Manusia perlu meneladani sifat samodera yang mampu dan mau menampung semuanya yang berasal dari darat, baik sampah maupun bukan sekaligus lautan menyimpan harta karun yang tak ternilai besarnya.
Tidak hanya itu, laut juga amat memurah, ia berikan kekayaan pada manusia, tetapi dia juga amat pemaaf. Ia diam walau kekayaan miliknya rusak oleh ulah manusia. Manusia seharusnya mampu meneladani samodera. Hatinya juga harus penuh maaf kepada sesamanya.
Demikian pula dikatakan oleh Sri Pakubuwana IV dalam Serat Wulangreh, pupuh
Pocung bait ke 12 sebagai berikut:
Pengertiannya: JEMBAR adalah "luas". Di dunia ini yang paling luas
adalah samodera. AMOT sama dengan MOMOT yaitu memuat tapi tidak sekedar memuat,
harus memuat dengan aman. Dewasa ini yang banyak terjadi adalah “ora amot nanging tetep dimomot” (tidak muat tetapi tetap dimuat). Kalau
yang dimaksud dalam hal ini kendaraan, maka yang terjadi adalah rawan celaka.
Wulangreh: Pocung bait ke 12 |
Sesuatu
yang luas pasti kapasitas muatnya juga besar. Bandingkan dengan sebuah truk
atau mobil angkutan lainnya. Makin besar tonasenya tentu makin besar pula
barang yang bisa diangkut. Sekali lagi, apa yang dimuat tentunya jangan sampai
TIDAK AMOT atau melebihi kapasitas. Kapal yang mengangkut melebihi kapasitas
muat rawan karam, demikian pula truk. Masih untung kalau hanya patah as. Oleh
sebab itu harus seperti SAGARA (den
pindha sagara) atau samodera. Untuk ukuran dunia, samodera lah yang paling
besar, sehingga dalam Asta Brata, maka salah satunya adalah “Laku hambeging
samodera”.
DEN PINDHA SAGARA
DEN PINDHA SAGARA
Mengapa
“den pindha sagara”, karena harus bisa MENGKU. Pengertian “mengku” adalah
menguasai, mengendalikan. Tetapi tidak sekedar kuasa atau mengendalikan dengan
tangan besi. Mengku adalah “mengendalikan dengan dilandasi sifat sabar”. Oleh
sebab itu kita kembali ke “den pindha sagara”. Harus sesabar lautan. Lautan
adalah lambang kesabaran. Oleh sebab itu orang yang penyabar dikatakan sebagai
orang yang “jembar segarane”. Dalam kehidupan manusia, apalagi bagi seorang
pemimpin, maka yang harus DIWENGKU ini beraneka-ragam, sehingga dalam bait ke
12 di atas disebutkan “Tyase ngemot ala lan becik”. Hatinya bisa memuat yang
baik dan buruk.
Catatan:
Pengertian “ala” disini bukan berarti menerima kejahatan. Sebagai contoh, manusia,
apalagi pemimpin, harus “jembar segarane”. Andaikan dicerca ya diterima dengan
lapang dada. Justru bisa “mulat sarira” atau introspeksi, barangkali cercaan
tersebut memang betul adanya, maka ia bisa memperbaiki. Semua sudah ada
ketentuannya sendiri-sendiri (mapan ana pêpancène sowang-sowang).
Demikianlah
pesan untuk kita semua dalam hidup ini. Kalau semua orang bisa seperti ini,
orang akan menjadi arif. Kehidupan bermasyarakat akan damai, orang tua tidak
terlalu gampang marah-marah pada anaknya, demikian pula akan memperkuat sifat
“susila anor raga” seorang pemimpin. Kata kuncinya: JEMBAR, AMOT dan MENGKU.
Tuladhanya: SAGARA. (IwMM)
No comments:
Post a Comment