroan” itu enak, lunak
dan tidak bertulang. Orang Barat pada umumnya tidak makan “jeroan”. Orang
Maluku Utara tahun 1980an awal juga tidak suka jeroan, sehingga teman-teman
Jawa yang mau bikin nasi tim untuk balitanya kesulitan cari hati ayam, kecuali
ada orang menyembelih ayam, kita minta jeroannya sebelum keburu dibuang. Yang
jelas “jeroan” kholesterolnya tinggi.
5. AJA SOK ANGGANYANG KRAMBIL, MUNDHAK KREMINEN
Parutan
kelapa memang menyerupai “cacing keremi” tetapi tidak ada keterkaitan sama
sekali antara makan daging kelapa dengan penyakit kecacingan khususnya
“kereminen”. Walau demikian kelapa yang sudah siap di dapur untuk dijadikan
bumbu masak, misalnya santan, janganlah kita pindah ke mulut. Kelapa yang jadi
bumbu akan berkurang dan pada gilirannya sedap dan gurihnya makanan pun akan
berkurang
6. AJA SOK LALAP NGANGGO LOMBOK ABANG, MUNDHAK ORA
DUWE SEDULUR
Lombok
merah, maksudnya lombok yang besar umumnya digunakan untuk membuat sambal,
bukan untuk “diceplus” sebagai lalap waktu kita menyantap tahu bacem atau tempe.
Entah apa sebabnya lombok besar tidak kita pakai sebagai lalap. Apa barangkali
ada “wewaler” (larangan) bahwa kalau lalap lombok merah akan tidak punya teman?
Reasoningnya tidak ada. Yang berlaku umum adalah lombok rawit untuk lalap dan
lombok merah termasuk juga lombok hijau untuk sambal. Orang yang mengeremus
lombok merah untuk lalap akan dianggap nyentrik. Kalau tidak percaya silakan
coba di depan umum.
7. NEK ISIH
BOCAH DHEMEN MANGAN INTIP, BESUK TUWANE SUGIH SANDHANGAN
Bedakan
dengan intip goreng atau intip yang dikrawu dengan kelapa parut karena yang dua
ini masuk katagori “nyamikan” (penganan). “Intip” yang dimaksud disini adalah
kerak nasi dari hasil kita menanak nasi dengan cara diliwet. Jelas keras dan
liat, jadi mengunyahnya harus lebih telaten. Kalau mau lunak ya direndam dulu
dengan kuah sayuran, misalnya lodeh.
Keterkaitan
antara suka makan intip dengan kelak punya banyak baju jelas tidak ada. Tetapi
nilai ketelatenan dari orang yang makan intip bila diikuti dengan ketelatenan
dalam melakukan sesuatu, misalnya sekolah, bekerja, menabung dan sebagainya
tentunya akan berbuah: mampu beli baju banyak.
8. YEN MANGAN SEMANGKA, NANGKA SABRANG (SIRSAT), SAWO
LAN SANESIPUN INGKANG MAWI ISI ALIT-ALIT: BANGSANIPUN KECIK, AJA NGANTI KATUT
ISINE, MUNDHAK THUKUL ANA NGEMBUN-EMBUNAN
Biji
buah-buahan apa saja yang tertelan jelas tidak akan bersemi dalam tubuh kemudian
tumbuh dan nongol di jidat kita. Biji-biji itu tidak tercerna tetapi akan
keluar bersama kotoran waktu kita buang air besar. Kalau perut banyak kemasukan
barang keras yang tidak bisa dicerna, bisa saja terjadi gangguan
pencernaan. Nasihatnya benar, tetapi alasannya tidak masuk akal. Untuk menakut-nakuti
anak memang cespleng, sehingga anak-anak hati-hati kalau makan buah-buahan
yang berbiji, daripada di kepalanya tumbuh pohon.
9. AJA NGEMUT KECIK, MENGKO NEK KOLU MUNDHAK THUKUL
ANA NGEMBUN-EMBUNAN
Hampir sama
dengan angka 8 di atas. Bedanya yang satu kita sedang makan buah dan yang ini kita
memang mengulum biji buah tanpa makan buah. “Kecik” adalah biji sawo kecik.
Jaman dulu dipakai anak-anak untuk main dakon atau adu kecik. Sering dengan
sadar atau tanpa sadar biji sawo ini mereka kulum seperti permen, dengan risiko tertelan. Tidak ada masalah dengan biji
yang tertelan, tidak akan tumbuh di dahi kita. Yang jelas, biji buah yang sudah
dijadikan alat bermain dan pindah-pindah tangan tentunya kotor. Mengulum barang
kotor sama dengan mendekatkan penyakit. Jadi nasihatnya benar tetapi
penjelasannya harus diluruskan.
KESIMPULAN
Terkait
dengan makanan yang kita makan maka gugon tuhon lebih banyak yang tidak masuk
akal. Larangan untuk tidak makan sesuatu harus kita cermati baik-baik. Misalnya
larangan makan sesuatu yang bergizi dan ditujukan kepada anak-anak yang masih
tumbuh kembang dan ibu hamil. Kalau kita ragu, tanyakan kepada ahlinya. Diantara larangan tersebut ada yang masuk
akal dan benar, tetapi penjelasannya yang mengada-ada. Hal ini perlu diluruskan supaya tidak terjadi
salah terima (IwMM).
Dilanjutkan
ke: Gugon tuhon, tidak sekedar “ora ilok” (6): Perilaku minum
1 comment:
Jangan lupa kunjungi juga FahmiBlog
Post a Comment