Wednesday, December 21, 2011

GUYUB RUKUN

GUYUB adalah kehendak untuk bersama dalam kebersamaan. Bila dalam suatu komunitas semua orang memiliki rasa “guyub” ini, alangkah indahnya hidup di dunia. Misalnya ada keluarga punya hajat, atau mengalami musibah karena ada yang sakit atau meninggal dunia, maka tanpa diminta orang-orang akan datang memberikan bantuan apa saja. Semua “uwur dan sembur” (bukannya Ora Uwur Ora Sembur). Semua membantu, baik berupa tenaga, bahan-bahan, dana maupun nasihat. Semua ikhlas tanpa pamrih, tidak mengharapkan balasan. Bahkan kalau tidak ikut “cawe-cawe” membantu mereka akan merasa bersalah.

Sifat guyub ini masih belum hilang dari kehidupan bermasyarakat di negara kita, paling tidak di desa-desa, khususnya di desa yang masih termasuk kategori “desa kluthuk”, desa yang terpencil, desa yang menamakan dirinya “adoh ratu cedhak watu” (jauh dari ratu dekat dengan batu). Dalam kehidupan kota mungkin sifat guyub sudah terkikis oleh hiruk-pikuk urban life. Membantu memang tetap membantu, tetapi lebih praktis membantu dengan uang. Pada masa galak-galaknya siskamling, kalau pas dapat giliran jaga saya lebih memilih mengupah orang untuk gantikan jaga di poskamling. Padahal jaga rame-rame di poskamling juga merupakan salah satu bentuk keguyuban.

Kalau “guyub” adalah kebersamaan dalam mengerjakan apa saja secara bersama-sama, maka RUKUN adalah hidup tanpa pertikaian. Tidak ada orang bertengkar, atau berbeda pendapat. Kalau terjadi sesuatu semuanya diselesaikan melalui musyawarah yang pasti mufakat. Bahkan kalau perlu mufakat tanpa musyawarah.

Dalam bahasa Jawa ada ungkapan “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah” Rukun membuat kita kuat, pertentangan membuat kita bubar. Mungkin bapak ibu masih ingat ceritera laki-laki tua yang sedih karena anak-anaknya senantiasa berkelahi. Suatu saat laki-laki tua itu mengumpulkan semua anaknya. Ia membawa sapu lidi, lalu dilepas ikatannya. Satu-persatu mereka disuruh mematahkan lidi yang sudah lepas dari ikatan. Tentusaja lidi itu amat mudah dipatahkan. Kemudian si bapak mengikat kembali sapu lidi itu. Tidak ada satupun diantara anaknya yang mampu mematahkan lidi yang kini terikat jadi satu. Pelajaran yang diperoleh dari ceritera ini adalah “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”. Bubrah seperti “sapu ilang suhe” (suh: pengikat sapu). Sapu yang kehilangan pengikat akan tercerai berai sekaligus tidak punya kekuatan. Andaikan hal ini terjadi dalam keluarga maka keluarga akan menjadi berantakan. Bagaimana kalau terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?


Kata “Guyub” dan “Rukun” bisa digunakan secara terpisah atau disatukan menjadi “Guyub Rukun”. Sebaiknya memang disatukan. “Guyub” belum tentu “rukun” demikian pula ”rukun” belum tentu “guyub”. Di era banyak kekerasan ditengah kerasnya hidup, alangkah sejuknya “guyub rukun”. Masih bolehkah kita memimpikan bahwa suatu saat bangsa kita akan kembali memiliki semangat “Guyub Rukun” ini? Kita harus yakin semangat itu masih ada. Paling tidak kata “Guyub” dan “Rukun” masih banyak dipakai. Bukankah banyak Organisasi yang menggunakan nama “Paguyuban”, demikian pula kata “Rukun”. Ada Rukun Tetangga, Rukun Warga, Rukun Tani dan sebagainya. (IwMM)

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST