Merujuk kembali ke penutup
tulisan Serat Wulangreh, Pesan Untuk Ngawula (2): Ngepluk Asungkanan, pada bait
ke 29 pupuh Maskumambang Sri Pakubuwana IV mengingatkan bahwa celaka itu karena
perbuatan kita sendiri (pan kinarya dhewe bilainirèki). Baris selanjutnya menyatakan
semestinya kita bersungguh-sungguh lahir batin tidak menyingkir (tan suminggah) dalam melaksanakan
perintah pimpinan atau raja. Lengkapnya sebagai berikut: (29) pan kinarya
dhewe bilainirèki | lamun tinêmênan | sabarang karsaning gusti | lair batin tan
suminggah ||
Mengapa kita harus
bersungguh-sungguh lahir batin dalam pengabdian, bukan karena hal lain kecuali
bahwa pimpinan kita memang pantas untuk dibela. Hal ini dijelaskan pada bait ke
30-34 pada pembahasan selanjutnya.
MENGAPA
RUMEKSA ING GUSTI
Pengertiannya dapat
dibaca pada bait ke 30 dan 31 pupuh Maskumambang sebagai berikut:
Pada bait ke 30
dijelaskan bahwa raja tidak mempunyai saudara, anak, keluarga bahkan istri (siwi, sanak prasanakan, garwa kekasih). Dilanjutkan pada bait ke 31 bahwa raja hanya
memikirkan hukum, keadilan dan adat istiadat (kukum adil
adat waton kang dèn èsthi). Oleh sebab itu marilah (mulane ta padha) menjaga raja (rumeksa
marang gusti)
Itulah alasan mengapa
tidak kita bela mati-matian kalau punya pemimpin seperti itu: Ambeg adil sekaligus paramarta dalam mengendalikan roda pemerintahan serta tidak dibebani urusan keluarga
dan teman. Mulane ta padha rumeksa ing
gusti. Bait ke 31 ditutup dengan kata: Apakah yang dimaksud rumeksa (endi lire wong rumeksa?)
Lengkapnya bait ke 30
dan 31 sebagai berikut:
BAGAIMANA
RUMEKSA ING GUSTI
Intinya adalah gemi, nastiti, ngati-ati (dipun gemi nastiti
angati-ati) dan bisa menjaga rahasia pimpinan (dèn bisa
arawat ing wêwadi sang siniwi). Dijelaskan pada bait ke 32-34 dengan
penjelasan sebagai berikut:
(1)
GEMI: Dalam hal ini gemi mring kagungan ing gusti (gemi
terhadap milik pimpinan kita; bisa disamakan dengan milik negara). Oleh sebab
itu kalau dipercaya memegang anggaran ya harus pandai menyimpan dan menghindari
penggunaan yang tidak perlu misalnya pemborosan dan pembocoran uang negara.
(2)
NASTITI: Terkait
dengan “gemi” pada bait ke 32 maka pengertian “nastiti” adalah kecermatan
pengelolaan anggaran. Terkait dengan “nastiti” pada bait ke 33 (nastiti
barang parentah), berarti
kecermatan dalam pengelolaan barang. Jadi supaya bisa “gemi” maka pengelolaan “uang
dan barang” harus nastiti. Hebat tidak? Pengelolaan uang dan barang yang sampai
sekarang ini tetap menjadi isu utama sudah disinggung dalam Serat Wulangreh.
Bahkan masih diingatkan lagi untuk:
(3)
ANGATI-ATI: kata “ngati-ati”
sering disatukan dalam sebuah kata majemuk “nastiti-ngati-ati”. Ada kesamaan
makna, tetapi juga penjenjangan makna. Orang yang “nastiti” pasti tindakannya “ngati-ati”.
a)
Laku
“hati-hati” amat luas penjabarannya. Check dan recheck adalam sikap hati-hati. Melakukan
analisis SWOT dan menyusun rencana kontingensi merupakan sikap hati-hati. Dalam
ungkapan Jawa, kita dapat menggunakan rumus manajemen: Tata, Titi, Tatas dan Titis yang pelaksanaannya harus: Tatag, teteg, Tangguh, Tanggon, Tanggap danTutug.
b) Oleh sebab itu diingatkan pada baris
terakhir bait ke 32: Supaya jangan sekali-kali menggampangkan (ywa sira wani anggêgampang). Memang “gemi, nastiti dan ngati-ati adalah tugas berat”.
c)
Masih
satu lagi tentang “angati ati ini, seperti pesan pada bait ke 34:Ngati-ati dalam ngawula adalah 24 jam (ngati-ati ing rina lawan ing wengi). Berlaku
untuk menjaga dan melaksanakan perintah (ing rumêksanira lan nyadhang karsaning gusti).
(4)
ARAWAT ING WEWADI: Disebutkan
pada dua kata terakhir bait ke 31 dan lanjut ke bait selanjutnya: lawan aja wani-wani nuturkên wadining gusti; dèn bisa arawat ing wêwadi sang siniwi. Ngawula harus bisa menjaga rahasia. Dalam
pertemuan apa yang diucapkan raja atau pimpinan bisa merupakan rahasia negara
yang tidak semua orang boleh mengetahui. Oleh sebab itu kita tidak boleh
membuka rahasia dan mampu menjaga dengan baik.
PENUTUP
Kita bisa gemi,
nastiti, angati-ati dan arawat ing wewadi kalau ada rasa “rumangsa
melu handarbeni” atau ikut merasa memiliki. Karena sudah merasa ikut
memiliki maka ia pasti merasa “wajib melu
hangrungkebi”, ia akan membela habis-habisan, bahkan ditohi pati dengan pecahing dada wutahing ludira. Ngawula itu
berat; ngawula tidak gampang. Oleh sebab itu kalau kita memang punya karep kuat untuk ngawula, sekali lagi perlu “mulat
sarira”; bila hati memang “hangrasa wani”, teruskan langkah.
(IwMM).
Dilanjutkan ke Serat
Wulangreh, Pesan Untuk Ngawula (4): Tidak boleh “minggrang-minggring”
No comments:
Post a Comment