Sunday, August 19, 2012

SERAT WEDHATAMA: DEN AWAS, DEN EMUT, DEN MEMET, YEN ARSA MOMOT



Kalimat ini dapat dibaca pada pupuh Gambuh bait ke 25 dalam Serat Wedhatama anggitan KGPAA Sri Mangkunegara IV: Den awas, den emut, den memet yen arsa momot. jadi tujuan kita adalah MOMOT yang supaya bisa dipenuhi harus AWAS, EMUT dan MEMET.

Bait ini merupakan bait penutup Serat Wedhatama (walaupun ada versi Serat Wedhatama yang ada lanjutannya).

Lengkapnya sebagai berikut:



MOMOT

Momot adalah kapasitas memuat. Ibarat sebuah truk, maka kapasitas muatnya selain bergantung pada ukuran truk, makin besar makin muat banyak, bergantung juga kepandaian kita menata barang yang dimuat. Makin rapi penataannya, makin besar pula daya muatnya. .

Yang harus dimomot manusia bisa macam-macam. Antara lain kecerdasan baik intelektual maupun spiritual; Kemampuan menyampaikan pendapat secara runtut dan benar; Kreativitas dan inovasi; Jangan lupa juga bahwa sifat sabar dan kemampuan menyimpan rahasia merupakan kemampuan “momot” juga.

Oleh sebab itu syarat untuk bisa “momot” adalah “AWAS, EMUT dan MEMET


AWAS


“Awas” adalah sifat “waskita”, artinya tanggap penglihatan lahir dan batinnya. Dalam pupuh Kinanthi bait ke 4 (gambar di sebelah) disebutkan:

Dalam hal ini “awas” berarti “weruh warananing urip” (warana: aling-aling). Jadi tahu apa yang ada di balik kehidupan ini, dan “weruh wisesaning tunggal” yang artinya dilandasi kesadaran atas kekuasaan Allah yang Maha Esa.

EMUT

Pengertian “Emut” (eling) yang dalam hal ini adalah ingat kepada Allah SWT saya tulis dalam “Badan dan jiwa yang rewel”. Salah satunya adalah “eling” bahwa manusia ini tidak maha kuasa. Dengan demikian rasa “eling” ini menjadi penyeimbang supaya tidak tumbuh ketakaburan bahwa kita sudah menjadi orang yang “waskita”. 

MEMET

“Memet” adalah sifat yang amat teliti. Kita tidak sembarang mengucapkan, memutuskan dan melaksanakan sesuatu sebelum dipertimbangkan masak-masak. Deduga, prayoga, watara dan reringa harus dipergunakan.

MELOK

Pada baris pertama sd ke tiga pupuh Gambuh bait ke 25 di atas disebutkan “meloke ujar iku; yen wus ilang sumelanging kalbu; amung kandel kumandel marang ing takdir. Pengertian “Melok” adalah melihat dengan jelas sejelas-jelasnya. Hal ini hanya dimiliki orang-orang  yang hatinya tidak memiliki rasa was-was lagi karena tingginya keimanan kepada takdir Ilahi.

MULUK

Kata “muluk” kita jumpai pada bait sebelumnya, yaitu pada pupuh Gambuh bait ke 24, sebagai berikut:


Orang yang sudah “muluk” artinya tingkat ilmunya diakui sudah tinggi sekali, ibarat layang-layang yang “muluk” tinggi ke langit. Orang yang sudah “melok” akan “muluk”. Sebagai contoh, andaikan kita seorang dokter, maka bila ilmu kedokteran kita sudah “melok” kita akan diberi ijazah dokter, kemudian setelah memiliki  ijin praktek, barulah kita boleh muluk sesuai dengan kata-kata: “kena uga wenang muluk; kalamun wius padha melok”.

Tapi awas jangan lupa pesan pada baris pertama sampai ke tiga: “kalamun durung lugu; aja pisan wani ngaku-aku; antuk siku kang mangkono iku kaki”. Kalau kita belum bisa “lugu” dalam pengertian kalau kita belum mampu bersikap apa adanya, alias biasa-biasa saja, tidak sombong, jangan berani-berani mengaku-aku (sebagai orang yang sudah “melok” dan “muluk”) karena akan “antuk siku” atau mendapat kutukan Tuhan.

KESIMPULAN
 
AWAS, EMUT dan MEMET adalah modal dasar dalam upaya kita memperoleh kompetensi  MELOK dan memegang  legitimasi MOMOT, sehingga diperkenankan MULUK, dengan catatan harus tetap LUGU supaya tidak mendapat SIKU (IwMM)

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST