Sunday, October 30, 2011

KEBO (5): KEBO BULE MATI SETRA


Kebo bule: Kebo albino, yang warnanya putih atau pink muda; Setra: Tempat pembuangan (Poerwadarminta). “Kebo bule” melambangkan orang cerdik pandai. Menjadi paradoks ketika “kebo” secara umum adalah personifikasi orang bodoh tetapi ketika menjadi “kebo bule” justru melambangkan orang pandai. Pikiran saya, “kebo bule” itu sulit dicari dan pada jaman dulu orang pandai memang bisa dihitung dengan njari, amat langka.

Kebo bule” pasti istimewa. Buktinya “Kebo bule” dipelihara juga di Kraton Kesunanan Surakarta, kita bisa melihatnya di Alun-alun Selatan. Konon sudah ada sejak jamannya Sri Pakubuwana II, diberi nama Kyai Slamet.  Adapun yang ada sekarang adalah keturunannya. Dikeramatkan orang sudah tentu, dan saya tidak menyalahkan. Jangankan kerbau, orang bule (bukan bule albino) pun tanpa melihat kompetensi dan reputasinya selalu kita anggap lebih pandai dan kita hormati lebih daripada yang tidak bule?
 
Setra” ada yang mengartikan mati tanpa dikubur. Saya terjemahkan saja dengan “dibuang”. Sedangkan “Kasetran” menurut Poerwadarminta adalah tempat pembuangan. Kemudian kata “mati” disini bukan berarti lepasnya jiwa dari raga. Orang hidup yang terputus dari semua aspek kehidupan dunia bisa dikatakan mati. Tidak heran bila Oliver Wendell Holmes mengatakan “Live is to function”.
 
Jadi pengertian “Kebo bule mati setra” adalah orang cerdik pandai yang tidak dimanfaatkan kecendekiaannya” kalau kemudian dikatakan “mati setra” merana dalam keterasingan, maka hal ini bergantung pada pelaku masing-masing.
 
Pada jaman sekarang dimana populasi kebo bule meningkat pesat dan persaingan makin kuat bukan hal yang luar biasa kalau kebo bule yang tidak dikenal tidak terpakai, yang kalah bersaing terpinggirkan dan yang merepotkan ... dinaikkan kedudukannya.
 
Tulisan ini saya tutup dengan kutipan Serat Kalatidha, anggitan R Ng Ranggawarsita, Pujangga Kraton Surakarta dalam tembang Sinom. Saya ambil bait ke 4 sebagai berikut:
 
(1) Dasar karoban pawarta; (2) Babaran ujar lamis; (3) Pinudya dadya pangarsa; (4 Wekasan malah kawuri; (5) Yen pinikir sayekti; (6) Mundhak apa aneng ngayun; (7) Andheder kaluputan; (8) Siniraman banyu lali; (9) Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.
 
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut, Baris 1 dan 2: Karena kabar angin (pawarta + lamis) yang terlalu banyak (karoban); Baris 3 dan 4: Akan ditempatkan di depan (pangarsa) tetapi malah di belakang (kawuri); Baris 5 dan 6: Kalau direnungkan, untuk apa berada di depan (aneng ngayun); Baris 7: (hanya) Menabur kesalahan; baris 8 dan 9: Bila ditambah lupa (diri) akan menghasilkan kesulitan (beka).
 
EPILOG:
 
Komedi “kebo bule” sudah ada sejak dulu di seluruh muka bumi yang ada habitat manusianya. Si kerbau seolah tidak peduli dibilang apa saja kaumnya oleh manusia. Ia jalani rutinitas hidupnya sebagai amanah: Mensejahterakan manusia (IwMM)
 

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST