http://www.scientific-web.com/en/
|
Burung yang pandai “bicara” memang tidak hanya “burung Beo”. Jaman saya tugas di Maluku Utara dulu, saya piara burung
“Nuri” yang bisa nyanyi “Indonesia Raya” walau hanya sepotong. Tapi burung Nuri
bukan asli Jawa dan untuk membawa Nuri ke Jawa juga tidak gampang walaupun
makanannya gampang.
Burung “peniru” yang lebih populer dan bisa
menjadi “klangenan” (kesayangan) di Jawa adalah Beo. Saking kagumnya manusia
dengan burung beo yang pandai ngoceh, hal ini dimanfaatkan para penipu untuk
memperdayai orang-orang yang tertarik dengan Beo piawai dengan harga memadai.
Misalnya dengan rekaman, suara perut, atau media lain.
Manusia yang ngikuti omongan orang lain
sering dikatakan “mbeo” atau membeo. Jaman dulu ada istilah “yes man” yang
apa-apa “inggih” tanpa pikir, dan saya yakin “yes man” ini sekarang sudah tidak
ada lagi.
OMONGAN
YANG TIDAK BISA DIPERCAYA
Beo masih keluarga dengan Jalak. Atau beo
sama dengan Jalak? Saya bukan ahli burung. Mengapa saya lari ke Jalak, karena
Ki Padmasusastra dalam Layang Madubasa, 1912, menulis pitutur, menganalogkan Jalak dengan Manusia sebagai berikut:
Jalak bisa ngoceh, wong ala bisa nyatur, karo
pisan ora kalap, ocehing jalak tutur apa-apa ora kena ginugu, unining wong ala
padha bae tutur apa-apa iya ora kena ginugu, sanadyan kandhane temen, wong wis
kebacut sirna piadele, dening kerepe goroh.
TERJEMAHAN:
Burung Jalak bisa ngoceh, orang yang tidak baik bisa bertutur kata. Keduanya
tidak ada yang betul. Apa yang diocehkan burung jalak tidak dapat dipercaya
demikian pula halnya dengan tutur kata orang yang tidak baik. Orang lain sudah
terlanjur hilang kepercayaannya, karena saking seringnya berdusta.
Sebenarnya agak tidak adil karena apa yang
diomongkan manusia "yang tidak bisa dipercaya" adalah “dusta” sementara si Jalak
“bukan dusta”. Ia menjawab seperti itu karena tahunya hanya yang itu-itu
saja. Dongeng lama di bawah adalah contohnya:
BURUNG
BEO PAK KROMO: INGGIH MILA MEKATEN
Ceritera ini saya baca di Majalah Kejawen,
Balai Pustaka, 1940 tentang pak Kromo dan burung beonya. Saya terjemahkan
sebagai berikut:
Alkisah pak Kromo punya seekor burung Beo.
Tlaten ia mengajari burung Beonya berbicara. Lama-lama ya bisa ngomong jelas,
walau cuma tiga kata: “Inggih mila mekaten” yang artinya
adalah: “Ya, memang begitu”.
Suatu saat pak Kromo butuh uang. Ia bawa
burung Beonya ke pasar. Karena dirawat baik-baik oleh pak kromo, maka burung itu memang tampak
tampan: Gemuk, bersih dan bulunya mengkilat. Tidak terlalu lama sudah ada yang
menanyakan.
“Mau dijual berapa pak,Beonya?”
“Duapuluh lima rupiah” (Catatan: nilai rupiah saya tulis
sesuai bacaan aslinya)
“Wah lha kok mahal sekali?
“Wong sudah pandai bicara lho mas”, jawab
pak Kromo dan kebetulan pada waktu itu si Beo komentar: “Inggih mila mekaten”
Yang mau beli tidak pikir panjang lagi, ia
hitung uangnya dan dibayar kontan tanpa tawar-menawar. Sampai di rumah ia ceritera
pada isterinya yang juga ikut senang: “Beonya pandai sekali ya mas, sudah
seperti manusia saja”.
Si Beo pun menjawab: “Inggih mila mekaten”.
Dua minggu kemudian barulah si pembeli sadar
kalau burung Beonya hanya tahu tiga kata: “Inggih mila mekaten”. Betapa
kecewanya dia tetapi nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Ia bicara pada
isterinya: “Bune, dulu di pasar Beo itu bilang kalau pandai bicara. Ternyata
jauh dari kenyataan. Berarti dia pembohong ya, suka menipu”.
Yang menjawab si burung Beo: “Inggih
mila mekaten”. (IwMM)
No comments:
Post a Comment