Sunday, November 20, 2011

MIKUL DHUWUR MENDHEM JERO

Mikul: memikul; Dhuwur: tinggi; Mendhem: mengubur; Jero: dalam. Kalau diterjemahkan menjadi “Memikul yang tinggi dan mengubur yang dalam”. Ungkapan ini mengandung pitutur cara bersikap seseorang kepada leluhurnya, kepada pimpinannya dan satu lagi kepada “tanah air”.

Mikul dhuwur”, pikullah yang tinggi maksudnya supaya seseorang senantiasa menjunjung tinggi nama leluhur atau pimpinan. Sebaliknya “mendhem jero”, mengandung maksud supaya kita melupakan hal-hal kurang baik leluhur kita, pimpinan kita. Kuburlah yang dalam tak usah diungkap-ungkap lagi.
 

Pitutur ini mengandung pro dan kontra. Kalau bicara leluhur, mungkin kita akan setuju. Andaikan bapak dulu penipu dan embah kala itu maling maka kita akan berupaya supaya hal-hal buruk yang terjadi pada mereka tidak kita ekspose dan tidak akan pernah membahas, syukur bisa melupakan samasekali. Sebaliknya hal-hal kecil terkait dengan kehebatan leluhur pasti akan kita sosialisasikan kemana-mana. Misalnya bahwa embah saya dulu berjuang keras siang malam supaya anak-anaknya bisa sekolah, alhasil semua anaknya menjadi orang. Kalau kita mampu, kita bisa buat buku tentang leluhur kita. Kalau kerja kerasnya menjadi maling, tentunya tidak kita ceriterakan. Andaikan terpaksa ceritera, mungkin yang kita ceriterakan bahwa embah kita dulu maling budiman. Beliau hanya menyateroni rumah Belanda dan pegawai-pegawai Belanda saja.

Ceriteranya menjadi lain ketika kita harus “mikul dhuwur mendhem jero” kepada pimpinan. Bagi yang berpendapat bahwa pimpinan adalah pengganti orang tua, atau menyadari bahwa kita sekarang bisa menjadi seperti ini tak lain adalah atas kebaikan pimpinan, maka kita akan berpendapat seperti di atas. Tetapi bagi yang berpendapat buat apa “mikul dhuwur mendhem jero” kalau yang dipikul tidak mutu dan banyak kelakuan yang tidak pantas dicontoh, tentunya yang terjadi akan bertolak belakang. Pada kesempatan kita ngrumpi bersama teman-teman, baik sambil bekerja maupun di kantin, semua akan “ngrasani” tidak baik kepada pimpinan. Mungkin di seberang sana kuping boss tiba-tiba terasa panas, yang kata orang Jawa ngalamat sedang “dirasani” orang.

Namanya “pitutur” memang tidak harus diikuti. Pitutur bukan perintah. Jadi semua orang bebas menentukan sikap masing-masing dalam “mikul dan mendhem”.

Satu hal yang jarang dibahas adalah “mikul dhuwur mendhem jero” terkait dengan “Cinta tanah air”. Siapkah kita berpendirian seperti Kumbakarna (baca “Serat Tripama”) yang dengan tegas menyatakan “Right or wrong my country”. Ia serahkan nyawanya untuk ibu pertiwi. Ada sebuah peribahasa dalam bahasa Indonesia “Dimana bumi dipijak disitu adat dijunjung”, ini adalah pernyataan “mikul dhuwur mendhem jero” yang amat mendalam terhadap bumi tempat kita berpijak yang tak lain adalah tanah air kita.

Tulisan ini saya buat di cabin pesawat GA 609 Palu – Jakarta. Kebetulan saya membaca Koran Kompas 19 Nopember yang dibagikan Pramugari. Pada berita KTT ASEAN dan ASIA TIMUR: Panser RI Amankan Pemimpin Dunia. Sebuah pemandangan membanggakan ..... kisah tentang Panser Anoa buatan RI. Apalagi saat itu hadir pula presiden Obama. Inilah “mikul dhuwur”. Mudah-mudahan andaikata ada kelemahan-kelemahan panser itu, bukan bangsa kita yang menunjuk-nunjukkannya. Barulah itu yang dinamakan “mendhem jero”. Kalau ada kelemahan ya kita perbaiki tapi tak usah kita menelanjangi diri. Perlu dicatat: ini berbeda dengan mengakui kelemahan atau kesalahan diri. Rasanya untuk “tanah air” tempat berlindung di hari tua, tempat akhir menutup mata, maka harus kita bela dengan semangat “mikul dhuwur mendhem jero” (IwMM).

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST