Wednesday, November 9, 2011

KAKEHAN GLUDHUG KURANG UDAN

Kakehan: Terlalu banyak; Gludhug: Guntur; Udan: Hujan. Kiasan ini mengibaratkan orang yang terlalu banyak bicara, omong gede, janji kosong, tapi outputnya tidak ada. Bila omongannya disanggah sering ia tidak bisa memberi reasoning dan mungkin “escape” dengan pindah topik. Ada yang mengatakan, bila diberi argumentasi tololnya akan kelihatan. Dalam peribahasa Jawa yang lain orang seperti ini juga dikatakan "Kakehan kresek" (Kresek: suara kresek-kresek daun atau kertas yang bergeseran).

Saya pribadi kurang pas bila orang yang “kakehan gludhug” ini dianggap tolol. Suara gludhug berasal dari petir, dan petir mengandung energi listrik yang amat besar. Pohon besar kalau tersambar petir pasti hangus, apalagi manusia, kecuali Ki Ageng Sela, yang dengan kesaktiannya justru bisa menangkap petir. Jadi saya berpendapat sebaliknya. Orang yang “kakehan gludhug” ini orang pandai. Sak apes-apesnya dia pandai bicara dan merangkai kata. Rasanya tidak mungkin, ada orang pandai bicara tanpa dilandasi “knowledge”. Jadi ungkapan ini tidak sama dengan “tong kosong nyaring bunyinya”, jelas ada kata “kosong yang mengibaratkan otak yang kosong atau bodoh.

Sebenarnya hujan berasal dari mendung. Mengapa nenek moyang dulu tidak mengambil kiasan “kakehan mendung kurang udan” mungkin karena mendung tidak berteriak-teriak. Ia datang dan pergi tanpa bicara. Orang pendiam biasanya tidak menarik perhatian. Kebetulan teman dekat mendung adalah “gludhug” dan dia yang berteriak-teriak. Kalau kemudian mendung berlalu diam-diam tanpa hujan maka “gludhug” lah yang diteriaki “kakehan gludhug kurang udan”.

Ya sudah nasibnya “gludhug” kalau dia menjadi “gludhug” untuk diri sendiri maka “tangan mencencang bahu memikul”, tanggungjawab sendiri. Tapi kalau ia “gludhug” yang menjadi corong misi orang lain, maka ia bisa  “gupak pulute ora mangan nangkane” (pulut: getah).

Gludhug” yang “kurang udan ini bisa berada dimana-mana lokal maupun berjenjang mulai tingkat RT. Saya membatasi diri dengan “gludhug” lokal alias pribadi saja. Orang seperti ini bila baru kenal mungkin disenangi, karena luwes dalam pergaulan. Lama-lama orang jadi bosan dengan bualannya yang bisa memberi kesan sombong. Saat orang-orang cangkrukan di poskamling sambil  Omong Klobot yang hanya rasan-rasan ringan tentang kehidupan, tahu-tahu dia datang dan nimbrung kalau dia kenal dengan Bapak ini atau Ibu itu yang menguasai ini atau itu, kalau butuh ini itu dan seterusnya ... maka satu-persatu orang menyingkir kecuali beberapa orang yang sungkan atau terlalu baik hati.

Orang yang “kakehan gludhug kurang udan” bisa saja baik dan tidak merugikan kita, tetapi dia amat menyebalkan. Semakin menyebalkan kalau dia adalah orang yang memiliki power karena ia bisa memberi janji.  Sudah terlalu banyak hal-hal menyebalkan dalam hidup ini.. Makanya ketika dia muncul, seorang berbisik: “Den mase Toni Boster (waton muni ndobose banter) datang”. Satu-persatu pergi, ada saja alasannya. Poskamling tempat jagongan pun jadi sepi (IwM).

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST