Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita jumpai orang-orang yang mulutnya begitu mudah mengatakan kalimat bermakna “sanggup”. Di telinga memang sedap, kalau kita mendengar: “O beres, jangan kawatir” atau “Sipil mas, panjenengan saiki sare bae sesuk wis dadi”.
Kita juga mengenal ungkapan “inggah-inggih nanging ora kepanggih”. Di tempat lain orang mengatakan: “Sebentar, pak”. Padahal kenyataannya bisa sebentar siang, sebentar sore atau sebentar malam.
Sri Pakubuwana IV dalam
Serat Wulangreh, pupuh Gambuh bait ke 16 di bawah menyebutkan:
Terjemahannya kurang lebih: Jangan terlalu banyak mengatakan sanggup (pengertiannya: Menyanggupi untuk melaksanakan sesuatu atau mengetahui suatu masalah); Belum tahu masalahnya, tetapi banyak omongnya; Mendengar dari orang lain sepertinya mengetahui sendiri; Perasaannya banyak orang yang memuji (kemampuannya mengerjakan atau keluasan pengetahuannya); Sebenarnya mereka yang sudah tahu pada melengos (kuranglebihnya melengos berarti membuang muka plus mencibirkan bibir).
Wulangreh, Gambuh bait ke 16 |
Terjemahannya kurang lebih: Jangan terlalu banyak mengatakan sanggup (pengertiannya: Menyanggupi untuk melaksanakan sesuatu atau mengetahui suatu masalah); Belum tahu masalahnya, tetapi banyak omongnya; Mendengar dari orang lain sepertinya mengetahui sendiri; Perasaannya banyak orang yang memuji (kemampuannya mengerjakan atau keluasan pengetahuannya); Sebenarnya mereka yang sudah tahu pada melengos (kuranglebihnya melengos berarti membuang muka plus mencibirkan bibir).
Jadi orang ini dalam
bahasa Jawa dikatakan “kaya iya-iya-a” padahal tidak “sembada”’ Kalau kita
belum terlalu kenal, ya pasti percaya dengan omongannya yang meyakinkan.
Sedangkan yang sudah kenal, akan “melengos”.
Selanjutnya pada bait
ke 17 Sri Pakubuwana IV mewanti-wanti:
Terjemahannya kurang lebih: Janganlah kalian mempunyai; Kelakuan yang seperti itu; Nanti pasti akan ketahuan; oleh teman dan sanak saudaranya; Tidak akan ada yang mempercayainya.
Wulangreh, Gambuh, bait ke 17 |
Terjemahannya kurang lebih: Janganlah kalian mempunyai; Kelakuan yang seperti itu; Nanti pasti akan ketahuan; oleh teman dan sanak saudaranya; Tidak akan ada yang mempercayainya.
Pepatah Jawa mengatakan
“Becik ketitik ala ketara”. Kelakuan
baik dan buruk lama-lama pasti ketahuan. Kalau orang sudah terkenal dengan
sifat buruknya (dalam hal ini: “Kakehan sanggup”) lama-lama akan dijauhi semua
orang, termasuk keluarganya.
HARUS
BISA MEMBEDAKAN UCAPAN DAN PERBUATAN
Kesanggupan harus
didukung dengan perbuatan nyata. “Promise made must be promise kept” Itulah
bedannya antara ucapan kesanggupan dengan hasil kesanggupan. Orang yang tahu
membedakannya disebut orang yang setia pada janji.
Ucapan dan perbuatan
adalah “two in one” sehingga ada kalimat “satunya kata dan perbuatan”. Dalam
bahasa Jawa kita kenal “Sabda Pandita Ratu dan “Bawa Laksana”. Ada beberapa
tulisan mengenai bicara dan tindakan ini, yaitu:
Mengapa ada orang yang
“kakehan sanggup”, antara lain karena mau jaga image, ada motif pribadi, atau
memang gawan bayi gampang mengatakan inggih yang tidak pernah kepanggih.
Padahal “sanggup” membawa konsekwensi besar. Sebenarnya orang yang tidak
menggampangkan “sanggup” lebih enteng hidupnya. Yang jadi masalah, tidak banyak
orang yang mau ngomong prasaja seperti Bima: Cekak aos blaka suta.
Sebuah cerita lama, saya dan satu
teman dipanggil pimpinan, kemudian diberi tugas. Teman saya langsung
mengatakan: Siap, Pak”. Di luar saya tanya: “Kamu kok langsung mengatakan siap
apa dasarnya?” Dengan enteng dia menjawab: “Yang penting sanggup dulu. Kalau
bilang tidak sanggup, kita bisa dianggap tolol dan mungkin juga tidak loyal. Buntutnya
bisa panjang. Dan satu hal lagi, mas. Kalah cacak menang cacak”.
Kalimat terakhir teman
saya ini ada benarnya: “Kalah cacak menang cacak, semua dicoba dulu".
KESIMPULAN:
Dengan adanya
orang-orang yang “murah sanggup” ini maka lesson learned yang kita peroleh
adalah jangan menjagakan kesanggupan orang karena ibaratnya mengandalkan barang
yang belum jelas. Kalau kita seorang pemimpin perlulah “check dan recheck” yang
dilakukan bawahan kita.
Untuk diri kita
sendiri, sebaiknya belajar untuk tidak gampang menjual sanggup sebelum
melakukan deduga, prayoga, watara dan reringa. Setidak-tidaknya tidak
disalahkan kalau ada salahnya. Bukankah masih lebih baik “tidak sanggup” tetapi
“nyata” daripada “sanggup” tetapi “tidak nyata, karena yang pertama adalah
“jujur” dan yang kedua “bohong” (IwMM)
Aja Kakehan Sanggup |
No comments:
Post a Comment