Monday, December 26, 2011

SERAT WULANGREH: TULADHA DARI KLUWAK



Tentang buah ini, ada berbagai penulisan dengan pengucapan yang hampir sama: Keluwek, kaluwak, keluak, kluwek, kluak. Daerah yang berbudaya Melayu kalau tidak salah menyebut dengan nama “Kepayang”, sehingga muncul istilah “mabuk kepayang” (biji kluwak yang masih muda kalau mencucinya tidak benar bisa memabokkan sehingga menimbulkan pusing). Dalam bahasa Jawa biji kluwak muda disebut Pucung. Apapun namanya dalam bahasa daerah, nama ilmiah pohon kluwak adalah “Pangium edule”

Bila kita bicara kluwak sebagai bumbu makanan, misalnya rawon, dengan warna hitamnya yang khas, maka kluwak tua adalah yang paling bagus. Kluwak bisa berasa pahit kalau berasal dari buah yang masih muda. Tip untuk memilih keluak tua adalah: Ringan, kalau diguncang akan “berbunyi” karena daging buah sudah menyusut dan terpisah dari kulit buah yang keras.Demikian kalau kita bicara kluwak sebagai bumbu.


MENGAMBIL KLUWAK SEBAGAI TAULADAN


Lain halnya dengan “pepindhan” kluwak sebagai pitutur yang terdapat pada Serat Wulangreh Karya Sunan Pakubuwana IV. Pada bait terakhir (27) pupuh Wirangrong (gambar sebelah).

Saya garis bawahi kalimat “tutur tanpa dhapur” yang bisa diartikan “nasihat tanpa wajah”. Wajah tentunya milik manusia. Nasihat tanpa wajah berarti bukan dari manusia (jangan cepat-cepat menganggap dari “makhluk halus”). Penjelasannya ada pada baris terakhir “Kaya pucung lan kaluwak”. Di atas telah dijelaskan bahwa pucung adalah kluwak muda. Jadi: teladanilah pucung dan kluwak. Adapun pada baris sebelumnya dijelaskan, kalau hal ini baik (yen bakale becik), maka dipakai akan memberi manfaat (den anggo weh muphangat). Sekaligus kata “pucung” pada bait terakhir sekar Wirangrong memberi sasmita bahwa pada pupuh berikutnya, yaitu pupuh ke 9, akan beralih ke sekar Pocung.


MUDA BERSATU TUA BERPISAH

Marilah kita lihat Pupuh (metrum) ke 9, sekar Pucung, bait ke 1 sd 3 tentang hakekat buah keluak yang pada masa muda bersatu dengan kulitnya dan setelah tua masing-masing berpisah, sebagai berikut:


Bait pertama ini menjelaskan hakekat pucung dan kluwak. Waktu masih muda (kulit buah dan daging buah) menyatu, selelah tua berpisah.

Bait ke dua memaknai hakekat kluwak dan pucung: Bagaimanapun upayakan jangan sampai berpisah seperti masa muda dulu. Waktu muda bersatu setelah tua pun harus bersatu.

Selanjutnya pada bait ke tiga Sri Pakubuwana IV mengingatkan apa akibatnya kalau kita tidak bersatu: Tersebar hidup sendiri-sendiri dan akhirnya hanya jadi bumbu pindhang.

Rupanya Sri Sunan Pakubuwana IV sudah menengarai bahwa banyak teman sepermainan pada masa kanak-kanak atau masa muda setelah dewasa justru menjadi seteru, lawan berkelahi.

Catatan:

Banyak masakan “pindhang berbumbu kluwak. Bila kita mendengar kata Pindhang lulang” maka hal ini adalah wangsalan yang maksudnya “krecek” (Krecek adalah makanan yang tebuat dari “lulang” atau kulit sapi).

Baris terakhir ada yang kutipannya beda, tetapi  dari sisi guru wilangan, guru lagu serta makna tidak salah. Dari sisi kebenaran tulisan perlu merujuk ke naskah aslinya.


MANUSIA HARUS BERSATU

Adapun pada bait ke 4 sampai dengan 6 Sri Susuhunan menekankan pentingnya "bersatu" dan manfaat punya banyak saudara, sebagai berikut:


 Bait ke 4 sd 6 menjelaskan manfaat persaudaraan dan persatuan.

(4) Persaudaraan jangan terpisah dalam segala hal; Dilihat orang akan lebih “prayoga”.

(5) Berat ringannya orang banyak saudara, ringan karena masing-masing berpikir-sendiri-sendiri dan berat kalau harus saling membantu.

(6) (Tetapi) banyak saudara itu lebih kokoh. Satu banding seratus (ji-tus) punya banyak saudara lebih baik daripada sendirian.

Demikianlah, bila suatu saat kita berkunjung ke suatu daerah dan menikmati kuliner khas daerah (banyak sekali) yang menggunakan kluwak sebagai bumbunya, marilah kita pahami makna kluwak dibalik “mak nyuss”nya mulut berbicara ketika lidah bergoyang (IwMM)

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST