Saturday, November 12, 2011

TULADHA DARI (HOM)PIMPAH DAN PINGSUT

Keduanya merupakan cara mengundi guna memilih satu orang untuk kepentingan apa saja pada masa kanak-kanak. Ini bukan milik orang Jawa saja. Anak-anak di seluruh tanah air rasanya mengenal ini, hanya “lelagon”nya yang berbeda. Misalnya ada 7 anak sedang kumpul lalu mau main katakan “sepak sekong” maka harus dipilih satu anak yang menjadi penjaga bola sementara yang lain bersembunyi. Mulailah ber”hompimpah”. Telapak tangan tengkurap atau telentang yang sedikit, dieliminasi. Bila ada tiga yang sedikit, bisa diselesaikan dengan hompimpah. Bila sisa dua, maka “pingsut”lah penyelesaiannya.

Pingsut” memanfaatkan tiga jari tangan. Jempol mewakili gajah, telunjuk untuk manusia dan kelingking sebagai semut. Manusia kalah sama gajah dan semut kalah sama manusia rasanya dapat diterima logika dengan cepat. Ketika gajah dipecundangi semut, mulailah kita berpikir asal-muasalnya bagaimana?

Ada fabel yang menceriterakan semut dan gajah sebagai pemeran utama. Salah satu dongeng sebelum tidur dari eyang putri. Gajah takluk ketika semut masuk ke lobang telinganya. Blingsatan nabrak kemana-mana. Tangan gajah tidak bisa menjangkau telinganya. Demikian pula gajah tidak punya jari untuk mengorek lobang telinganya.

Tuladha yang kita petik kembali kepada ungkapan “jalma tan kena ingina” dan “aja dumeh”. Karena dongeng anak-anak, menjadi jelas sekali dengan personifikasi gajah dan semut. Eyang dulu mengatakan, kalau kamu besok jadi “orang” jangan meremehkan orang kecil.

Ada teman yang berceritera kalau di Jepang juga ada semacam “pingsut”. Serupa tapi tak sama dengan yang di Indonesia, mereka menyebutnya “Jankenpon”. Mainnya menurut saya lebih rumit, mungkin karena budayanya beda. “Jankenpon” menggunakan kepalan tangan mewakili “batu”, jari membentuk huruf V sebagai representasi “gunting” dan lima jari terentang melambangkan “kertas”. Kertas kalah sama gunting, tetapi menang sama batu (karena batu dapat dibungkus kertas), selanjutnya gunting kalah sama batu (barangkali karena gunting tidak mampu memotong batu yang keras itu, atau gunting kalau digepuk dengan batu akan rusak.

Kalau saya ibaratkan “gunting” adalah cendekiawan dan “batu” adalah orang kebanyakan maka ketemunya sama dengan yang dipakai anak-anak negeri kita. Jangan merasa sok pintar. Belum tentu yang tidak pintar itu tidak mempunyai kelebihan. Boleh juga untuk referensi. Cuma untuk mempraktekannya, karena tidak biasa, jadinya amat lama.

Tiba-tiba terlintas dalam otak: Di era “voting” ini kalau “voting” bisa digantikan “hompimpah” dan “pingsut” apa relevan ya. Yang jelas pasti seru, murah dan meriah. Mbah Hardjo yang ada di samping saya langsung menimpali: “Lha pemenangnya kan yang sedikit” dan disambung Toni: “Dan biasanya menang malah kena plekotho”. Memangnya kalau menang harus enak? (IwMM)

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST