Maksud ungkapan ini sebenarnya adalah “Rejeki dari Allah SWT ada setiap hari”. Tetapi tidak berhenti sampai disitu. Lanjutannya sebenarnya ada: “Sepanjang manusia berusaha”. Karena ada juga ungkapan “Sapa Obah, Mamah” (Obah: Bergerak; Mamah: Mengunyah (tentunya nasi). Jadi Ada hari ada nasi, ada siang ada pangan dan jangan lupa yang satu ini, “Sapa obah, mamah”.
Kembali musuh kita adalah orang-orang malas. Sehingga dalam bahasa Jawa juga ada ungkapan “Thenguk-thenguk nemu kethuk” dan “Njagakake endhoge si blorok”. (si Blorok: Ayam yang bulunya berwarna blorok, kira-kira campur hitam dan putih).
Andaikan kata “Sapa obah, mamah” di eliminasi, maka lengkaplah sudah dukungan ungkapan untuk orang malas. Kita boleh thenguk-thenguk (duduk bermalas-malasan) karena akan nemu “kethuk” (Alat pemukul gamelan) dan siapa tahu si blorok bertelur, karena bukankah selama ada hari atau ada siang, pasti ada nasi dan pangan?.
Ada dua ceritera yang mau saya sampaikan. Yang pertama saya sendiri agak bingung, orang ini pemalas atau orang “nrima” dan yang kedua memang benar-benar orang yang berpedoman “sapa obah, mamah”
Ceritera pertama: Saya pernah bertugas di sebuah kota kecil. Bila ada kesempatan, kadang-kadang kami sekeluarga menyempatkan mengunjungi kota ini. Nginap di hotel. Pagi-pagi istri saya ke pasar. Naik becak, dan tukang becaknya disuruh menunggu. Jadi naik becak PP dengan becak yang sama. Sampai di hotel, tukang becak diberi uang yang cukup banyak. Tukang becaknya ditanya oleh istri saya: “Habis ini kemana Pak?”. Jawabnya mengagetkan: “Wangsul (pulang), Bu”. “Masih pagi gini lho, Pak. Kok pulang”. Sambung istri saya. Jawab Pak Becak lebih mengejutkan lagi: “Paringane pun cekap Bu, saged istirahat” (Pemberiannya sudah cukup Bu, bisa istirahat). Kejadian ini menjadi bahan perdebatan antara saya dan istri saya. Karena dia berpendapat bahwa si abang becak ini orang pemalas sedangkan saya mengatakan dia orang yang Nrima dan tidak ngaya.
Ceritera ke dua: Di Jakarta saya naik taksi tua dengan sopir orang Jawa, kira-kira setua saya. Jadi sudah tua juga. Dia berceritera bahwa dulu bekerja di perusahaan lalu kena PHK. Dapat pesangon, dan dia samasekali tidak menyalahkan perusahaan bekas tempat dia bekerja. Dia tetap optimis. “Ayam saja dilepas bisa cari makan sendiri. Masa manusia kalah sama ayam”. Jadilah dia sopir taksi, sampai sekarang sudah 10 tahun. Ketika saya tanya, enak mana kerja di perusahaan atau jadi sopir taksi? Dia menjawab jangan dikira jadi sopir taksi itu tidak enak. Ada enaknya kalau kita bisa mensyukuri nikmat Allah. Semua enak, kalau kita bisa menyenangi apa yang kita kerjakan. Selebihnya serahkan pada Allah. “Ana dina ana upa” (upa: butir nasi).
Itulah dua ceritera terkait dengan ungkapan “Ana dina ana sega dan ana awan ana pangan” sesuai dengan persepsi masing-masing pelaku. Yang pertama begitu yakin bahwa setiap hari pasti ada rejeki. Sehingga kalau dirasa hari iini sudah cukup, ia berhenti walau masih pagi. Sedangkan yang kedua, ia memiliki keyakinan yang sama, dengan catatan harus bergerak. (IwMM)
1 comment:
siapa saja yang ada kehendak, bertindak dalam berupaya melaksanakan suatu usaha pasti sesuai janji Allah akan mengabulkan bagi umat-Nya karenna tidak satu kaum berubah/berhasil kalau kaum itu sendiri yang tidak mau merubah.......
Post a Comment