Monday, August 13, 2012

BUNGAH LAN SUSAH (2): KAREP: SELALU “MULUR” DAN “MUNGKRET”

Pada kisah pertama orang kaya dan pencari rumput dalam tulisan Bungah lan susah (1): Bungah susah gumantung sing nglakoni”,  diceriterakan tentang orang kaya yang hidupnya tidak bahagia. Hal ini kelihatannya karena dia mempunyai “karep” yang semakin mulur diinisiasi tuntutan jiwa yang “loba murka” (baca: Badan dan jiwa yang rewel). Ia terjaga dari mimpi buruknya ketika bertemu dengan tukang “ngarit” rumput yang hidup dalam kesadaran bahwa Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Adil telah memberikan “pandum” yang seadil-adilnya kepada semua makhluk termasuk manusia.


LOBA MURKA KARENA KAREP YANG MULUR

Kembali ke kisah si laki-laki kaya, ia berkeras untuk mengantar Pak Sadrana (demikian si pencari rumput menyebut namanya waktu ditanya, sekaligus ia menjelaskan makna “sabar darana”, yaitu “amat sabar”) mengantar rumput ke rumah juragannya. Pikiran si orang kaya hanya satu: Perolehan rumput pasti  tidak sebanyak biasanya, upah yang sudar rendah tentu dikurangi. Orang seperti Sadrana, pasti akan menerima saja apa kata juragannya. Ia bertekad akan menjelaskan kepada bossnya Sadrana.

Sadrana heran melihat juragannya gopoh-gopoh menyambut si orang kaya dengan basa-basi yang bertabur bunga. Setelah meminta  Sadrana menunggu di luar, ia mengikuti tuan rumah masuk ke dalam. Tanpa banyak basa-basi, si orang kaya berkata:

“Jayeng, saya seharian ini bersama Sadrana. Jadi perolehan rumputnya tidak sebanyak biasa. Jangan kau kurangi jatahnya. Disamping itu kau selama bertahun-tahun telah memberi upah terlalu rendah kepada Sadrana. Harus kau ganti. Upah mingguannya harus kau naikkan sepantasnya. Kamu jangan sewenang-wenang kepada orang lemah. Ingat masa lalumu, apakah kamu pernah mendapat perlakuan seperti Sadrana ini, dulu?

Jayeng hanya mengatakan “inggih” berkali-kali. Tangannya gemetar, keringat dingin mengalir. Dulu Jayeng adalah orang miskin yang disejahterakan dan dimandirikan oleh si orang kaya sampai mampu mempunyai “karep” sendiri. Bahkan “karep”nya sudah bisa mulur.

Si orang kaya tersenyum. Ia lanjutkan pituturnya kepada Jayeng. “Tidak ada salahnya orang ingin bertambah kaya. Tetapi jangan memeras orang lemah sehingga ia ibarat pitik trondhol dibubuti. Bekerjalah lebih keras, lebih cerdas dan tetap manusiawi. Sekarang kamu panggil Sadrana. Katakan saja karena kesetiaannya selama bertahun-tahun, upah mingguan dinaikkan ditambah bonus bulanan yang dulu tidak pernah ada. Ingat jangan sebut namaku. Semua adalah kehendakmu.” Demikian si orang kaya memberi perintah.


"KAREP MULUR" YANG BERMANFAAT UNTUK SEMUA

Sadrana nyaris tidak mampu mengucap sepatah kata pun ketika mendengar berita gembira yang disampaikan juragan Jayengnya. Matanya mengambang air mata “Gusti Allah ora sare”, gumannya dalam hati. Ia cium tangan Juragannya. Jayeng yang biasanya menggunakan jari untuk memilin kumis, kali ini digunakan untuk mengusap air mata.” Maafkan Sadrana, aku terlalu memeras tenagamu tanpa imbalan yang pantas”. Begitulah, atas kehendak Allah jua, orang bisa berubah dalam satu detik.

Si orang kaya tiba-tiba merasa rongga dadanya sesak oleh kegembiraan. Ya, karena “karep”nya kesampaian. Bahkan “mulur”nya karep pun kesampaian. Semula ia hanya ingin menyelamatkan upah Sadrana. Tetapi begitu ia melihat wajah Jayeng, maka  “karep”nya pun mulur, berkembang supaya upah Sadrana dinaikkan dan dapat bonus bulanan. Apakah masih mau “mulur” lagi? Biasanya “karep” untuk mengurus orang lain jarang “mulur-mulur”. Mengurus diri-sendirilah yang selalu mulur sampai mentok barulah “mungkret”. Makanya jarang ada orang yang berbahagia.

Apakah Jayeng menjadi susah karenanya? Yang tahu Jayeng sendiri. Bisa-bisa ia malah bungah karena bisa menunjukkan bahwa ia juga bisa berbuat baik kepada orang kecil seperti yang dilakukan bekas “bendara”nya dulu.

Apakah Sadrana bungah?. Kenaikan upah dan bonus bulanan bukanlah “karep”nya. Ia sudah menerima keadaan sesuai pandangannya tentang “pandum” dari Yang Maha Kuasa. Ia lebih mengungkapkan sebagai rasa “syukur” daripada luapan kegembiraan.


LIDING DONGENG

R Prawirawiwara dalam Pangawikan pribadi, Wejangan Suryametaraman, Yogyakarta, 1932 menyebutkan tiga hal, kurang lebih sebagai berikut:

1.    “Karep” yang “klakon” tidak hanya sekedar membuat orang “bungah” (gembira), tetapi. “Karep” yang kesampaian juga akan “mulur” (mengembang). Bila sudah mulur masih kesampaian ya akan “mulur” lagi, sampai pada satu titik ia akan “mentok: berhenti mulur. Sekarang orang berubah menjadi susah.

2.    “Karep” yang tidak kesampaian membuat hati “susah”. Akibatnya “karep” menjadi “mungkret” (menyusut). Kalau masih tidak kesampaian ya menjadi semakin “mungkret”  sampai ke satu titik: ”kesampaian karepnya”. Hati pun kembali “bungah” dan siklus berulang: Mulur lagi

3.    Selamanya perjalanan “karep” akan begitu: “Mulur dan mungkret” sebagai buah dari “karep”, maka “bungah dan susah” pun akan mengikuti. Sebentar senang, sebentar susah.

Si orang kaya menyadari bahwa selama ini ia telah diperbudak oleh “karep” yang mulur-mulur dan mengakibatkan stress. Melalui Sadrana ia belajar tiga hal:
1.    Bahwa bungah dan susah bisa dimiliki semua orang, “bungah dan susah gumantung sing nglakoni”

2.    Jangan mau dikendalikan “karep” yang berbau “loba murka” dan “angkara murka”

3.    Manusia harus belajar mengatur batas-batas mulurnya karep yang sehat, sehingga ia “akan mulur tanpa khawatir mungkret”. (IwMM)
 


No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST