“Uler” (ulat) oleh Ki Padmasusastra ngabehi Wirapustaka dalam Serat Madubasa, 1912, dijadikan contoh makhluk angkara yang bertaubat, diterima taubatnya dan dinaikkan derajatnya oleh Allah. Lengkapnya adalah sebagai berikut:
Uler dadi amaning tetanduran, ngrikiti godhong nganti pundhes, tanpa welas marang wit kang nguripi awake, suprandene bareng tekaning mangsa tuwa eling marang panggawe becik, tobat maring Pangeran, tapa brata nyuwun pangapura: angenthung, lawas-lawas narima ambabar dadi kupu, bisa ngambah ing gegana sarta salin pakareman mung ngisep maduning kusuma, gek kepriye yen manungsa kang duwe kalakuan ala ora bisa mari nganti tumeka ing pati, apa kalah karo pakartining khewan cilik.
Terjemahannya:
Ulat menjadi hama tanaman, memakan dedaunan sampai tandas, tanpa kenal ampun kepada pohon yang menghidupi dirinya. Walau demikian, pada hari tua si ulat ingat akan perbuatan baik, ia bertaubat kepada Tuhan, bertapa memohon ampunan, berubah menjadi kepompong, lama kelamaan berubah menjadi kupu-kupu, bisa terbang dan berubah perilaku, hanya mengisap madunya bunga. Lalu bagaimana dengan manusia yang punya kelakuan tidak baik, tidak bisa berhenti sampai mati. Apa kalah dengan perbuatan binatang kecil.
Marilah kita lupakan sejenak bahwa proses metamorfose ulat menjadi kupu-kupu memang demikian. Tapi marilah kita lihat bagaimana orang dulu melihat alam dan gejalanya kemudian mengambil perumpamaan untuk manusia. Ulat yang rakus, kemudian sadar, lalu mesu sarira, dan memetik hasilnya menjadi makhluk yang indah dengan perilaku yang terpuji pula. Yang semula merusak, sekarang memperbaiki dengan membantu penyerbukan.
Bagaimana dengan manusia? Ada peribahasa yang mengatakan bila manusia sudah “ngrasakake legining gula”, tahu merasakan manisnya gula, maka ia tidak ingin kehilangan gula itu. Ia akan berupaya, apapun supaya gula yang manis tetap dapat ia kulum. Lupa bahwa ada saatnya kebanyakan gula membuat manusia sengsara, ketika ia kena sakit kencing manis.(IwMM).
Uler dadi amaning tetanduran, ngrikiti godhong nganti pundhes, tanpa welas marang wit kang nguripi awake, suprandene bareng tekaning mangsa tuwa eling marang panggawe becik, tobat maring Pangeran, tapa brata nyuwun pangapura: angenthung, lawas-lawas narima ambabar dadi kupu, bisa ngambah ing gegana sarta salin pakareman mung ngisep maduning kusuma, gek kepriye yen manungsa kang duwe kalakuan ala ora bisa mari nganti tumeka ing pati, apa kalah karo pakartining khewan cilik.
Terjemahannya:
Ulat menjadi hama tanaman, memakan dedaunan sampai tandas, tanpa kenal ampun kepada pohon yang menghidupi dirinya. Walau demikian, pada hari tua si ulat ingat akan perbuatan baik, ia bertaubat kepada Tuhan, bertapa memohon ampunan, berubah menjadi kepompong, lama kelamaan berubah menjadi kupu-kupu, bisa terbang dan berubah perilaku, hanya mengisap madunya bunga. Lalu bagaimana dengan manusia yang punya kelakuan tidak baik, tidak bisa berhenti sampai mati. Apa kalah dengan perbuatan binatang kecil.
Marilah kita lupakan sejenak bahwa proses metamorfose ulat menjadi kupu-kupu memang demikian. Tapi marilah kita lihat bagaimana orang dulu melihat alam dan gejalanya kemudian mengambil perumpamaan untuk manusia. Ulat yang rakus, kemudian sadar, lalu mesu sarira, dan memetik hasilnya menjadi makhluk yang indah dengan perilaku yang terpuji pula. Yang semula merusak, sekarang memperbaiki dengan membantu penyerbukan.
Bagaimana dengan manusia? Ada peribahasa yang mengatakan bila manusia sudah “ngrasakake legining gula”, tahu merasakan manisnya gula, maka ia tidak ingin kehilangan gula itu. Ia akan berupaya, apapun supaya gula yang manis tetap dapat ia kulum. Lupa bahwa ada saatnya kebanyakan gula membuat manusia sengsara, ketika ia kena sakit kencing manis.(IwMM).
No comments:
Post a Comment