Sudah agak lama saya
tidak ketemu Darman. Minggu lalu ia datang, bawa oleh-oleh dari luar negeri.
Rupanya ia mengikuti short course selama beberapa bulan. “Barang kecil,
mudah-mudahan Bapak dan Ibu suka”. Mana ada oleh-oleh tidak menyenangkan dan
yang ia bawa memang cocok buat kita.
Selanjutnya ia
berceritera hal-hal lucu yang dia alami di sana (Ia baru satu kali ini keluar
negeri sendirian. Beberapa kali ikut rombongan, termasuk Umrah). Selanjutnya
dan selanjutnya lagi ia bertanya yang membuat mulut saya yang tadinya ngakak
digantikan oleh dahi yang mengkerut, karena pertanyaannya termasuk sulit.
Yang dia tanyakan
adalah klausul terakhir dalam surat-surat keputusan yang kurang lebih berbunyi:
“Apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam penetapan keputusan ini akan
diadakan perubahan sebagaimana mestinya”. Apakah hal ini tidak berseberangan
dengan “Sabda Pandhita Ratu: “Yang sudah terucap harus dilaksanakan”. Darman
menambahkan: “Surat keputusan di negara lain sepertinya tidak menambahkan
kata-kata seperti itu”.
Inilah celakanya.
Saya bukan ahli hukum, saya sekedar ahli othak-athik gathuk amatiran. Tapi
jelek-jelek pernah juga tandatangan surat keputusan kecil-kecilan sesuai
tingkat kewenangan saya. “Gini, Man”. Saya jawab setelah berpikir beberapa
saat. “Harus dipahami bahwa sabda bukan keputusan. Sabda adalah ucapan pribadi
dan keputusan adalah surat penetapan institusional yang pembuatannya disiapkan
melalui telaah dan diparaf beberapa staf terkait sesuai urutan hirarkhi”.
Jaman sekarang karena
semua harus ada dasar hukumnya maka “Sabda” harus dikukuhkan dengan “serat
kekancing” atau surat keputusan. Untuk membuat surat keputusan ada tata
naskahnya dan tata aturan pembuatannya supaya sah secara hukum. Adapun “Sabda
Pandita Ratu” mengajarkan kita untuk tidak waton muni sesuai sindiran dari
tempe: esuk dhele sore tempe. Disitulah komitmen pribadi kita dinilai.
Tulisan di bawah, ada
dalam Serat Madubasa, anggitan Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka ing
Surakarta, 1912. dapat dibaca di website Yayasan Karya Lestari, Surakarta,
Sudah saya kutip sebelumnya sebagai bagian dari tulisan Pitutur Kumpulan 1:
Berbicara. Kiranya dapat digunakan sebagai rujukan.
SERAT MADUBASA: TULADHA DARI SRI PAKUBUWANA VII
Unen-unen: sabda pandhita pangandikaning ratu yen wis
tumiba ora kena owah.
Ana tetuladane nalika jumeneng dalem, P.B. VII ana onder
upsir malarat, wis ora bisa mara seba, dilalah ing sawiji dina ingkang sinuhun
kangjeng susuhunan, ngulawisudha onder opsir, utun dalem nyai tumenggung keliru
olehe andhawuhake timbalan dalem, marang kolonel komandhan, onder upsir kang
malarat mau kang winisudha, nganti agawe oreging pasewakan, awit sulaya karo
panyuwune kolonel komandhan, sanadyan mangkono iya dilestarekake, sarehning
onder upsir mau ora seba: banjur didhawuhake marang omahe panuju turu banjur
digugah, kalakon didhawuhake dadi upsir, bareng konjuk kauningan ing sampeyan
dalem, kacathet sajroning galih yen olehe andhawuhake nyai tumenggung kliru,
nanging ora dibatalake sarta ora andadekake deduka dalem, bareng ing dina
Senene manèh: misudha marang upsir kang benere disuwunake, sarta mundhut
balining arane upsir kleron, diparingake marang upsir anyar, opsir kleron,
kaparingan liru kaarana: Radèn Mas Panji Jayasupena, (dening lagi turu
winisudha) iki teteping unen-unen ing dhuwur mau: sabda pandhita pangandikaning
ratu (Madubasa)
TERJEMAHAN
Ucapan: “Sabda
pandhita pangandikaning ratu” kalau sudah diucapkan tidak bisa diubah. Ada
contoh pada masa pemerintahan Pakubuwana VII, pernah terjadi kekeliruan
mengangkat seorang bintara miskin menjadi perwira. Petugas yang ditugasi
memberitahu salah alamat, tidak sesuai dengan yang diusulkan kolonel komandan.
Sri Sunan tetap
mewisuda menjadi perwira walaupun pisowanan menjadi heboh. Lebih-lebih si calon
perwira tidak sowan menghadap, dan waktu disusul ke rumahnya, yang bersangkutan
masih tidur. Sri Sunan tahu kalau petugas salah menjalankan perintah, tetapi
tidak marah dan tetap mewisuda si perwira keliru tersebut.
Selanjutnya perwira
yang seharusnya dipromosikan diwisuda minggu depannya. Nama jabatan yang telah
diberikan kepada perwira keliru tersebut dikembalikan kepada perwira yang
seharusnya, dan si perwira keliru diberi nama jabatan baru yaitu Raden Mas
Panji Jayasupena (Supena: mimpi, orang mimpi berarti sedang tidur; Diberi nama
tersebut karena waktu dipanggil yang bersangkutan masih tidur).
Itulah: Sabda
pandhita pangandikaning ratu. Kalau sudah diucapkan harus dilaksanakan.
LIDING DONGENG
Demikianlah
kawicaksanan seorang raja. “Sabda” yang diucapkan tetap “pandita ratu”, Apa
yang telah terucap tetap dilaksanakan. Sri Sunan tidak marah, kesalahan bawahan
bisa manusiawi sehingga diambil alih pimpinan, tetapi kekeliruan diperbaiki.
Jabatan dikembalikan kepada yang punya kompetensi, yang tidak punya kompetensi
karena bukan kesalahannya, tetap dihargai. Mohon diperhatikan: prosesnya.
Kata-kata “apabila
terdapat kekeliruan akan diadakan perubahan” rasanya memang seharusnya ada.
Tentusaja ada catatannya. Jangan sering mengubah-ubah keputusan, karena
ceriteranya jadi lain. Demikian pula andaikan memang harus mengubah, prosesnya
juga harus pakai aturan yang sama dengan waktu membuat.
CATATAN: Tulisan ini
merupakan lanjutan dari beberapa tulisan tentang Sabda Pandita Ratu, yang terakhir adalah SABDA PANDITA RATU (3): ESUK DHELE SORE TEMPE